Oleh: Herlianto A
Sumber: maxmanroe.com |
Pola norak
media sosial (medsos) adalah setiap orang dapat ngepos informasi apapun, ini
penting bagi kecepatan tersampainya suatu informasi, tetapi pada saat yang sama
tak ada yang bisa memfilter dan memverifikasi semua informasi yang dipos itu.
Dampak besarnya ialah pada ketidakpastian kebenaran informasi tersebut.
Dan sepertinya, alih-alih media sosial mencerahkan
akan informasi yang beredar, justru membuat keruh suasana. Berita yang beredar
lebih banyak hoaks ketimbang fakta. Laporan Badan Intelijen Nasional (BIN)
menunjukkan bahwa 60 persen konten media sosial adalah berita bohong alias
hoaks.[1]
Kita tentu sudah merasakan ini semua.
Lebih-lebih kecenderungan masyarakat kita pada hal-hal kontraversial dan menyita
emosi. Mereka menshare setiap berita
yang singgah di akunnya tanpa memeriksa
tanggal berita, isi berita, sumber berita, dan media yang mempublikasinya. Ini
semua penting karena berkaitan dengan verifikasi berita.
Tindakan mereka membagi berita hanya
karena judul berita cocok dengan emosinya, dan ingin segera membulli di wallnya. Ini suatu peristiwa yang
menyedihkan dan jika dibiarkan akan menjadi tragedi yang memilukan.
Selama hampir dua tahun terakhir ini
kita benar-benar breakfast-lunch-dinner
dengan hoaks, dengan menu yang beragam mulai menu favorit agama, politik,
ekonomi, seksis, dan etnis. Dari sekian menu ini sepertinya menu agama yang
paling memuakkan, karena memang yang paling sering dieksploitasi dengan
berlindung dibalik kesucian.
Keadaan yang penuh dengan ketidakpastian
akibat hoaks ini kemudian melahirkan badai keraguan (skeptis) yang dahsyat.
Kita semua kemudian antipati dengan kabar-kabar di media sosial, bahkan susah
membedakan kabar yang faktual dan ilusional. Apa yang kita anggap faktual ternyata
fiktif dan begitu sebaliknya. Inilah kriris kepercayaan antar sesama. Realitas
ini lebih jauh akan melahirkan psimisme yang akut.
Lantas bagaimana menyikapinya? Yang
pertama harus dilakukan adalah mengubah mindset
kita tentang informasi di media sosial. Yaitu bahwa berita di media memiliki
kemungkinan benar sangat rendah, karena itu kita mesti mensaringnya sebelum menshare apapun. Saring dalam hal ini ialah
memastikan konten, sumber berita, tanggal berita, dan media yang meliput
peristiwa itu. Ini cara yang paling sederhana.
Cara yang lebih filosofis ialah kita
bisa menjadikan keraguan sebagai jalan yang indah menuju kepastian. Artinya,
kita mesti menempatkan keraguan sebagai motor dalam batin untuk menuju
kepastian. Hakikatnya manusia akan merasakan dan mengalami keraguan dalam
dirinya. Lalu kemudian keraguan itu diteliti untuk dibuktikan kebenarannya.
Dengan begitu, kita menempatkan keraguan
sebagai jalan pembuka bagi pengetahuan. Tetapi juga perlu berhati-hati, karena
tinggal dalam keraguan adalah seperti berada di atas rumah yang hendak roboh.
Keraguan adalah kondisi yang paling lemah yang bisa diombang-ambing oleh
apapun. Tetapi keraguan adalah perangkat terbaik untuk menguji suatu kepastian.
Pencarian filosofikal yang berangkat
dari keraguan dilakukan oleh dua filosof yang terkenal. Mereka adalah Al
Ghazali dan Rene Descartes. Al Ghazali, seperti yang diceritakan di
autobiografinya Al Munqid Min Adhalal,
bahwa dia sempat mengalami keraguan yang dahsyat selama dua bulan. Dalam masa
itu, dia seperti orang sakit yang tak bisa melakukan apapun.
Hingga akhirnya dia bisa mengatasinya
melalui suatu perenungan dan pengembaraan. Al Ghazali melewati keraguannya
menuju kepastian sufisme yang kemudian dipegang sebagai jalan kebenaran
terakhir hingga akhir hayatnya.
Begitu juga dengan Rene Descartes,
sebagaimana dikisahkan di autobiografinya Meditations
on First Philosohy, bahwa keraguan telah membuat dia seperti masuk ke dalam
pusara air yang berputar dahsyat di mana dia tidak bisa menyentuh dasar dan
tidak bisa naik ke permukaan. Suatu keadaan yang tak kalah mengerikannya
seperti yang dialami Al Ghazali.
Namun, alih-alih menjadi skeptisis, dia
justru berhasil menjadikan keraguan sebagai metode untuk membersihkan segala
yang meragukan di benaknya. Satu persatu dia memeriksa segala pengetahuan yang
diberikan oleh kebudayaan, tradisi, dan agama menggunakan keraguan. Bahkan,
radikalnya, dia memeriksa “Tuhan” sebagai ajaran yang diwarisan nenek moyangnya
di abad tengah.
Descartes berhasil keluar dari pusara
keraguan dan sampai pada kepastian dirinya yang berpikir yang tak mungkin lagi
diragukan lagi. Kemudian, menempatkan keraguan sebagai metode jitu untuk
mengatasi keraguan itu sendiri.
Tentu saja, tidak hanya Al Ghazali dan
Descartes yang menempatkan keraguan sebagai awal berpijak menuju kepastian,
bahkan bisa jadi semua filososf memulai petualangan pemikirannya dari keraguan.
Tetapi memang yang berani secara radikal menjadikan keraguan sebagai awal
menuju kepastian adalah dua tokoh timur dan barat tersebut.
Jadi dengan demikian, badai keraguan
yang menyembur dari media sosial saat ini dapat kita olah sedermikian rupa
sehingga menjadi sesuatu yang penting untuk mengawali pencarian menuju
kepastian. Kita meseti melewati jembatan keaguan itu menuju rumah kepastian
yang berada disebarangnya.
0 Comments