Oleh: Herlianto A
Sumber: santreh.blogspot.com |
Empat belas hari berlalu “mengisolasi” diri di sebuah desa
sebagai ikhtiar menyelamatkan diri dari covid-19 yang kini menjadi
bencana dunia. Selama di desa, alih-alih mengalami penyesalan, lantaran
keterbatasan berbagai fasilitas dan hilangnya ruang-ruang hiburan, malah justru
desa memberi pelajaran paling berarti tentang diri, masyarakat, ekonomi dan
bahkan bernegara.
Tentang diri, petani desa menjadi buku kehidupan yang terang
benderang yang tak perlu dibaca tetapi diteladani. Mereka mengajari apa dan
bagaimana itu proses, hidup adalah proses. Apa yang kita sebut sebagai hasil
tak lain hanyalah ujung dari proses yang merentang dalam waktu yang diawali
oleh sebuah pengorbanan (pemberian).
Misalnya, untuk panen, petani harus membajak sawah segembur-gemburnya, menyebar benih terbaik, memupuk dengan teliti, menjaga padi setiap hari agar selamat dari hama. Menunggu selama kurang lebih tiga bulan dalam kesabaran, barulah pesta panen itu digelar. Artinya, bahwa dalam hidup “memberi” adalah awal bagi “menerima”, jadi memberi dan menerima adalah dua sisi pada satu koin yang sama.
Misalnya, untuk panen, petani harus membajak sawah segembur-gemburnya, menyebar benih terbaik, memupuk dengan teliti, menjaga padi setiap hari agar selamat dari hama. Menunggu selama kurang lebih tiga bulan dalam kesabaran, barulah pesta panen itu digelar. Artinya, bahwa dalam hidup “memberi” adalah awal bagi “menerima”, jadi memberi dan menerima adalah dua sisi pada satu koin yang sama.
Lalu mereka panen, jadi gabah, dijemur beberapa hari,
digiling jadi beras, baru bisa dimasak dan dimakan. Apa nilainya? Bahwa betapa
satu butir nasi yang nempel di bibir sebelah kiri kita, telah mengalami proses
dalam waktu yang panjang. Dengan sejumlah tenaga yang tercurahkan, dan modal
yang tersalurkan, hanya untuk menyelamatkan satu butir demi satu butir padi.
Agar bisa hinggap di piring kita setiap pagi, siang dan malam.
Sementara itu, di kota, tak jarang kita melihat tumpukan
makanan yang dibuang oleh yang empunya, setelah sekedar mencicipinya saja. Kota
yang tak bisa memproduksi padi dan makanan kadang bertingkah jauh lebih arogan.
Tentang keeratan sosial, bahwa manusia adalah mahkluk sosial
(zoonpoliticon), bentuk aslinya hanya ditemukan di desa. Kebersamaan di
desa di dasari oleh kehendak baik (good will), yaitu suatu dorongan
moral yang datang tanpa syarat apapun yang disebut motif sikap imperatif
kategoris.
Di kota juga ditemukan kerjasama, tetapi semua bersyarat,
demi interest tertentu yang beragam mulai dari prestis, memperkaya diri
hingga kekuasaan. Inilah dorongan imperatif hipotetis, suatu kehendak moral
paragmatis. Karena itu, temukanlah gotong royong yang orisinil hanya di desa.
Begitu virus korona yang berendemik di Wuhan, Cina menyerbu
negera-negara dunia, lalu meyebar menjadi pandemik dunia. Semua negara
menyatakan bencana nasional. Orang-orang kota kalang kabut penuh kekhawatiran,
padahal fasilitas kesehatan paling lengkap ada di kota, rumah sakit berstandar
internasional ada di kota, obat-obatan yang mujarab ada di kota, dan segala
rupa dokter spesialis ada di kota. So what else?
Masyarakat kota terbelah antara lockdown dan antilockdown atas aktivitasnya sendiri. Orang-orang kaya yang cukup bekal berteriak lockdown, sementara kelas menegah menjerit cicilan motor, rumah, dan sejumlah tanggungan di penggadaian. Mereka semua ragu, yang mereka ragukan adalah makan apa? Mereka baru sadar, di tengah kebanggaannya pada kerapian tatanan sosial di kota justru menjadi paling rapuh begitu ada sedikit saja gangguan sosial.
Masyarakat kota terbelah antara lockdown dan antilockdown atas aktivitasnya sendiri. Orang-orang kaya yang cukup bekal berteriak lockdown, sementara kelas menegah menjerit cicilan motor, rumah, dan sejumlah tanggungan di penggadaian. Mereka semua ragu, yang mereka ragukan adalah makan apa? Mereka baru sadar, di tengah kebanggaannya pada kerapian tatanan sosial di kota justru menjadi paling rapuh begitu ada sedikit saja gangguan sosial.
Para pemain saham yang biasa makan enak, baru sadar bahwa
lembaran-lembaran saham itu tidak bisa dimakan, investor jalan tol baru sadar
bahwa jalan tol tak bisa dimakan, pengembang perumahan baru tahu bahwa dia
masih butuh sebungkus nasi dan segelas air.
Dalam situasi ini, rupanya masyarakat desa adalah masyarakat
yang paling tenang menghadapinya. Mereka tidak berisik dalam berikhtiar, tetap
tawakkal dan qana’ah pada apa yang dimilikinya. Mereka menyadari wabah itu sesekali waktu bisa
melanda kehidupan desa, tetapi mereka memahami bahwa di tengah ikhtiar selalu
ada akhir yang bisa jadi jalan terbaik.
Orang-orang desa tidak pernah merepotkan negara untuk makan
apa. Ada singkong, ada pisang, ada kacang hijau, ada kedelai, ada padi, ada
sayur, ada kelapa, dan pohon buah lainnya. Semua itu bisa diolah ke berbagai
aneka rupa makanan untuk dimakan. Di tengah gonjang ganjing ekonomi nasional
dan dunia, orang-orang desa hadir di lini pertahanan negara menjaga agar negara
tidak kebobolan akibat kelaparan.
Orang-orang desa masih tetap ke sawah, mempersiaplan lahan
dan benih untuk segera bercocok tanam. Mereka tahu bahwa ada jutaan manusia
yang tengah menunggu beras hasil taninya untuk dimakan. Itulah kehebatan desa
bagi sebuah komunitas besar bernama negara. Ehhhh….sssttt… dana desa di
desamu dikorupsi kah?
Mungkin itu pulalah, yang membuat Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
bilang “Indonesia Bagian Dari Desa Saya.” Bahwa sebetulnya roh dari kehidupan
bernegara ini ada di desa. Desa mengajari kita bahwa dalam bernegara bukan
seberapa banyak yang kita terima dari negara, bukan seberapa besar bantuan dari
negara untuk kehidupan kita, tetapi seberapa besar yang kita berikan bagi
negara ini. Itulah pelajaran dari desa yang tidak ditemukan di kampus-kampus.
0 Komentar