Oleh:
Herlianto A
Modifikasi Pribadi |
Belum kering
optimisme yang diasumsikan Yuval Noah Harari, bahwa Homo Sapiens (manusia)
secara saintifik berevolusi menjadi Tuhan, Homo Deus, atau setidaknya
mengurangi peran Tuhan. Kinerja otomasi teknologi berkat kemajuan algoritma dan
kecerdasan buatan (artificial intelligence) ditengarai akan segera
mewujudkan cita-cita sapiens itu. Namun, balada virus korona (covid-19) yang berhembus
sejak Desember 2019 dari Cina hingga hari ini ke seluruh dunia membuat cita-cita
itu harus dihayati ulang.
Alih-alih
proyek besar itu mengalami kemajuan, justru sapiens hari ini harus belajar
kembali cara mencuci tangan yang benar. Pelajaran yang paling “primitif”
dilihat dari optimisme sains. Ini suatu perubahan evolutif yang tidak terpikirkan
oleh sapiens sama sekali sebelumnya. Canggihnya teknologi tak bisa menghentikan
masifnya penyebaran covid-19. Hingga kini telah bergelimpangan ratusan ribuan
mayat di seluruh dunia. Tak peduli negara maju, berkembang, dan terbelakang
semua merasakannya.
Kemajuan dunia
medis hanya mampu mendeteksi tetapi “tak bisa” melakukan rekayasa mengubah
setidaknya masa inkubasi virus korona dari empat belas hari menjadi dua hari.
Bidang pengembangan vaksinasi belum berhasil hingga di bulan ke lima covid-19
menyerang sapiens. Para dokter dan tenaga medis lainnya bertahan total dan
semua warga mengindar dengan mengurung diri di rumah. Bahkan tak sedikit dari
kalangan medis yang kemudian menjadi “martir”.
Lantas, apakah
pembacaan evolusi gagal? Tidak sama sekali. Justru covid-19 menunjukkan bahwa
mekanisme evolusi pada semesta ini bekerja. Jika diteropong dengan “drone” yang
lebih tinggi maka virus adalah ancaman evolutif bagi sapiens, sebagaimana
sapiens menjalankan tugas evousinya memusnahkan Neanderthal, mahluk primitif
sebelum sapiens. Atau sebagaimana sapiens memutus mata rantai kehidupan mahluk
hidup lainnya di bumi, macam hewan dan tumbuhan.
Pendeknya, covid-19
menunjukkan bahwa natural selection itu bekerja. Dan yang sangat
menampak saat ini adalah “gagahnya” virus korona. Apakah ini menjadi abad awal
bagi musnahnya sapiens di masa depan? Jawabannya mungkin saja, tinggal siapa
yang lebih mampu bertahan di semesta yang banal ini, sapiens atau virus. Semua
mafhum bahwa covid-19 adalah bentuk yang penyempurnaan dari Mers dan Sars. Dua
jenis virus yang hidup sebelumnya yang mengalami lompatan evolusi menjadi lebih
kuat.
Kita merenung,
covid-19 yang hanya dengan masa inkubasi empat belas hari, negara sebagai komunitas
kebanggaan sapiens, bisa lokcdown selama itu. Dampaknya besar, perekonomian
gonjang-ganjing, politik tidak stabil. Kelaparan mengancam sapiens, orang di
India antri mendapatkan makanan selama tutup total. Bagaimana jika masa
inkubasi itu dalam evolusinya nanti bertambah menjadi sebulan, dua bulan, dst,
apa yang akan terjadi pada sapiens? Atau kekuatan virus lebih mapan lagi,
bagaimana nasib sapiens di bumi?
Memang kajian
paleontologi menunjukkan bahwa kemusnahan-kemusnahan besar dalam sejarah
kehidupan didukung oleh faktor alam. Punahnya dinosaurus tidak terlepas dengan
perubahan suhu bumi dan bencana alam. Menghilangnya Australopithecus yang
arboreal (hidup menggelantung) secara quadropedal (empat kaki) dari hutan
sabana Afrika tidak terlepas dari perubahan iklim yang menyebabkan hutan
berubah menjadi padang rumput. Sehingga mengubah manusia primitif itu menjadi
Pithecantropus Erectus, berdiri tegak (terestrial) dengan bipedal (dua kaki).
Dan akhirnya menjadi sapiens.
Apakah
perkembangan virus juga dalam keadaan menunggu dukungan dari semesta untuk
mempunahkan sapiens? Tidak ada yang tidak mungkin. Bukankah lapisan ozon telah
menipis dan berlubang, dunia mengalami pemanasan global, es-es kutub telah
mencair yang semakin menyempitkan daratan di mana sapiens berpijak.
Namun
demikian, ada modal besar yang membuat sapiens dapat bertahan, yaitu
kreativitas sapiens. Termasuk kreativitas memprediksi dan mengantisipasi
kemungkinan yang akan terjadi. Ilmu evolusi telah berkembang, artinya bisa
dimanfaatkan oleh sapiens untuk membaca kemungkinan evolusi virus di masa depan.
Suatu kemampuan yang tak dimiliki oleh virus.
Lalu bukankah,
sebelum covid-19 merebak, pernah detemukan adanya virus yang memiliki kekuatan lebih
dari pada Mers dan Sars oleh Ali Mohammad Zaki, seorang dokter yang bekerja di
Arab Saudi tetapi kemudian dipecat tanpa alasan. Walaupun sudah banyak yang
mengklarifikasi bahwa virus itu bukan covid-19. Tetapi bahwa telah ada evolusi
virus dengan kekuatan yang lebih dari sebelumnya tidak bisa ditolak lagi.
Sepertinya, di
situ peran penting kajian evolusi untuk memprediksi kemungkinan mutasi virus selanjutnya.
Dengan demikian, asumsi masa depan “Tuhan” sapiens tidak terang-terang banget,
walaupun dia memiliki cukup modal untuk menjalani seleksi alam dengan
makhluk-mahkluk lainnya termasuk dengan virus.
0 Comments