Wabah dan Keadilan Ilahi


Oleh: Herlianto A
Sumber: koleksi mazhabkepanjen.com

Wabah adalah bagian sejarah umat manusia. Eropa sekitar abad belasan masehi pernah dilanda black death (maut hitam), salah satu wabah paling mematikan. Penyakit itu sungguh menggetarkan dunia, menyasar ke berbagai kawasan termasuk menyerang Timur Tengah, masuk melalui Mesir. Ibn Khaldun turut menceritakan wabah ini dalam Muqaddimah-nya.

Pada abad 13 muncul wabah kutu Yersinia Pestis yang juga mematikan, beredar dari Asia Timur, lalu menyebar ke Eropa dan Afrika. Abad ke 15 dunia dilanda cacar (smallpox). Abad 17, flu pertama menginvasi, diikuti tuberkulosis. Satu jalur dengan flu itu, yang sangat mematikan dikenal dengan “flu Spanyol”. Indonesia turut merasakan flu ini di awal abad 20. Dalam dua puluh tahun terakhir muncul SARS, MERS, dan hari ini Covid-19.

Dalam catatan Yuval Noah Harari, selain perang, virus termasuk yang paling banyak menghabisi nyawa dalam sejarah manusia (sapiens). Lalu apakah wabah ini suatu keburukan? Secara singkat, kita menjawab iya keburukan. Apakah Tuhan yang menciptakan keburukan itu? Konsep-konsep ketuhahanan manusia telah berupaya menjawab persoalan muasal keburukan ini.

Peradaban politeistik Yunani, menjawab bahwa keburukan itu diciptakan oleh yang Ilahi. Karena itu ada dewa khusus yang memegang job ini yaitu Hades, dewa bawah tanah atau dikenal dengan dewa neraka. Dewa ini dibedakan dengan Zeus sebagai dewa langit, surga. Tetapi konsep ketuhanan ini memiliki celah dengan menjerumuskan yang Ilahi sebagai zalim (lawan adil).


Betapa tidak? Dia yang maha pengasih dan penyayang tetapi membiarkan manusia tersiksa dan menderita oleh wabah. Dia punya kekuasaan untuk menghentikan wabah itu, tetapi tidak melakukannya. Itulah protes paling berani yang dilakukan Epikurus di zaman Yunani atas keadilan Ilahi, sehingga dia memilih atheis.

Dia lalu memutar hidup sepenuhnya menuju kenikmatan (meterial; ataraxia). Tak menutup kemungkinan di era modern dan pascamodern ini ada yang berpandangan seperti Epikurus. Atau, setidaknya, pada saat kita mengalami kesulitan terbersit dalam pikiran bahwa tuhan yang Ilahi itu tidak adil.

Peradaban Zoroaster di tanah Persia juga berupaya merumuskan konsep pengasalan keburukan. Konsep ketuhanan mereka bersifat dualisme, yaitu tuhan keburukan (ahriman) yang melahirkan keburukan dan tuhan kebaikan (ahura mazda). Konsep ini juga tidak menyelamatkan manusia dari keluhan-keluhan macam Epikurus. Pada batas-batas tertentu, mungkin juga ditemukan pada konsep kedewaan Hindu (dewa Siwa). Lalu bagaimana membawa konsep ketuhanan untuk mengadvokasi argumen Epikurianis itu?

Mula-mula yang perlu ditegaskan adalah bahwa segala penciptaan pada mulanya adalah baik. Bisa ular yang kita anggap buruk, pada awalnya adalah baik karena untuk menyelamatkan diri. Lemak pada daging yang dimakan, itu awalnya baik tetapi begitu dikonsumsi secara berlebihan menjadi buruk.

Begitu juga dengan wabah virus itu, awalnya adalah baik. Toh, virus hanya menjalankan tugas alamiahnya dalam tubuh manusia yaitu membiakkan diri, yang sebetulnya jika terjadi di luar tubuh manusia tidak ada masalah.

Dengan demikian, sebetulnya keburukan itu non-eksis. Keburukan itu tidak diciptakan melainkan  kebaikan yang dilihat dari perspektif yang berbeda. Keburukan bersifat nisbi (kontingen), tidak mutlak. Karena itu, begitu perspektif kita diganti pada suatu hal yang dianggap buruk maka keburukan itu bisa menjadi bernilai kebaikan.

Misalnya, dikhianati gadis/pria pujaan, atau jatuh di jalan, kena lock down karena covid-19, dst. Secara horizontal mungkin ini dinilai keburukan. Karena kita sedih ditinggal pacar, sakit karena jatuh, rencana batal semua karena harus #dirumahaja, perekonomian kocar-kacir, dst.

Tetapi kalau kita tarik secara vertikal, maka perspektif kita menjadi: karena dikhianati kita menjadi belajar tidak sembarangan mencintai orang, karena jatuh kita menjadi hati-hati kalau di jalan, karena covid-19, asap-asap yang merusak lapisan ozon berkurang. Konon ozon yang dulunya berlubang kembali tertutup, udara menjadi segar, orang yang dulu susah cari waktu di rumah kini berada di rumah terus. Kita menjadi peduli kesehatan.

Jadi, keburukan adalah sisi lain dari kebaikan yang bersifat i’tibari. Adanya  keburukan bersandar pada kebaikan, tanpa kebaikan maka keburukan tidak ada. Karena itu, ditijau dari eksistensinya, keburukan adalah non-eksis, bukan sesuatu yang mandiri dan mutlak.

Dengan demikian, secara rasional, kezaliman yang dituduhkan pada yang Ilahi hanya karena ada keburukan menjadi tidak berdasar. Segala penciptaan yang ilahi adalah baik, perspektiflah yang mengubahnya.

Memang, kita sudah terlanjur melihat keburukan itu sebagai suatu hal yang berbeda dari kebaikan. Sehingga begitu yang kita anggap keburukan menimpa, maka diperlukan perenungan dan penghayatan mendalam untuk melihat keburukan itu secara adil, hingga kita menemukan keadilan Ilahi di dalamnya.      

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Seringkali eksistensi 'Tuhan' dipertanyakan di saat* mencekam spt ini. Adakah Tuhan dicari saat* manusia merasa aman* saja? Sebenarnya, 'Tuhan' yang kita tanyakan itu merupakan manifestasi pikiran kita yang selayaknya ditujukan kpd kita sendiri.
    Abad ke-21 ini ditandai kemajuan umat manusia dalam bidang teknologi. Hingga tidak heran, pikiran* dan gagasan* atheisme (tdk prcya pada sesuatu yg ilahi) ity bertumbuh subur. Konsekuensi logisnya, manusia hidup dlm kebebasannya sendiri. Sayangnya, kebebasan itu tak terbatas sementara umat manusia itu sendiri dari kodratnya itu terbatas. Wabah ini menegaskan suatu hal, bahwa dlm kebebasannya, manusia sebenarnya tengah dijajah oleh kebebasannya sendiri.

    BalasHapus
  2. Berbicara eksistensi ilahiyah jangan hanya di cari saat tubuh di rantai dan tak bisa bergerak, sejatinya peradaban manusia dari abad ke abad menjdikan pelajaran bagi manusia pada generasi selanjutnya untuk tidak mematikan tuhan dalam dirinya, karena pada dasarnya sebuah keburukan yang menimpa pada diri seseorang menjadi peringatan bahwa nilai kebaikan dalam dirinya sudah berkurang bahkan bisa jadi tidak ada sama sekali dan jika di tanyakan apakah tuhan menciptakan keburukan? Ya tentu tidak, karena adanya keburukan menandakan bahwa di dalamnya sudah tidak ada tuhan.

    BalasHapus