Pandemi Corona Tunjukkan Watak Kapitalis, Tapi Berandai-Andai Sosialisme Tidak Tepat

Oleh: Herlianto A

Sumber: matamatapolitik.com

Apakah gejolak virus korona (Covid-19) beserta dampak globalnya adalah momen di mana hipotesa Marxis diterima (accepted)? Bahwa kapitalisme adalah sistem yang rapuh secara internal, karenanya sebentar lagi, entah besok, lusa atau minggu depan, kapitalisme benar-benar tumbang ditangan pembunuh berdarah dingin bernama virus Korona yang bergelar Covid-19. Dan sebagai gantinya ekonomi global pasca Corona adalah sosialis. Mungkinkah?

Beberapa analisa para marxis memberi penilaian bahwa kapitalisme “tidak manusiawi” menghadapi wabah ini. Bukti kongkritnya, begitu terjadi pembatasan kerja dan bahkan lockdown, alih-alih memberi tunjungan pada para buruhnya, justru ratusan ribu hingga jutaan buruh dipecat (PHK) di seluruh dunia.

Alasannya sederhanya, produksi berhenti, akumulasi modal berhenti, maka para kapitalis menyelamatkan diri dengan mengorbankan buruh yang justru selama ini menghidupi para kapitalis melalui surplus value-nya. Kapitalis mencari selamat sendiri dan membiarkan manusia lainnya mati kelaparan. Suatu pengkhianatan yang paling terkutuk yang pernah ada di muka bumi ini.

Belum lagi, kocar-kacirnya ekonomi dunia yang bertumpu pada sistem kapitalisme-liberalisme. Prediksi kapitalis tentang ekonomi dunia hancur lebur, pertumbuhannya “nyungsep”. Negara-negara industri yang dulu dinilai perkasa, macam Singapura dan negara-negara Eropa, kini sedang oleng berat.

Kelemahan-kelemahan demikian akan terus terjadi di dalam diri sistem kapitalis dan menjadi terang-benderang di masa pandemi ini. Sudah waktunya sistem sosialis-komunis menggantinya. Saat ini gejala itu mulai tampak, nasionalisasi sektor industri farmasi dan transportasi mulai terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika.

Namun begitu, bagaimana sosialis-komunis akan bekerja belum ada gambaran yang utuh. Tentu saja, tidak seperti yang pernah terjadi di Uni Soviet, itu gagal. Memang belum pernah ada suatu masa di mana peradaban komunis itu hidup. Peristiwa commune paris di Prancis pada 1871 mungkin peristiwa penting sebagai prototype masyarakat komunis, namun belum cukup.

Slavoj Zizek dalam kumpulan artikel terbarunya “Pandemic!: Covid-19 Shakes The World” (2020), menyatakan optimismenya akan komunisme di tengah pandemi ini. Menurutnya, Covid-19 menunjukkan kondisi orisinil umat manusia yang paling sosialis, suatu momen di mana tak lagi melihat kelas. Semua kembali ke rumah, ke asal manusia itu sendiri.

Suasana sosialis itu terwujud dalam kerja sama untuk terbebas dari virus korona tak peduli apapun kelasnya. “We’re all in the same boat now” (kita berada di kapal yang sama sekarang) demikian panggil Zizek. Virus asal Cina itu menyerang membabi buta tanpa pandang bulu, tak peduli menteri, perdana menteri, pengusaha, ustad, ahli ibadah, dst. Semua dapat diinfeksi.

Fiilosof asal Slovenia itu menambahkan bahwa penangan Covid-19 tidak bisa diserahkan secara bebas sebagaimana sistem pasar bebas kepada individu-invidu. Tak ada tangan tuhan (invisible hand) yang akan menyelamatkan umat manusia dari wabah ini, kecuali negara harus hadir. Pendeknya, kehidupan sosialis-komunis adalah yang cocok pasca covid-19 ini berakhir. Benarkah demikian?

Saya kira Zizek terlalu baik melihat manusia, lupa dengan homo homini lupus. Andai Zizek ke Indonesia mungkin kaget, bagaimana mungkin Corona merebak tapi masker dan hand sanitizer ditimbun, alat-alat cuci tangan publik hilang di Surabaya. Ini sama sekali tidak sosialis. Tapi okelah.

Persoalan lainnya, wabah global ini bukan yang pertama kalinya, dan semua wabah yang pernah terjadi dapat diatasi oleh umat manusia tanpa konsekuensi revolusi dari kapitalis ke komunis. Revolusi-revolusi yang pernah tercatat dalam sejarah sama sekali tidak diakibatkan oleh suatu wabah. Silahkan dicek misalnya, revolusi Prancis, revolusi Iran, dan termasuk revolusi Uni Soviet  yang pernah terjadi. Bahwa memicu pemberontokan mungki saja, seperti yang pernah terjadi di Prancis abag ke 19 akibat wabah kolera.

Dalam beberapa hal, virus korona ini justu menunjukkan pergeseran pola kapitalis dari era 3.0 ke 4.0. Style kapital model terbaru tersebut semakin menampak jelas di tengah pandemi. Artinya, alih-alih kapitalis itu tumbang, justru terjadi penyesuaian besar-besaran terhadap kehidupan kapitalis di era Internet of Thing ini.

Negara mengeluarkan dana besar membiayai warganya untuk short course mengembangkan skill agar bisa berkiprah di dunia maya. Di Indonesia misalnya dilakukan oleh Menkominfo melalui pelatihan online atau dalam bentuk pelatihan pra-kerja (kartu pra-kerja) yang di dalamnya juga dilatih kemampua bertahan di zaman IoT.

Jadi semua lari pada yang online-online atau orang-orang menyebutnya bisnis online. Bahasa lainnya netizen secara voluntaris (suka rela) mensubjugasi diri ke dalam dunia daring. Wajar kemudian dalam beberapa catatan, penghasilan kapital online meningkat hingga 300 persen selama pandemi. Pemilik aplikasi video konferensi macam Zoom langsung menjadi kaya raya, dan diikuti oleh model aplikasi lainnya.

Pergeseran ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada pergeseran dari era 1.0 ke 2.0 di mana tenaga manusia diganti oleh mesin. Pemutusan Hak Kerja juga terjadi besar-besaran karena industri melakukan upaya efektifisasi kerja demi akumulasi modal yang jauh besar lagi. Dan ternyata, umat manusia secara perlahan menyesuaikan dengan ritme kapitalis yang baru tersebut.

Saat ini, di tengah pandemi ini, gejala penyesuaian atas mode kapitalis yang baru, saya kira, tidak bisa ditolak faktanya. Dengan demikian, komunisme kembali menjadi hipotesa lagi, dan entah sampai kapan ada pembuktiannya. Sehingga menyatakan hipotesa komunis accepted hari ini, saya kira sebentuk keterburu-buruan.

Selain itu, secara prinsipil dalam hipotesa Marxis kapitalisme runtuh diakibatkan karena kontradiksi internalnya. Artinya penyebab keruntuhan kapitalis ada dalam dirinya. Sementara, wabah ini adalah faktor eksternal terhadap kapitalisme yang hanya akan terjadi sementara saja. Setelah wabah usai, maka faktor pendorongnya juga hilang.

Dengan demikian, memang jelas bahwa wabah korona menunjukkan, sekali lagi, bagaimana kejamnya watak sistem kapitalisme. Namun, juga tidak mudah untuk meruntuhkan kapitalisme. Seperti sebuah mahluk yang memiliki antibodi yang kuat dan dapat menyesuaikan diri. Namun begitu, tetaplah kapitalisme sebuah kejahatan.


Posting Komentar

0 Komentar