(Meramaikan Polemik A.S Laksana vs Goenawan Muhammad)
Oleh: Herlianto A
Sumber: moeslimchoice.com
Perbincangan sains dan saintisme
“trending” yang dipantik oleh perseteruan antara A.S. Laksana (ASL) versus
Goenawan Muhammad (GM) di facebook. Sederhananya, ASL menuduh GM anti sains,
sementara GM berusaha membela diri dengan tak menampik kelemahan-kelemahan
sains. Perseteruan ini bergulir bagai bola salju memunculkan komentar intelektual
baik membela GM, ASL ataupun yang mencoba netral (mengambil jalan ketiga).
Sekubu dengan ASL, Saut
Sitomorang, Nirwan Arsuka, dst. Sementara kubu GM diperkuat oleh Ulil Absar
Abdallah, yang telah menyatakan tobat dari kehidupan sekulernya. Adapun
pihak-pihak yang berusaha mencari jalan ketiga, misalnya Fitzerald Sitorus yang
mencoba menempatkan posisi sains, agama, dan filsafat secara berbeda, lalu
Fransisco Budi Hardiman yang melihat sebetulnya ASL dan GM belum
sungguh-sungguh bertarung di gelanggang sains, melainkan sebatas adu gertak di
luar rink.
Kalau diteteni, para
penulis yang terlibat dalam polemik ini tidak ada yang berasal dari background
sains, sebagian besar dari filsafat, sastra, agama, dan penulis lepas. Mereka,
sepertinya, bukan bicara sains per se, tetapi filsafat sains:
identifikasi batas-batas sains. Namun begitu, isu ini tetaplah menarik ditengah
debat para politisi modal ngeyel dan menjijikkannya isu kebangkitan PKI
yang tanpa data selain bendera yang dibuat dan dibakar sendiri.
Kali ini, meski terkesan sudah
agak basi, saya ingin meramaikan berdebatan berbobot tersebut meskipun tulisan
ini tidak seberbobot itu. Tidak dalam rangka masuk pada salah satu kubu di
atas, melainkan ingin menghadirkan kembali perdebatan klasik antara Al Ghazali
versus Ibn Rusyd sekitar seribu tahun lalu. Suatu dialog yang menurut saya
masih relevan terutama dikaitkan dengan sains dan saintisme.
Dua buku yang perlu diketengahkan
dalam hal ini adalah Tahafut al Falasifah (Al Ghazali) dan Tahafut at
Tahafut (Ibn Rusyd).[1]Tulisan ini tidak
jauh-jauh dari buku tersebut. Tidak semua topik dalam dua karya elegan itu
relevan, dari dua puluh tema yang ada yang paling cocok, menurut saya, adalah
perdebatan ke tujuh belas yang membahas soal independensi sebab dan akibat. Hal
ini tidak terlepas dari karakter sains yang bertujuan mencari sebab-sebab
(hukum alam) dari peristiwa alam.
Kritik Al Ghazali
Baiklah, menurut Al Ghazali hubungan
sebab dan akibat tidak mesti (daruri), melainkan berdiri
sendiri-sendiri. Akibat (peristiwa y) tidak mesti disebabkan oleh sebab (peristiwa x), kenyang
tidak mesti disebabkan oleh makan roti, orang mati bukan karena kepalanya
terpotong. Kalau ditarik ke konteks kekinian, benda jatuh bukan mutlak karena
gravitasi, pesawat bisa terbang bukan karena mesinnya, lampu menerangi kamar bukan
semata disebabkan aliran lisrik, dst.
Berbagai fenomena akibat yang
disebutkan ini bisa terjadi sekalipun tanpa sebab yang umum kita kenal itu,
dengan catatan jika Tuhan berkehendak. Apa yang sulit bagi kemahakuasaan Tuhan?
Perut bisa kenyang sekalipun empat puluh hari hanya minum air, meski lehernya
terpotong bisa jadi orang tetap hidup, pesawat bisa terbang meskipun tak
menggunakan mesin, dst.
Yang kita sebut sebab dari
peristiwa sebetulnya bukanlah sebab melainkan sebatas kejadian yang mendahului.
Satu peristiwa terjadi lalu diikuti
peristiwa lain. Maka peristiwa yang lebih dulu disebut sebab, padahal tidak ada
keterhubungan sama sekali.
Artinya, lanjut Al Ghazali,
filosof (dan saintis) hanya terpengaruh oleh kebiasaan amatannya sehari-hari.
Mereka terbiasa melihat benda jatuh dan dikatan disebabkan gravitasi maka
saintis menyebut gravitasi adalah sebab benda jatuh. Padahal tidak semua benda
jatuh, ada asap yang terbang ke atas, atau kapal yang ngambang di air.
Setelah listrik nyala diikuti
lampu hidup, maka disebutlah listrik sebab dari hidupnya lampu. Padahal kita
tidak benar-benar melihat bagaimana listrik menghidupkan lampu. Sebutan yang
cocok untuk ini adalah “asosiasi ide-ide”, meminjam bahasa David Hume.[2]
Artinya tidak ada jaminan besok lusa peristiwa (x) akan diikuti peristiwa (y). Yang
disebut sebab itu tak lebih hanyalah posibilitas.
Untuk memperkuat argumennya, lebih
lanjut, Al Ghazali menggunakn contoh api dan kapas. Jika lazimnya, kita
menyadari bahwa api sebab bagi terbakarnya kapas, sebetulnya bisa jadi kapas
itu menghitam dan jadi abu tetapi tidak menyentuh api sedikitpun. Atau
menyentuh api, tapi bisa jadi tidak terbakar. Itu misalnya yang terlihat pada
Nabi Ibrahim yang dibakar tetapi tidak terbakar. Padahal seharusnya sebagaimana
manusia lainnya Ibrahim terbakar, tetapi tidak terjadi.
Begitu juga Nabi Isa yang mampu
menghidupkan orang mati, Musa mengubah tongkat menjadi ular, Muhammad dalam
sekejap menuju tujuh lapis langit. Semua itu, menurut sains tidak mungkin
tetapi terjadi. Peristiwa-peritiwa mukjizat ini, menuru Al Ghazali sangat bisa
kita dapati dalam keseharian kita saat ini. Tetapi filosof akan menolak itu
karena bukan kebiasaan.
Al Ghazali, lalu menampatkan
kehadiran peristiwa-peristiwa yang mendahului akibat itu sebagai sebab (pra
syarat), tetapi bukan sebab mutlak melainkan sebatas sebab-sebab penyiap dan
penyumbang agar manusia menerima sistem penyebaban. Namun sebab yang
sesungguhnya tetap Tuhan, pemberi segala eksistensi. Persis seperti orang buta
yang bisa melihat, mengira bahwa kebutaan adalah sebab ketidakmampuannya
melihat, padahal meskipun tidak buta kalau gelap ya tidak bisa mengamati
objek.
Dependensi sebab ke akibat juga
dibantah oleh Al Ghazali dengan argumen bahwa sebetulnya yang disebut sebab
hanyalah gerak alamiah darisesuatu bukan pilihan dan karenanya tidak tetap. Karena itu sebab yang sama bisa jadi akibatnya
berbeda. Misalnya, panas matahari bisa membuat baju menjadi putih, tetapi bagi
kulit manusia akan menjadi gosong.
Berarti yang peting dalam hal ini
adalah kualitas penerima sebab. Relasi sebab ke akibat menjadi tidak mutlak.
Pendek kata, Tuhan dengan emanasinya tetaplah sebab utama dari segala
eksistensi realitas.
Jika dilihat poin-poin ini, Al Ghazali
cukup berpihak pada anti “kepongan” sains, dalam bahasa Ulil. Memang dia hadir
dalam rangka menjaga kemurnian teologi (utamanya As’ariyah). Pendapat Al
Ghazali sederet dengan GM. Saya kira, ini poin paling gamblang dari kritik Al
Ghazali tentang sains, yang kemudian ditanggapi tidak kalah gamblangnya oleh
Ibn Rusyd.
Bantahan Ibn Rusyd
Rusyd mengatakan bahwa Al Ghazali
sedikit sofistik dalam hal independensi sebab dan akibat, karena bagaimana bisa
menolak sebab efisien yang mendahului sesuatu. Misalnya, bagaimana mungkin kita
mengatakan tak ada keterhubungan sebab-akibat antara tukang bakso dan bakso.
Bukankah sesuatu yang jelas, bahwa bakso dibuat oleh tukang bakso, dalam hal
ini akibat dependen atas sebab. Akibat tidak bisa berdiri sendiri tanpa sebab.
Dalam beberapa kasus yang
dicontohkan, Al Ghazali menurut Rusyd mengabaikan esensialitas dari sesuatu. Misalnya
api yang dianggap tidak dapat membakar kecuali kehendak Tuhan, yang membakar
bukan api tapi Tuhan. Sifat membakar pada api dihilangkan maka esensi api juga
hilang. Disebut api karena membakar, jika tidak bisa membakar maka tidak ada
bedanya dengan batu atau air. Jika, segala sesuatu dinilai sebagaimana Al
Ghazali ini, maka esensialitas segala sesuatu menjadi tidak jelas, tak
terdefinisi. Anehnya menurut Rusyd, teolog itu menggunakan definisi.
Dalam hal ini, Al Ghazali, tidak
memerinci sebab yang dimaksud, karena pada sesuatu yang terjadi secara temporal memiliki empat sebab:
sebab efisien, material, formal, dan final. Pada setiap hal yang bergerak dari
potensi ke aktual pasti mengharuskan empat sebab itu, sekalipun kadang tidak
semua sebab itu dapat diketahui secara langsung.
Jadi, bahwa api kadang tidak membakar,
bukan karena api tidak lagi membakar, bisa jadi ada penghalang yang tidak
diketahui dan ini yang mestinya harus terus diteliti. Artinya, jika ada peristiwa
di mana api tidak bisa membakar sesuatu, berarti ini suatu hipotesis yang mesti
diteliti, bukan suatu kesimpulan. Di sini Rusyd membuka ruang untuk sains hidup
lagi dan menatap masa depannya yang cerah.
Misalnya, jika harusnya benda
jatuh akibat tarikan gravitasi, tetapi ada asap yang malah terbang bukan
berarti gravitasi gagal menarik asap karena Tuhan mengintervensi gravitasi.
Bisa jadi karena massa asap lebih rendah dari udara sehingga asap naik ke atas,
persis seperti minyak dicampur air di mana minyak naik kepermukaan air. Karena
massa minyak lebih rendah dari air.
Namun begitu, menurut Rusyd
filosof memahami bahwa ada pengetahuan yang mutlak dan pengetahuan kontingen,
yang keduanya meski diposisikan dan disampaikan secara hati-hati. Bahwa Al Ghazali
menyebut sebab-akibat filosof sebagai kebiasaan, ini juga rumit menurut Rusyd.
Kebiasaan siapa? Kebiasaan sesuatu (maujud), pengamat, kebiasaan filosof, atau
kebiasaan Tuhan. Tapi masak Tuhan memiliki kebiasaan dalam sunnatullahnya?
Berkenaan Tuhan sebagai pemberi
eksistensi bagi segala sesuatu (sebab eksternal), menurut Rusyd adalah
persoalan penyempurnaan. Karena Tuhan sendiri memberi manusia potensi untuk mengetahui
dari realitas alam yang justru untuk menuju Tuhan itu sendiri. Di sini Rusyd menempatkan
mukjizat sebagai suatu peristiwa yang mesti “ditanda kurungkan”, karena ini
menyangkut ruang-ruang agama. Tetapi mensimplikasi tatanan semesta hanya pada
Tuhan akan membuat manusia menjadi aneh.
Bisa dibayangkan, orang membakar
rokok dengan air, lantaran bisa jadi air membakar berkat kehendak Tuhan. Atau
menyambungkan lampu ke lubang hidung bukan lubang terminal listrik. Atau tidak
mau minum obat meskipun sakit karena percuma sembuhnya juga tergantung Tuhan.
Atau lebih takut Tuhan ketimbang Covid-19, lalu mempertautkan diri dalam
kerumunan. Tentu ini semua suatu kekonyolan.
Dengan demikian, posisi Ibn Rusyd
lebih dekat dengan optimisme sains sebagaimana dinyatakan ASL dan kawan-kawannya.
Walaupun Rusyd tidak menolak Tuhan, melainkan mencoba memberi proporsi yang
tepat antara pengetahuan Tuhan dan pengetahuan manusia melalui sains.
Akhirnya, baik Al Ghazali maupun
Ibn Rusyd memiliki posisi yang penting dalam sains. Al Ghazali lebih seperti
rem bagi optimisme berlebihan sains, sementara Rusyd mengambil posisi gas agar
sains tak berhenti optimis. Ini pulalah yang mungkin ingin dinyatakan oleh
kelompok ketiga dalam perdebatan itu, dangan memberi porsi yang tepat antara sains,
agama, dan filsafat.
Hah… tak disangka perdebatan kita hari ini, rupanya perdebatan intelektual seribu tahun yang lalu. Artinya?? Entahlah, males jelasinnya.
[1]
Buku yang digunakan versi bahasa Indonesia. Tahafut at Tahafut. (2018) diterjemahkan oleh M.S.
Nasrullah. Bandung: Marja. 2018, Tahafut al Falasifah. (2015). diterjemahkan oleh Achmad Maimun. Yogyakarta: Forum.
[2] Dalam
hal ini, empirisme Hume dekat sekali dengan padangan Al Ghazali, dan bukan
tidak mungkin ada pengaruh sang hujjatul Islam, sebagaimana “dugaan”
pengaruhnya ke skeptisisme Rene Descartes.
0 Comments