Oleh: Herlianto A
Sumber: Aktual.com
Andaikata kita mau mereduksi antara Barat dan dunia Islam, maka yang tersisa dalam perbedaan yang cukup jomplang adalah Islam dan sains termasuk teknologi. Dunia Islam saat ini, harus diakui, sebagai konsumen sains dan teknologi baik di udara, laut, darat, maya dan bahkan di ranjang.
High techology pada empat bidang itu masih didominasi made in asing. Dunia Islam punya banyak kritik terhadap sains dan teknologi tetapi terlambat dalam pengembangan sains dan teknologi. Salah satu “keterjajahan”–kalau boleh saya bilang begitu–dunia Islam saat ini adalah di dua dibidang tersebut.
Secara nostalgik, sering kali kita sebutkan kebesaran kiprah Islam dalam dunia sains dan teknologi, baik di bidang astronomi dan astrofisika, biologi, psikologi, kimia, hingga geografi . Tetapi, itu terjadi di zaman ibnu-ibnu, bahwa sains ini atau itu ditemukan oleh ibnu A, ibnu B, dan ibnu-ibnu lainnya. Setelah itu, sudah sangat jarang nama lain yang bisa disebutkan.
Tanpa bermaksud menyebut sebagai penyebab kemunduran sains, memang jarang ulama, ustad, dan habib belakangan ini yang sebagai ahli agama sekaligus saintis sebagaimana di era ibnu-ibnu. Saat ini lebih fokus ke bidang dakwah wal ubudiyah, pengkaplingan surga dan pemerataan bidadari.
Apakah itu salah? Tidak juga, karena kita tahu bahwa itu semua bagian dari ajaran dan doktrin agama. Tetapi yang kurang adalah bagaimana menterjemahkan atau mewujudkan secara kretif ajaran atau doktrin tersebut dalam wujud sains.
Kalau kita sedikit belajar ke era ibnu-ibnu yang banyak memberi sumbangsih terhadap sains, kok rasa-rasanya filsafat memainkan peran penting. Filsafat, tentu saja, dalam maknanya yang masih utuh yang tidak terkapling dalam bidang-bidang ilmu, yang belakangan secara gigantis memusuhi filsafat itu sendiri.
Tradisi filsafat dalam dunia Islam, sebetulnya, ilmu yang masuk belakangan setelah ilmu-ilmu Islam macam kalam, fikih dan usul fikih sudah mapan. Dilihat dari proses penerjemahan besar-besaran terhadap ajaran Yunani, filsafat baru masuk ke Islam sekitar tiga abad setelah kelahiran Islam itu sendiri.
Tetapi rupanya, filsafat mampu mendorong kreativitas berpikir zaman tersebut. Ia mampu menjadi jembatan atara doktrin agama dan perkembangan sains. Saya kira ini poin yang cukup penting. Karena itu, pemikir-pemikir Islam awal mampu mengembangkan sains sembari sebagai ahli agama. Ibn Sina mampu menulis dalam Al Isyarat wal Tanbihat logika, fisika, dan kalam dalam satu buku yang linear, tidak bertentangan.
Kalau kita buka Al Qanun fi At Tibb, Ibn Sina dengan filsafat Aristoteles, tentang forma, mampu membenarkan mengapa uji coba obat kedokteran dapat dilakukan pada selain manusia sebelum disuntukkan pada manusia. Bahwa pada materi dan forma yang sama akan berlaku hukum-hukum yang sama.
Cara-cara demikian dilakukan oleh para ibnu-ibnu yang lain, sehingga hasilnya seperti yang sering kita banggakan itu. Di bidang astronomi ada At Tusi yang membincang posisi planet sebelum revolusi Kopernikan, seturut dibidang ini ada Al Kashi, Ali Qushji, Al Farghani, Al Battani, Ibn Bajjah, dst. Di bidang kedokteran, tentu saja Ibn Sina (the fataher of doctot), Ar Razi (imunologi), Al Balkhi (neurosis), Al Majusi (syaraf), Al Zahrawi (bedah), dst. Bidang kimia ada Jabir bin Hayyan (kristalisasi zat kimia), Ibn Bakhtawaih (potassium), Khalid bin Yazid (bubuk mesiu), dst.
Dari cara kreatifitas itulah Barat belajar pada Islam lima abad yang lalu, melalui transliterasi buku-buku Islam ke bahasa Latin. Sayangnya, yang berkembang berbeda, sains Barat berkembang pesat sementara di dunia Islam meluruh seiring runtuhnya politik dan dinasti-dinasti Islam. Alhasil, saat ini yang terjadi adalah “penjajahan” sains dan teknologi sebagaimana kita amati.
Namun begitu ada celah yang bisa direbut kembali, karena rupanya sains Barat meradikal dan meninggalkan nilai-nilai agama sebagai sumber inspirasi dan normanya. Karena itu, sains dan teknologi Barat berubah menjadi alat kepongahan dan kolonialisasi. Itu yang dipraktekkan oleh Amerika dan koleganya atas dunia ketiga termasuk dunia Islam itu sendiri. Negeri om sam itu tengah mempreteli negara-negara Timur tengah, setelah Arab Saudi dan UAE menjadi kacungnya.
Selain itu, secara perlahan dunia Islam mulai tidak hanya menyadari pentingnya sains dan teknologi tetapi berupaya mengembangkannya. Tampak, beberapa saintis dunia Islam mulai bangkit, misalnya, yang sangat populer Muhammad Abdus Salam, muslim Ahmadyah pakistan dan Aziz Sancar, asal Turki. Salam meraih nobel bidang fisika teoritis sementara Sancar di bidang biokimia.
Dalam suasana demikian, penting mengingat saran Hassan Hanafi, yaitu bahwa kita mesti mampu memetakan antara “yang lain” yaitu Barat dan “diri” yaitu tradisi keilmuan dunia Islam sendiri. Pemetaan ini untuk mengambil yang baik dari “yang lain” dan “diri” lalu ditransformasi menjadi paradigma baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan kita.
0 Comments