Oleh: Herlianto A
Sumber: pixabay.com
Apa yang Anda ketahui tentang
tubuh Anda sendiri? Pertanyaan ini sederhana, seperti bertanya apa yang ada di
kamar Anda? Hanya saja, jika pertanyaan kedua Anda bisa menjawabnya secara
tuntas tetapi di pertanyaan pertama Anda tidak akan pernah bisa menjawabnya
secara tuntas. Itulah yang dimaksud misteri dalam hal ini.
Saya menyadari betapa pentingnya
pertanyaan pertama bagi saya, karena sebetulnya saya sangat jarang, untuk
mengatakan tidak pernah, menyelidiki tubuh saya sendiri secara teliti. Saya
hanya bergegas mengambil air ketika haus, memasak nasi ketika lapar, dan
merentangkan kasur ketika ngantuk, atau mencari pasangan ketika kebutuhan seks
(bilogical drive) meronta. Rasanya, kebutuhan-kebutuhan itu saja yang
saya amati secara langsung tentang tubuh.
Selebihnya, didapat dari berbagai sumber lain, terutama dengan membaca tulisan baik riset atau refleksi orang lain. Dalam permbacaan itu, ada pertanyaan lain yang kadang menyambar dalam benak yaitu apakah saya sama dengan orang lain sehingga hasil refleksi dan riset orang lain cocok untuk memahami tubuh saya sendiri? Tanya itu sering kali saya abaikan, tetapi ia tak henti-hentinya menerjang nalar.
Termasuk ketika ada penjelasan
soal nikmatnya agama, betulkah agama itu juga nikmat bagi saya? Bagaimana saya
dapat merasakannya dan seperti apa nikmatnya? Atau saya hanya ikut meramaikan kenikmatan
agama tanpa merasakannya sedikitpun. Hanya lantaran pendakwah itu
menyampaikannya secara humoris, saya suka dan senang dengan humornya. Tetapi
apakah betul ini kenikmatan agama? Apa tidak sebaiknya saya membaca buku
kumpulan humor.
Atau, saya sedang berusaha sekuat
tenaga menikmati yang disebut agama itu, tapi benarkah kenikmatan itu harus
diupayakan sedemikian gigihnya? Entahlah, karena semakin saya mempertanyakannya
semakin tidak mengerti apa-apa tentang tubuh ini. Lalu apa dan siapa tubuh ini?
Bagaimana saya harus memahaminya, atau memang tidak perlu dipahami, biarkan
tubuh bermain dengan riang sebagaimana adanya?
Saya pun pernah bertekat untuk
tidak mempertanyakan soal tubuh, tetapi tekat itu hanya bertahan tak lebih dari
beberapa menit saja. Karena puluhan pertanyaan kemudian datang seperti prajurit
yang membrondong lawannya dengan senjata. Bukan membuat tenang justru seperti
menyiksa saya dengan pukulan-pukulan yang menyakitkan. Saya berbalik dengan tekat
melayani semua pertanyaan, tapi sayang saya tak pernah bisa menjawabnya secara
tuntas.
Memang jalan yang saya tempuh
adalah dengan rute di luar tubuh, yaitu membaca buku-buku atau setidaknya
berdiskusi dengan pemilik tubuh lain. Saya meyakini jalan itu akan sangat
membantu saya memahami tubuh. Walaupun akan membutuhkan waktu yang sangat
panjang. Karena saya dihadapkan dengan deretan buku-buku dan penulis yang
jumlahnya jutaan dari waktu ke waktu.
Belum lagi rumitnya pembahasan
yang ada dalam buku, yang untuk memahaminya memerlukan rentang waktu. Terlebih
kajian-kajian yang saya sendiri tidak memiliki pengalaman sama sekali, tentang
neurosains misalnya, atau psikologi, biologi, dst. Lalu saya merasa perlu “shortcut”
menuju tubuh, yaitu melalui tubuh itu sendiri tanpa menghilangkan perlunya jalan
di luar tubuh.
Saya menyadari usia saya terbatas, tidak mungkin melahap semua buku itu, sementara gambaran tubuh masih hadir dalam bentuk kebutuhan-kebutuhan yang menuntu segera dipenuhi. Maka, saya rasa perjalan ke dalam tubuh–inner journey meminjam bahasa guru saya, Ach. Dhofir Zuhry,–harus segera di mulai. Tapi persoalannya di mana pintunya agar kaki bisa segera dilangkahkan? Saya kira karena ini perjalanan ke dalam tubuh, pintunya berada tidak jauh dari tubuh itu sendiri.
0 Komentar