Zaman Neo Al Ghazali

Oleh: Herlianto A

Sumber: publicdomainvector.org

Syed Muhammad Naquib al Attas, cendekiawan muslim berpengaruh asal Malaysia, mengatakan saat ini dunia pemikiran Islam seperti pada saat eranya Al Ghazali. Yang dimaksud oleh penulis Islam and Secularism ini adalah pengaruh pemikiran-pemikiran dari luar Islam terutama barat  menyerang secara dominan terhadap pemikiran Islam.

Hal ini persis dengan pengaruh tradisi pemikiran Yunani di era Al Ghazali yang melahirkan setidaknya tiga tokoh besarnya: Al Khindi, Al Farabi dan Ibn Sina, yang kemudian melahirkan tradisi neoplatonis dan peripatetik.

Pada zaman demikian, maka klaim al Attas yang lahir di Bogor pada zaman Belanda itu, dibutuhkan “cara-cara” Al Ghazali. Dalam hal ini berkaitan dengan penemuan, pemurnian dan pembaruan pemikiran Islam. Penemuan berarti penggalian kepada sumber Islam yaitu Alquran dan Hadits.

Pemurnian berarti menghadirkan nilai keilahian (divinity) yang tergeser oleh sains. Pembaharuan berarti rekontekstualisasi ilmu-ilmu Islam. Inilah proyek islamisasi ilmu pengetahuan. Tak pelak, Al Ghazali, menjadi sosok yang harus diotak-atik pemikirannya.

Suatu kesimpulan al Attas yang tidak jamak ditemukan, karena sebagian cendekiawan (Islam) melihat Al Ghazali justru diidentikkan dengan penyebab kemunduran pemikiran (filsafat) Islam. Lantaran kritik Al Ghazali yang keras terhadap Al Farabi dan Ibn Sina. Lalu sebagai gantinya, biasanya, Ibn Rusdy dimunculkan sebagai “penyelamat” filsafat Islam dari keruntuhannya.

Seolah pemikiran orang-orang Islam terbelah dua, yaitu mereka yang ikut Al Ghazali tidak menyukai filsafat dan Ibn Rusdy yang menggemari filsafat. Padahal sepertinya, orang-orang Islam saat ini tidak ikut siapa-siapa dari keduanya. Tak ada yang mengikuti bagaimana dua tokoh itu menekuni fisika, logika, matematika, hingga metafisika dan lalu membangun kerangka pemikirannya lewat karya-karya yang melimpah. Yang saya tahu muslim wabil khusus di negara +62, ribut soal klepon, kencing onta, seminar poligami, bakar bendera, dan takfiri.

Kita kembali pada hipotesa al Attas di atas. Memang pemikiran Barat begitu mendominasi saat ini yang ditopang oleh kekuatan politik, ekonomi, dan bahasa. Secara politik, rilis ilmu barat lebih cepat diterima terutama pada negara-negara yang berada di bawah cengkeraman barat. Hal ini karena relasi kuasa.

Secara ekonomi, barat memiliki kekuatan modal untuk mendorong riset-riset saintifik, diberbagai bidang mulai astronomi hingga teknologi nano. Teringat betapa Muhammad Abdus Salam, fisikawan teoritis asal Pakistan, yang harus mengungsi ke Cambridge lalu ke Imperial Collage, Inggris untuk meneruskan riset-riset fisikanya. Dia harus mencari founding dari luar negaranya untuk membiayai mimpi besarnya di bidang fisika.

Kemudian secara bahasa, jelas bahasa barat (Inggris, Prancis, dan Jerman) menguasai. Karena itu, kita lebih mudah menemukan buku-buku pemikiran Islam klasik dalam bahasa Inggris selain bahasa Arab itu sendiri, misalnya,  Remarks and Admonitions (al Isyarat wal Tanbihat), The Physic of The Healing (al Shifa), The Canon of Medicine (Qanun fi Thib). Ketiganya karya Ibn sina.

The Book of Letter (Kitab al Huruf), The Virtous City (al Madinah al Fadila), Musical Treatise (al Musiqa al Kabir). Tiga buku terkahir karya Al Farabi. Itu hanya sebagian dari penerjemahan karya-karya pemikir Islam dalam bahasa Inggris.  

Sementara terjemahan ke dalam bahasa Indonesia masih sangat jarang. Maka tak heran, jika ada mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat tapi karya yang dihasilkan Derrida, Heidegger, Nietzsche, Marx, Hegel, dst. Atau setidaknya korelasi antara pemikiran Islam dan Barat, atau membaca pemikiran Islam dengan metodologi pemikiran barat. Itu lantaran ketersedian referensi atas pemikiran itu melimpah.

Kemudian dari bidang sains atau ilmu pengetahuan dan teknologi juga tidak kalah dahsyatnya dominasi barat. Sebagian pembenci barat dibuat terpaksa menghujat barat melalui teknologi yang diciptakan barat. Bidang terakhir ini yang sering disebut-sebut mengalami krisis spritualitas. Mengarahkan pada atheisme atau paling tidak sekulerisme, walaupun juga tidak sedikit yang menjadi lebih relijius setelah mempelajari riset-riset sains.

Barangkali, keadaan inilah yang ditangkap oleh al Attas sehingga dia merasa bahwa saat ini dunia Islam mengalami “zaman neo Al Ghazali”. Artinya suatu era di mana kehadiran yang ilahi perlu diargumentasikan sebagaimana Al Ghazali lakukan pada para pendahulunya.

Dari situlah, kritik al Attas mengemuka pada Madjid Fakry, orientalis yang banyak menulis pemikiran Islam, atas karyanya Islamic Occasionalisme yang dinilai menyalahi prinsip ilmu Islam. Dia kemudian mengajukan Islamic worldview, dunia pandang Islam, sebagai salah satu langkah hidup di zaman ini.   

Kegelisahan al Attas ini, menurut saya, cukup berdasar dan wajar. Walaupun sebetulnya ilmu pengetahuan sebagai jalan kebenaran tidak bisa dikotak-kotak. Meski yang mengatakan barat jika itu benar berarti harus diakui kebenarannya. Maka, sebetulnya, yang perlu dilakukan bukan mengkotakkan tetapi perlombaan akan penemuan kebenaran yang diterima secara universal, dalam bahasa Kontowijoyo: objektivasi.

Saya menyadari bahwa al Attas berposisi sebagaimana mazhab kritis melihat ilmu pengetahuan yang tidak netral, ada ideologi di baliknya. Bahwa selalu ada power yang mengendap-endap pada setiap pengetahuan, demikian Michael Foucault. Selalu ada kepentingan (interest) dalam ilmu pengetahuan, demikian Jurgen Habermas. Karena itu, al Attas menyasar yang paling dasar dari ideologi yaitu worldview (pandangan dunia), yang darinya ideologi diasalkan.             

Posting Komentar

0 Komentar