Oleh: Herlianto A
Sumber: Financial Times
Persoalan dasar yang ingin dijawab dalam filsafat ilmu adalah bagaimana penyimpulan ilmiah itu dilakukan sehingga menghasilkan suatu pengetahuan (teori) yang valid agar dapat digeneralisasikan pada realitas yang lebih luas. Kecenderungan manusia untuk memperoleh validitas atas pengetahuan yang dicari merupakan kecenderungan yang perenial. Hal ini bisa ditelusuri hingga ke zaman Yunani klasik, enam abad sebelum masehi.
Salah satu “artefak” yang tersisa hingga hari
ini kaitannya dengan sains adalah “logos”. Bahwa logos dilawankan dengan mitos
sebagai mode lain peradaban Yunani untuk mencapai pengetahuan yang valid. Jika
mitos didasarkan pada “klenik” maka logos didasarkan pada realitas melalui
observasi dan penalaran rasional. Itulah yang dilakukan ilmuwan sejak Thales
hingga Stoa.
Mode logos inilah yang dikembangkan menjadi eksperimen ilmiah oleh para ilmuan awal abad modern seperti Nicolaus Copernicus dan Galileo Galilei. Temuan mendasar dari dua pemikir ini adalah pembedaan antara pengetahuan primer dan skunder, yang kita kenal kemudian sebagai empiris dan rasionalis.
Kedua aliran tersebut
dikembangkan secara radikal masing-masing pada sosok David Hume dan Rene
Descartes menjadi empirisme dan rasionalisme. Empirisme menurunkan alirannya
secara metodis pada induksi yang bersifat eksperimental, sementara rasionalisme
menjadi deduksi dengan corak eksperiensial. Sejak kemudian induksi dan deduksi
saling mengklaim sebagai yang paling valid dalam memperoleh pengetahuan.
Sintetik Apriori
Di tengah pergolakan kedua arus besar filsafat ilmu itu, Immanuel Kant dengan susah payah menemukan jalan tengahnya. Menurutnya, pada dasarnya apa yang disebut saintifik tidaklah murni empiris-induktif yang hanya bersadar pada pengalaman sehingga menafikan semua yang berada di luar batas tersebut.
Akan tetapi, yang saintifik untuk dapat
disebut saintifik memerlukan kehadiran medium lain yaitu rasional-deduktif yang
justru memungkinkan segala temuan induktif dapat digeneralisasikan. Hakikatnya,
empiris-induktif bersifat partikular pada amatan-amatan yang terbatas. Agar
hukum atau prinsip dari amatan yang terbatas itu berlaku general, maka tentu
mau tidak mau rasionalisasi yang deduktif harus dilibatkan. Pendeknya, induksi
tidak bisa mengeneralisasikan dirinya sendiri.
Kant lalu membuat klasifikasi pengetahuan ilmiah yang dibedakan dari yang tidak ilmiah, disebut pengetahuan sintetik apriori, yaitu pengetahuan yang selalu berangkat secara empiris-induktif lalu digeneralisasikan secara rasional-deduktif. Pengetahuan ini mengkorelasikan antara hasil pengalaman dengan kategori-kategori pikiran.
Sintetik
apriori dibedakan dengan dua pengetahuan lainnya yang tidak ilmiah yaitu
pengetahuan analitik dan sintetik aposteriori. Analitik berarti
pengetahuan yang hanya murni hasil eksperimen pikiran dan tidak bisa
diverifikasi ke realitas, sementara sintetik aposteriori adalah murni
capaian induksi pengalaman yang partikular sifatnya.
Pencarian menemukan cara penyimpulan yang valid terus berlanjut pasca Kant, hadirnya Ernest Mach menghadirkan kembali empirisme yang radikal. Bahwa pengetahuan yang valid harus dibebaskan dari kecenderungan-kecenderungan spekulasi nalar, dan harus murni bersandar pada deskripsi pengalaman.
Sehingga yang disebut pengetahuan yang
valid adalah pengetahuan yang dihidangkan secara deskriptif sebagaimana adanya
pengalaman itu sendiri sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pandangan
Mach ini sedikit berbeda dengan positivisme August Comte yang lebih pada upaya
mengelola masyarakat ilmiah, yaitu masyarakat yang pengetahuannya bersandar
pada data-data material.
Verifikasionis
Inilah rezim verifikasionis yang
melahirkan objektivisme atau biasa disebut realisme naif. Rezim ini
berpandangan bahwa pengetahuan yang valid haruslah objektif. Sehingga segala
yang menyangkut kemungkinan adanya intervesi subjek dalam suatu eksperimen
ilmiah haruslah dihilangkan. Subjek tidak netral, memiliki perasaan yang
membuat interpretasinya sayarat dengan kepentingan. Sementara pengetahuan
saintifik harus terbebas dari kepentingan apapun. Nah, salah satu cara
mereduksi keterlibatan subjek dalam suatu riset adalah dengan penggunaan instrumen
dan metode riset yang ketat dan kaku (rigor).
Misalnya, untuk mengetahui secara ilmiah apakah di daerah pantai itu dingin atau panas maka tidak bisa ditanyakan pada subjek (orang) yang berada di pantai itu. Karena subjek yang sudah biasa di pantai merasa suhu pantai tidak panas, alias biasa-biasa saja. Sebaliknya, juga tidak bisa membawa subjek (orang) pegunungan ke pantai untuk menguji suhu pantai.
Orang pegunungan yang biasa berada pada suhu dingin akan merasa di
pantai sangat panas. Semua hasil subjek-subjek tersebut tidak ada yang objektif
dan tidak ada yang valid tentang suhu pantai. Satu-satunya yang objektif adalah
mengganti subjek dengan termometer yang akan menunjukkan suhu pantai
sebenarnya, katakanlah 35 derajat. Hasil termometer ini netralitasnya dapat
dipertanggung jawabkan, karena memang ia tidak memiliki perasaan dan
kecenderungan apapun.
Neopositivisme
Rezim verifikasionis-objektif ini
lebih lanjut dimodifikasi oleh lingkaran Wina yang dikenal sebagai aliran
neopositivisme atau positivisme logis. Beberapa tokoh pentingnya di antaranya
Alfred J. Ayer, Wittgenstein, Rudolf Carnap, dst. Mereka menyadari bahwa sains
(pengetahuan ilmiah) disebut valid apabila memuat dua kriteria, dapat
diverifikasi (verifiable) dan logis (logical). Hasil-hasil
induksi harus dapat dijustifikasi dan dapat dinyatakan ke dalam
proposisi-proposisi yang ketat dan logis. Penekanan pada proposisi yang logis
ini membuat mereka juga disebut kelompok analitik, yaitu menganalisa proposisi
ilmu hingga ke bagian-bagian terkecilnya.
Pandangan analitik ini sebetulnya diambil dari kaum atomisme logis yang mengembangkan logika modern, sebelumnya telah dimotori oleh Gotlob Frege dan Bertrand Russell. Kalangan ini memastikan bahwa yang disebut logis itu tidak harus tersusun dalam kerangka silogisme Aristotelian, yang untuk mendapatkan kesimpulan logis harus menyusun premis mayor dan minor.
Sebaliknya,
bagi mereka, satu proposisi sudah dapat dinilai logis tidaknya. Misalnya,
proposisi atomis “salju adalah putih”. Proposisi ini bisa disusun secara silogistik
menjadi premis mayor: untuk setiap x
adalah salju, premis minor: x adalah
putih, maka konklusinya “salju adalah putih”.
Inspirasi logika modern tersebut membuat
neopositivisme menegaskan bahwa sains harus dapat dinyatakan ke dalam kalimat
observasional atau kalimat protokol, yaitu: setiap objek x ketahui oleh subjek
y pada waktu z dan tempat a. Pengetahuan yang tidak bisa dinyatakan dalam
rumusan ini tidak bisa disebut sebagai sains, melainkan pseudo sains
yang kemudian di kelompokkan menjadi metafisika. Tugas filsafat ilmu adalah
membuat demarkasi yang jelas antara sains dan pseudo sains agar teori yang
dihasilkan menjadi valid. Ambisi neopositisme ini biasanya disebut sebagai
proyek sains terpadu (unified science).
Falsifikasi
Namun demikian, apa yang telah
dirumuskan oleh neopositivisme dibantah oleh Karl Popper bahwa sebetulnya yang
paling penting dalam penentuan validitas pengetahuan itu ialah apabila dapat
difalsifikasi (falsifiable) bukan verifikasi. Verifikasi tidak akan
melahirkan teori, melainkan hanya mengonfirmasi, karena itu yang mendasar dalam
hal ini adalah hipotesis. Hipotesis berarti proposisi pengetahuan mungkin
diterima dan mungkin ditolak dalam konfirmasinya. Jelas bahwa yang ilmiah tidak
hanya dapat dikonfirmasi tetapi juga falsifikasi.
Katakanlah misalnya, dalam suatu
hipotesis bahwa “logam memuai bila dipanaskan” pernyataan ini bisa dibuatkan
falsifikasinya “logam tidak memuai bila dipanaskan”. Lalu dikonfirmasi,
ternyata benar bahwa besi memuai bila dipanaskan, maka pengetahuan bahwa besi
memuai bila dipanaskan berarti ilmiah. Sebaliknya
jika dalam konfirmasinya ada jenis logam yang tidak memuai bila dipanaskan
berarti pernyataan “logam memuai bila dipanaskan” menjadi batal atau
terbantahkan.
Persoalan lain yang disorot oleh Popper
dari neopositivisme ialah metode induksi yang digunakan. Menurutnya, metode
induksi tidak pernah memeriksa realitas secara keseluruhan yang menjadi asal
suatu teori. Teori bahwa “logam itu memuai bila dipanaskan” tidak berasal dari
keseluruhan pengujian terhadap semua jenis logam, melainkan dari sebagain logam
saja yang biasa disebut sampel. Tepat disitu persoalannya. Karena tidak semua
realitas diperiksa dalam sains maka apa yang disebut ilmiah hanyalah suatu
probabilitas.
Tingkat probabilitas akan
ditentukan oleh metode dan data yang digunakan. Semakin valid metode yang
digunakan dan datanya semakin mendekati populasi maka hasilnya semakin valid
pula. Jadi sains adalah perlombaan menuju suatu teori yang probabilitas
kebenarannya lebih tinggi daripada yang lain. Upaya sains bergerak dari
probabilitas yang lebih rendah ke probabilitas yang lebih tinggi inilah yang
disebut abduksi. Begitulah penyimpulan ilmiah bekerja dalam pandangan Popper.
Pergeseran Paradigma
Perkambang selanjutnya dari
filsafat ilmu adalah penyempurnaan dari Thomas Kuhn. Dengan pendekatan
historis, dia sedikit berbeda dengan Popper terutama berkaitan dengan
falsifikasi. Bagi Kuhn sains itu berjalan secara evolutif dalam sejarah, yang
mana dalam evolusinya pandangan sain bergeser yang disebut paradigms shift.
Bahwa sains bergerak menuju suatu paradigma tertentu lalu kemudian digantikan
oleh paradigma lainnya. Pergantian paradigma ini diawali dengan banyaknya
antinomi (kelainan-kelainan) yang tidak bisa dijawab oleh paradigma status
quo.
Walaupun begitu, tidak semua
antinomi akan menggugurkan suatu paradigma. Karena bisa jadi antinomi itu
merupakan hanya sebatas kesalahan dalam penerapan eksperimennya. Tepat di sini,
Kuhn berbeda dengan Popper. Bagi Popper setiap antinomi dijadikan sebagai
falsifikasi yang akan membatalkan proposisi sains. Padahal yang disebut
falsifikasi itu bisa jadi hanyalah kesalahan dalam riset yang sebetulnya bisa
diperbaiki dengan pengecekan segala perangkat dan proses riset. Tidak sampai
memfalsifikasi.
Begitulah upaya penyimpulan ilmiah diperbincangkan dalam filsafat ilmu. Namun demikian metodologi riset yang menyangkut paradigma, pendekatan, metode, serta teknik dalam riset yang berupaya mengungkap suatu fakta ilmiah tetap tidak berubah posisinya. Bahwa tahapan-tahapan metodologis tersebut tetap krusial untuk menghasilkan pengetahuan yang paling valid dengan probabilitas kebenaran lebih tinggi.
0 Komentar