Oleh: Herlianto A
Sam Harris bercerita seorang anak
muda naik bus mengenakan mantel di suatu terminal. Dia duduk didekat pasangan paruh
baya. Dari halte ke halte penumpang bus semakin penuh. Lalu tiba-tiba anak muda
itu meledakkan bom yang diracang di dalam mantelnya sebelumnya.
Seketika dia dan penumpang
lainnya tewas. Perjalanan itu menjadi mengerikan dan sadis. Itulah satu peristiwa
teror yang pernah terjadi. Harris menuliskan kisah pilu itu dalam The End of
Faith: Religion, Terror and The Future of Reason. Satu buku yang
disebut-sebut pedoman kaum ateis modern atau ateis saintifik.
Pasca ledakan itu, pertanyaan
Harris adalah bagaimana pandangan umum tentang pelaku. Apakah orang mengira
pelaku seorang insinyur? Seorang yang populer di sekolahnya? Atau seorang
intellektual?Jawabannya untuk semua pertanyaan ini adalah tidak alias bukan.
Lantas siapa pelaku yang begitu
mudah melakukan aksi keji itu. Harris mengatakan: “kamu boleh bertaruh dalam
hidupmu bahwa perbuatan anak muda itu dipicu oleh agama yang dianutnya.” Jadi
pelaku adalah pemeluk agama, memiliki keimanan (faith) dan percaya (believe
in) Tuhan.
Sadisnya, lanjut Harris, orang
tua pelaku merayakan kematian sang anak sebagai suatu keberhasilan karena
percaya dia telah terbang menuju surga. Sementara para korban yang tewas oleh
pecahan kaca dan paku diyakini telah dikirim ke neraka oleh Tuhan. Ini suatu
fakta betapa egoisme (relijius) pemeluk agama, betapa berbahayanya keyakinan
dan kepercayaan. Kepercayaan rupanya mengubah tindakan manusia secara radikal
dan tak wajar.
Persoalan kepercayaan macam ini
tidak hanya terjadi pada kepercayaan atas agama, tetapi juga kepada ideologi,
misalnya liberalisme, rasisme, dan isme lainnya. Kepercayaan akan mendikte
prilaku penganutnya hingga pada batas yang sama sekali di luar nalar. Saya kira,
memang tidak sulit untuk mencari bukti-bukti dari hipotesas Harris ini.
Ingatan kita masih segar,
misalnya, pada Brenton Harrison Tarrant yang membantai 51 muslim di masjid
Selandia Baru. Dia bukanlah agamawan yang taat, tetapi liberalis yang taat. Kematian
George Floyd di Amerika yang kemudian menjadi isu rasisme. Begitu juga dengan
isu-isu antar keyakinan agama, bom-bom yang meledak di gereja-gereja Indonesia.
Etnis cleansing atas peduduk
Rohingya di Myanmar. Belum lagi yang tercatat dalam sejarah dunia di masa lalu.
Malah antar satu agama hanya beda mazhab juga bisa saling sikut, itu yang kita
lihat antara Katolik dan Protestan, Sunni dan Syiah, Wahabi dan Ahmadiyah, dst.
Semua itu membuat Harris seperti
menemukan legitimasi bahwa agama dan kepercayaan apapun adalah suatu bahaya
sekaligus ancaman. Setiap kepercayaan melahirkan semangat ekumenikalisme yaitu
menganggap di luar dirinya salah, tidak lengkap, dan cacat. Kepercayaan di
dalam dirinya terkandung secara intrinsik semangat intoleransi, semangat
membunuh.
Apa yang dinyatakan Harris ini tidak
bisa ditolak adanya, memang ada faktanya. Hanya saja apakah itu berlaku secara
universal pada setiap peristiwa di setiap waktu, termasuk pada kepercayaan si
Harris itu sendiri? Di sini perlu fakta pembanding atas hipotesa Harris. Dan
sepertinya tak sulit menemukan fakta yang berbeda dari hipotesa Harris. Beberapa
fakta sejarah, menurut hemat saya, malah menunjukkan falsifikasi atas asumsi
dia. Misalnya, bagaimana perjuangan Mahatma Gandhi di India dalam merebut
kemerdekaan bangsanya dari penjajahan Inggris.
Gandhi berpijak pada kayakinannya
yang Hindu. Ali Syariati di Iran yang berpijak pada keyakinannya yang Islam
dalam memperjuangkan revolusi Islam Iran, Muhammad Iqbal melakukannya di
Pakishtan, Dalai Lama di dataran Tibet dengan keyakinannya yang Budha
memperjuangkan haknya untuk merdeka dari agresi Tiongkok. Begitu pula dengan
gerakan-gerakan teologi pembebasan yang bergema di Amerika Latin, Eropa hingga
seantero dunia.
Kita memiliki dua hipotesa dan
dua realitas tentang agama dan keyakinan, yaitu yang destruktif dan konstruktif,
yang toleran dan intoleran. Artinya, bandul kepercayaan ini akan bergerak
kemana bergantung pada yang menggerakkannya. Rasionalitas dan emosi dalam hal
ini menjadi aktor penggerak bandul itu. Jika rasionalitas tenggelam dalam badai
emosi, hasrat, dan nafsu maka agama akan menjadi neraka bagi kemanusiaan. Agama
akan menjadi sumber dari segala palsunya kepalusan, sadisme, dan mala petaka.
Tetapi bila rasionalitas dapat
tegak maka agama menjadi pohon rindang yang menaungi kehidupan manusia, menjadi
mata air yang mengobati kehausan di padang krisis kemanusiaan, menjadi lentera
dalam kegelapan modernitas, dan sumber harmoni di tengah konflik global yang kian
menggila. Karena sejatinya tak ada ajaran agama yang buruk, melainkan tafsir
manusia atas ajarannya itulah yang berpotensi buruk.
Akhirnya, religiusitas adalah potensi yang bisa dipola untuk apapun. Pengetahuan dan kesadaran adalah kunci agar agama tidak dijerembabkan untuk memeras dan membodohi manusia itu sendiri. Harris telah berhasil menunjukkan satu sisi bagaimana agama diselewengkan, namun begitu ada fakta lain yang bisa digali sebagai realitas tandingan atas hipotesa Harris. So, is it because of belief? It depends on you.
0 Komentar