Oleh: Herlianto A
Sumber: edited |
“Sudahlah nggak usah ngajak
mahasiswa, mereka itu kalau pagi mager, siang gabut, dan malamnya
pewe,” rasa jengah seorang teman dalam suatu obrolan sambil menikmati
semangkok ronde di jalanan Amplas kota Yogyakarta belum lama ini.
Entah mengapa petikan itu begitu
membekas dibenak. Saya kira dia tidak hanya mengatakan salah satu tabiat
sebagian mahasiswa tetapi ada hal yang lebih jauh dari itu yang ingin
dinyatakan, yaitu realitas sosial kita saat ini. Realitas di mana manusia
dilanda rasa malas akibat dimudahkan oleh berbagai perangkat aplikasi yang
terpasang di telepon pintarnya.
Saya lalu menempatkan petikan itu
sebagai lubang jarum bahasa untuk mengintip realitas sosial yang lebih luas.
Bekal yang saya bawa adalah hipotesa (atau sedikitnya asumsi) dalam kajian
sosiolinguistik, bahwa bahasa memiliki hubungan tak terpisahkan dengan realitas
sosial. Baik dalam bentuk realitas yang mempengaruhi bahasa atau sebaliknya
bahasa yang mempengaruhi realitas sosial. Bahasa berkembang seiring dengan
perkembangan kehidupan sosial manusia itu sendiri, tepatnya bahasa itu dinamis.
Mula-mula saya mencoba menilik
ungkapan itu dalam bingkai kajian bahasa itu sendiri atau biasa disebut
singkronik. Rupanya, mager, gabut, dan pewe dikenal dengan
sebutan bahasa slang. Suatu bahasa nonformal yang digunakan oleh
kalangan kekinian. Disebut nonformal karena belum terdata sebagai bagian dari
kamus standar bahasa Indonesia, KBBI.
Walaupun begitu, suatu saat nanti
kata itu bisa berubah menjadi bahasa formal, seperti kata alay, gebetan,
lebay, saltik, dst. yang kini sudah nangkring di KBBI dan tak
bisa lagi disebut bahasa nonformal. Kemudian dari sejarah pembentukan katanya
atau diakroniknya, kata-kata itu memiliki asal-usulnya sendiri. Mager merupakan
bentukan (morfologi) dari “malas gerak” yang dituturkan pada saat menolak
ajakan tertentu.
Adapun gabut bentukan dari
“gaji buta” yaitu gaji yang diterima tanpa melakukan keseluruhan pekerjaan atau
hanya mengerjakan sebagiannya saja. Tetapi kemudian kata ini mengalami
perluasan makna sehingga konotasinya negatif. Kini gabut berarti tidak
ingin melakukan apapun terutama yang merepotkan.
Sementara pewe bentukan
dari “posisi wuenak” yang biasanya diujarkan untuk menunjukkan rasa malas untuk
pindah, misalnya saat mendapat ajakan untuk geser ke kursi lain maka akan
bilang “aku udah pewe ni”. Jadi kalau ditilik secara umum mager,
gabut, dan pewe memiliki makna yang sangat dekat yaitu suatu
kemalasan untuk melakukan sesuatu yang lain.
Nah, sobat sekalian, kalau
kembali petikan di atas, berarti mahasiswa itu pagi malas, siang malas, dan
malampun malas. Persoalannya mengapa ada peristiwa malas yang sebegitu akutnya?
Dan juga mengapa kemalasan itu justru menimpa mahasiswa. Untuk menjawab ini
tidak cukup hanya dengan mengotak-atik bahasa (kajian metabahasa), melainkan
perlu melihat di luar bahasa itu sendiri.
Di sinilah kajian bahwa realitas
sosial mempengaruhi bahasa (sosiolinguistik) memiliki peran penting. Artinya
bahasa merepresentasikan secara luas peristiwa sosial. Mula-mula, kita mesti
melokalisir komunitas tutur yang menggunakan bahasa slang tersebut.
Hasil amatannya jelas, bahwa ungkatan itu dinyatakan kaum urban.
Memang sejauh ini, petani-petani
di desa belum tertangkap basah menjawab ajakan temannya dengan mager, gabut,
dan pewe. Komunikasi mereka masih standar atau lebih banyak menggunakan
bahasa daerahnya.
Kemudian, apa yang terjadi dengan
masyarakat urban? Observasi sederhana saya, masyarakat urban saat ini sangat
dimanja dengan berbagai aplikasi di telepon pintarnya. Aplikasi ini memudahkan
mereka mendapatkan yang dibutuhkan dengan tanpa banyak melakukan gerak.
Misalnya pesan makan, tinggal order di aplikasi. Mau bersihkan kamar, kirim
sesuatu, mencari hiburan, berkomunikasi dengan teman, ngerjakan tugas, ngecek
saldo ATM, dst. tidak perlu lagi bergerak. Mereka cukup mendial telepon
pintarnya, googling dan login, maka semua itu akan datang.
Mode hidup ini terbilang baru
sebetulnya setidaknya pesat pada awal abad 21an, terutama lahirnya era yang
dikenal dengan kenal 4.0 atau IoT (Internet of Thing). Suatu dunia yang
dimampatkan dalam saku celana dengan ukuran tak lebih dari 10 inci. Kemudahan
ini kemudian melahirkan rasa malas, dan rasa malas itulah yang diekspresikan
dalam mager, gabut, dan pewe.
Siapapun yang berada di area
urban boleh mempraktikkan gaya hidup ini. Terutama secara kelas mereka yang
berada pada level menengah ke atas. Kelas yang telah berpikir tentang kebutuhan
tertier bukan primer, tentang kemewahan bukan bagaimana dapat makan. Artinya,
ungkapan slang itu sekaligus menjadi penanda (marker) geografis
antara wilayah urban dan agraris dan antara the poor dan the have.
Mahasiswa adalah satu komunitas
yang menghuni area urban ini, menang kampus masih belum bisa merata hingga ke
daerah-daerah pedesaan. Maka wajar jika kemudian sebagain dari mereka tidak
hanya dipengaruhi oleh bagaimana cara menggunakan bahasa di area urban, tetapi
juga dipengaruhi oleh gaya hidup yang malas itu.
Begitulah bahasa menjelaskan realitas di luar bahasa, dan teman saya telah menunjukkan itu.
0 Komentar