Translator: Herlianto. A*
(Autobiografi ini didiktekan Ibn Sina pada muridnya, Gorgani)
Sumber: Iranpress.com |
Ayahku dari Balk. Dia pindah dari
Bukhara selama masa kekuasaan Nuh-Ibn Samani yang mana ayahku salah satu
petugas negara. Dia ditunjuk sebagai gubernur Karmisan, kota kecil dekat Bukhara,
dan di sana dia menikah dengan ibuku, Setare, yang berasal dari kota
Afshanah. Di sana aku dan saudaraku lahir.[1] Aku
dikirim ke kota Bukhara untuk belajar saat usia masih sangat belia. Saat usiaku
sepuluh tahun, aku belajar Alquran dan fiksi-fiksi (belles-lettres). Aku dikagumi banyak orang karena
kemampuanku dalam belajar berbagai macam ilmu pengetahuan.
Ayahku adalah pengikut sekte Ismailiyah. Dia sering
mendiskusikan konsep ismaelian tentang hakikat jiwa dan akal dengan saudaraku.
Aku mendengarkan dan memikirkannya, tetapi tidak pernah merasa yakin meskipun
mereka berusaha mencoba mengajakku ke dalam keyakinannya, tetapi usaha mereka
sia-sia. Ayahku kadang mendiskusikan tentang geometri, filsafat dan aritmatika
India, dan dia juga yang mengirimku ke suatu tempat yang kecil untuk belajar
angka-angka India yang kemudian aku kuasai dengan cepat.
Pada waktu itu seorang filsuf, Abu Abdullah Natali,
datang ke Bukhara. Ayahku memintanya untuk tinggal di rumah kami agar dia
mengajariku filsafat. Aku telah belajar dibawah bimbingan Ismael Zahed dan
cukup mampu untuk terlibat dalam diskusi teologi. Aku mulai mempelajari Isagoge
(Porphyry) dengan Natali.[2]
Aku melakukan pencarian yang otentik tentang problem genus (yang mengacu pada
tipe-tipe sesuatu yang berbeda) dan ini mengagetkan guruku. Natali sangat
terkesan dengan bakatku, dan dia khawatir ayahku tidak melanjutkan studiku.
Aku mampu mengatasi beberapa persoalan dalam logika yang
Natali sendiri tidak bisa mengatasinyta. Dia mempelajari filsafat tidak terlalu
luas, aku melanjutkan belajar logika sendiri hingga mengetahui semua yang perlu
diketahui. Aku mempelajari lima angka Euklides bersama Natali, dan tersisa satu
yang aku pelajari sendiri. Kemudian aku membaca ke Almagest (Ptolomy), setelah beberapa
halaman guruku tak mampu lagi mengajariku lebih jauh. Dia menyuruhku untuk
mengatasi problem-problem yang ada sendiri, lalu menunjukkan pada dia hasilnya,
aku berhasil melakukannya. Untuk menambah progresku, aku pernah membantu Natali
atas beberapa kesulitannya.
Setelah Natali meninggalkan Bukhara. Aku melanjutkan
studiku dan mengoleksi buku-buku. Aku membaca Fusus[3]
dan berbagai interpretasi fisika dan metafisika. Hari demi hari pintu
pengetahuan terbuka padaku. Kemudian aku mulai mempelajari kedokteran, yang ternyata
bagiku suatu pelajaran yang sangat mudah. Segera aku menjadi dikenal sehingga
banyak ahli fisika ternama yang mengunjungiku. Pada saat itu juga mempraktikkan
pengobatan dan aku belajar banyak dari pengalaman itu sehingga membuat para
kolega terkesan. Sembari itu, aku melanjutkan studi teologiku. Saat itu usiaku
enam belas tahun.
Setahun setengah kemudian, siang dan malam, aku membaca
logika dan mempelajari berbagai perbedaan cabang filsafat. Ketika aku tidak
mampu mengatasi suatu masalah, aku pergi ke masjid dan berdoa pada Tuhan untuk
membuka pintu yang tertutup bagiku. Kemudian kembali belajar. Ketika rasa
ngantuk menyerang aku minum segelas anggur murni. Kemudian aku meringkas
pelajaranku. Kadang-kadang ketika tertidur aku dapat mengatasi masalah yang tidak
bisa aku pecahkan sebelum mimpiku itu, ini sering terjadi. Cara-cara ini terus
dilakukan sampai aku menguasai logika, matematika, dan fisika sebagaimana hari
ini.
Kemudian aku mulai belajar metafisika. Aku membaca Metafisika
(Aristoteles). Tetapi tidak pernah mengerti buku itu dan tujuan dari penulisnya.
Meskipun aku membaca buku itu empat puluh kali, hingga menghafalnya, masih saja
tidak menangkap maknanya. Sungguh kecewa dengan usahaku, aku mengatakan pada
diriku sendiri bahwa buku itu tidak dapat dipahami.
Lalu pada suatu hari, aku melalui bazar buku dan masuk pada salah satu lapak buku yang sedang melelang sebuah manuskrip tentang metafisika. Awalnya, aku menolak untuk membeli buku itu, dan berbisik pada diriku sendiri bahwa tak ada harapan bagi ilmu yang tidak bisa dipahami itu. Tetapi sang penjual memaksa untuk membeli buku itu karena harganya sangat murah dan dia membutuhkan uang. Aku membelinya seharga tiga dirham.
Buku itu tentang Objek-Objek Metafisika yang
ditulis oleh Abu Naser Farabi.[4]
Aku buru-buru pulang dan membacanya. Dengan kegembiraan yang luar biasa aku
menemukan jawaban atas problem yang tak terselesaikan. Hari berikutnya aku
bersedekah pada orang miskin sebagai ucapan rasa syukur atas peristiwa yang
membahagiakan itu. Kemudian Nuh-bin Mansur jatuh sakit dan tabibnya tidak mampu
mengobatinya, lalu menyerahkan padaku. Raja itu memanggilku ke istananya, dan
aku menggunakan pengetahuanku, dia kemudian sembuh. Karena itu aku memperoleh
penghargaan yang tinggi darinya.
Suatu hari aku meminta izin pada sang raja untuk memasuki
perpustakaan kerajaan untuk mempelajari manuskrip-manuskrip kedokteran. Ketika
masuk, aku melihat sebuah gedung dengan banyak ruagan dan masing-masing ruangan
ada banyak kotak yang berisi buku. Ruang-ruangnya dibagi menjadi subjek-subjek yang berbeda, yaitu teologi,
puisi Arab, dst. Aku mempelajari bibliografi buku-buku kuno dan membacanya
dalam jumlah yang sangat banyak. Buku-buku yang aku temukan dan baca di
perpustakaan itu tidak diketahui oleh seorangpun.
Aku tidak pernah melihatnya sejak sebelum itu, dan tidak
akan pernah bisa melihatnya lagi.[5]
Waktu yang dihabiskan saat itu sangat tak ternilai bagiku. Pada usia delapan
belas tahun aku purna mempelajari semua ilmu, dan ilmu saat itu yang dipelajari sudah tidak ada yang baru. Bahkan
yang aku ketahui sekarang adalah melalui apa yang aku ketahui saat masih muda.
Tetanggaku seorang laki-laki namanya Abu Hussein Arouzi.
Dia memintaku untuk menulis buku tentang berbagai ilmu. Aku melakukannya. Buku
itu adalah “Al Majmu” yang mencakup setiap ilmu kecuali matematika. Aku selesai
menulis buku itu pada usia dua puluh satu tahun.
Tetangga lainnya dari Karazm, Abubakar Bargy yang ahli
teologi dan filsafat serta pelajar dalam bidang ilmu rasional, memintaku untuk
menulis tafsir filosofis atas Aristoteles. Untuk itu aku menulis al Hasil wa al Mahsul dalam dua puluh jilid. Pada subjek etika aku menulis al Birr wa al Ism untuknya. Hanya temanku yang memiliki kopi dari dua buku tersebut.
Saat itu ayahku meninggal dan aku harus bekerja
menggantikan di pemerintahannya. Tak lama setelah itu aku meninggalkan Bukhara
pindah ke Gorgan. Di sana aku dianugrahi rumah yang besar oleh menteri
Karmazshah yang bijaksana, Abul Hussein Suhali. Dari Gorgan aku pergi ke Nessaz
dan dari sana menuju sejumlah kota, akhirnya kembali lagi ke Gorgan untuk
mengunjungi Amir Gabus bin Voshmgir. Tetapi aku terpaksa meninggalkan Gorgan
sekali lagi.[6]
Lalu aku menderita sakit dan kembali ke Gorgan, yang mana di tengah teman-temanku
aku menulis puisi (dalam bahasa Arab) tentang hidupku yang dimulai dengan
kalimat berikut ini:
Ketika aku tumbuh dalam pengetahuan, tak lebih dari yang Mesir berikan padaku.
Saat nilaiku meninggi, tak ada seorangpun yang peduli untuk membeliku.
*teks ini saya terjemahkan dari versi bahasa Inggris dalam terjemahan buku Ibn Sina Danesh-Name Alai oleh Farhang Zabeeh.
[1]
Ibn Sina memiliki nama lengkap Abu ‘Ali al Hussayn ibn Abdallah Ibn Sina, lahir
pada tahun 980 Masehi. Pada judul “Minum Saat Ngantuk Belajar” tambahan dari
penerjemah sebagai judul, biar lebih menarik pembaca.
[2] Isagoge
adalah ringkasan yang sistematis atas karya Organon Aristoteles yang
dilakukan oleh Porphyry.
[3]
Fusus Al Hikam yang diduga ditulis oleh Al Farabi.
[4] Al
Farabi (870-951) menulis berbagai komentar terhadap karya Aristoteles. Dia
disebut “guru kedua”. Aristoteles disebut guru pertama oleh sarjana-sarjana
Islam. Al Farabi berusaha untuk merekosiliasi Plato dan Aristoteles. Dia
mengacu pada Plato sebagai yang “Ilahi” dan Aristoteles sebagai guru pertama.
[5]
Perpustakaan itu dibakar dan musuh-musuh Ibn Sina menuduhnya dialah yang
membakar perpustakaan itu.
[6] Ibn
Sina menolak untuk bergabung dengan kerajaan Sultan Mahmud. “Ada alasan untuk menduga
bahwa yang utama penolakan Ibn Sina untukbergabuung dengan Sultan Mahmud adalah
alasan alasan religius. Sultan Mahmud adalah ortodoks yang kaku dan kejam
terhadap yang tidak ortodoks dan itu sangat terkenal” Avicenna, His Life and
Works, p. 64, S.M. Afnan. George
Allen and Unwin, 1958.
0 Comments