Oleh: Herlianto, A
Descartes lahir 31 Maret 1596 di kota kecil La Haye daerah
Touraine, Prancis, dari pasangan Joachim Descartes dan Jeanne Brochard. Saat
berusia satu tahun ibunya meninggal dunia. Descartes kecil kemudian tinggal
dengan nenek dari sang ibu bersama dua saudaranya, Pierre dan Jeanne.
Pada rentang usia 10 hingga 18 tahun, dia menimba ilmu di pondok La
Fleche Jesuit di Anjou bersama Pierre, sang adik. Di sekolah ini Descartes
belajar bahasa Prancis dan Latin serta banyak membaca karya-karya retorik
Romawi dan Yunani. Kurikulum pondok juga membekalinya filsafat, matematika, utamanya logika, etika,
filsafat alam, dan metafisika. Selain itu, sebagai penguatan atas pemikiran
keagamaannya dia menerima pengantar pemikiran Aristoteles dalam frame tafsir
Thomas Aquinnas (Thomisme), yang
belakangan banyak dikritik oleh Descartes sendiri.
Tahun 1614-1615, Descartes memilih tinggal sendirian di suatu
daerah dekat Kota Paris. Kehidupan jauh dari keluarga membuat dia memiliki
kesempatan belajar dewasa. Selain aktivitas sehari-harinya, dia sembari belajar
di Universitas Poitiers bidang studi hukum agama dan perdata, juga mempelajari ilmu medis. Jenjang ini tuntas pada 1616.
Saat usia 22 tahun, mendapat pengalaman baru ke Belanda. Peluang ini didapatkan saat menjadi salah satu anggota tentara Mourice Nassau, pasukan Orange. Dia dikirim atas nama persekutuan Protestan Prancis, saat Belanda terlibat perang dengan Spanyol. Pengutusan yang sejatinya digunakan untuk berperang tetapi rupanya dengan cerdik dimanfaatkan untuk berpetualang.
Pertemuannya dengan Isaac Beeckman, salah satu filosof asal Belanda, kala itu menjadi jalan hidup selanjutnya. Beeckman berhasil menginspirasi bangkitnya minat Descartes di bidang filsafat. Pada Beeckman, Descartes menunjukkan kemampuan matematisnya, sementara Beeckman menerjemahkan buku persoalan matematika dari bahasa Belanda ke Latin untuk dihadiahkan pada Descartes. Sebuah perjamuan yang sangat istimewa, dan lebih nikmat dari kopi atau wine manapun. Jamuan intelektual ini dibalas oleh Descartes dengan menulis risalah matematika tentang teori musik yang diberu judul Compendium Musicae.Persinggungan keduanya tidak lama, karena Descartes harus bergeser
ke Jerman bersama pasukannya. Kali ini tidak untuk berperang malainkan hanya
menyaksikan penobatan kaisar Ferdinand I di Frankfurt. Selebihnya untuk belajar
dengan menemui ahli matematika Joannes Faulhaber di Ulm.
Tahun 1621 dia mudik ke Prancis. Kegiatan hariannya menjalin kontak
dengan seniornya di La Fleche, Marin Marsenne. Descartes juga saling berbalas
surat dengannya, yang mana sebagian dari surat itu dikumpulkan dalam Replies.
Pada beberapa surat itu, Descartes menjelaskan soal kedudukan Meditasi
dalam pemikirannya Pada Marsenne. Sementara Marsenne sendiri tergabung dalam
komunitas lingkaran ahli matematika, fisika, dan teknik. Di mana Descartes juga
tertarik dengan komunitas ini.
Tak lama setelah itu Descartes mengalami krisis keuangan, beberapa
benda peninggalan ibunya dijual, buat beli makan. Namun hasil penjualan itu
belum memenuhi basic need-nya, dia bertolak ke Italia, semacam mencari
suaka, namun kembali lagi ke Prancis pada 1625. Dia kembali melanjutkan korespondensinya
dan bekerja dengan orang-orang yang ada di lingkaran Marsenne.
Di sinilah menurut Gareth Southwell filsafat Descartes meningkat
secara signifikan. Descartes semacam mendapat hidayah dan mengalami hal-hal
mistik dan membuat dia meyakini bahwa dunia ini secara ilahiyah telah ditata
dengan prinsip-prinsip rasional. Hidayah itu mendorongnya pada dua penelurusan
pengetahuan yaitu sains dan agama, yang menjadi poin sentral dalam buku Meditasi.
Rupanya pada era ini Descartes sedang mengerjakan bukunya The Rules for The
Direction of The Mind.
Kelahiran Meditation dan Karya Lainnya
Iklim keilmuan di Kota Paris kurang mendukung baginya. Akhirnya
tahun 1628, dia pindah ke Belanda dan menetap selama 20 tahun. Kesempatan ini
digunakan bernostalgia dengan Beeckman hingga kematian sahabatnya itu, 1637.
Dia melebarkan jejaring intelektualnya dengan para ahli lainnya di Belanda, di
antaranya: matematikawan Jacob Golius, fisikawan Henricus Raneri dan Henricus
Regius, logikawan Andriaan Heereboard, dan negarawan sekaligus sastrawan
Constantijn Huygens. Selain itu juga sebagai mahasiswa di Universitas Frankener
(1629) dan Universitas Leyden (1630).
Pergaulan intelektual yang mengasikkan dan mengesankan ini
dimanfaatkan untuk menajamkan visi filosofisnya. Selama 9 bulan pertama berada
di negeri kincir angin, dia menulis risalah metafisika, sayang menurut catatan
beberapa ahli buku ini hilang. Namun jejaknya tercatat dalam suratnya pada
Marsenne, bahwa buku itu ingin mendudukan bahwa betapa mendasarnya metafisika,
sehingga pembahasan fisika apapun tidak akan ada tanpa dasar metafisika, yaitu
pengetahuan tentang diri dan Tuhan.
Musim panas 1629 Descartes menulis Meteors tentang
meteorologi dan Dioptrics tentang fisika dan optik. Dua essay ini
menjadi salah satu bagian dari buku tebalnya The World yang sudah siap
terbit pada musim dingin 1633, namun tak jadi terbit. Senasib dengan buku ini
adalah Rules for The Direction of The Mind yang sudah rampung sejak
1628. Dan baru terbit setelah kematiannya.
Menurut Gareth Southwell dua buku ini tidak diterbitkan menyusul
dibunuhnya Galileo Galilei pada 1632 oleh otoritas Gereja karena mengembangkan
ajaran Nucolaus Copernicus bahwa semesta ini bergerak secara heliosentris,
bukan geosentris sebagaimana diyakini Gereja. Dia tidak ingin senasib dengan
Galileo. Konon, bagian-bagian buku The World yang tidak terlalu
bertentangan dengan gereja dipublikasikan secara “ecer” ke publik.
Tahun 1637, pemikirannya kian cemerlang. Meski kekurangan nyali dia
menerbitkan buku A Discourse on Method secara anonimous di Leyden. Karya
ini berupaya menjelaskan tentang metode
saintifik dan filsafat. Konon Descartes bekerja di penerbit yang menerbitkan
bukunya itu, sehingga atas nama penerbit dia dapat mengirim buku anonimnya itu
ke beberapa orang yang dianggap penting untuk membacanya, di antaranya para
kolega, guru, dan bahkan Cardinal Richelieu.
Discource sebagai cambuk bagi master piece-nya yang terbit empat
tahun kemudian 1641, yaitu Meditation on The First Philosophy. Buku yang
diketahui mengeksplorasi bagian 4 Discourse tersebut dipublikasikan dalam bahasa Latin. Pada abad ke 17 bahasa
Latin menjadi bahasa akademik publik Eropa sehingga karya-karya terbaik akan
ditulis dalam Latin atau diterjemahkan ke Latin.
Sebelum Meditation diterbitkan naskahnya dikirimkan ke
berbagai kolega Descartes untuk dimintai pertimbangan, kritik, dan saran, di
antaranya: Johan de Kater seorang teolog Katolik Belanda, Antoine Arnauld
seorang doktor teologi di Prancis, Pierre Bourdin seorang matematikawan Jesuit,
dan termasuk Thomas Hobbes. Ternyata memang banyak kritik yang muncul yang
dibalas oleh Descartes, kritik dan balasan ini dikumpulkan lalu diterbitkan
dalam Objections dan Replies.
Meditation membawa nama Descartes melambung.
Berbagai kontroversi tentang buku berisi enam meditasi itu terjadi di kalangan
pemikir, filosof pun para pemerhati filsafat. Descartes disibukkan dengan
forum-forum mempertahankan gagasannya.
Tahun 1644, dia menulis Principles of Philosophy untuk
memberikan penalaran lebih jauh atas Meditasi yang kemudian dibawa pada
pembahasan tentang struktur semesta (fisika) dan jiwa. Bagian satu buku
berbahasa Latin ini ditulis bersamaan dengan gejolak kritik atas Meditasi
karena itu pembahasannya sangat epistemik sekali. Sebagai catatan kaki lebih
lanjut atas Meditasi, tahun 1649 rampung The Passion of The Soul.
Buku ini berupaya membahas etika secara saintifik.
Seiring tenarnya Meditation dan Principles rintangan
mulai datang. Kalangan ideologi Gereja membuat karya itu dicekal di beberapa
tempat. Tahun 1643 Rektor Universitas Utrecht, Gysbertus Voetius, melarang
mengajarkan pemikiran Descartes karena tiga alasan. Pertama,
bertentangan dentan filsafat klasik yang menjadi anutan resmi universitas yang
juga sudah digunakan diberbagai belahan dunia. Kedua, menjauhkan
mahasiswa dan kaum muda dari filsafat klasik, semetara di kelas yang dijarkan
adalah filsafat klasik. Ketiga, ada beberapa kebaruan pendapat yang
bertentangan dengan ortodoksi teologi. Tahun 1647 universitas Leyden juga
menegaskan pelarangan terhadap karya-karya Descartes.
Kisah sisi lainnya, pada tahun 1635, Descartes dikaruniai seorang
putri bernama Francine dari pernikahannya dengan Helene. Namun sayang kebagiaan
ini tidak berlangsung lama, sang putri meninggal pada usia 5 tahun kena demam.
Hubungannya dengan Helene juga kandas. Dikabarkan ayahnya juga meninggal, dan
menyusul saudara perempuannya juga dipanggil ilahi.
Hari-hari terakhir Descartes dihabiskan di Stockholm dengan mengajar Queen Christin, seorang putri kerajaan Swedia. Pada 11 Februari 1650, tokoh yang disebut-sebut rasionalis tersebut tutup usia akibat penyakit pneumonia. Jenazahnya dimakamkan di Stockholm, tahun 1667 dipindah ke Kota Paris di Abbey of Sainte Genevieve, lalu dipindah lagi tahun 1817 ke kapel Gereja Saint Germain des pres hingga sekarang.
0 Komentar