Sumber: bodymindandbrain.com |
Melalui suatu meditasi Rene Descartes setidaknya menemukan dua kepastian, yaitu dirinya yang meragu (dibahas di part 1) dan dirinya sebagai thingking thing (dibahas di part 2). Tetapi, dia melanjutkan keraguannya itu dengan meragukan dua hal ini.
Descartes mencurigai konsep thinking thing (entitas yang berpikir) hanyalah abstraksi dari hal jasmaniah yang sebelumnya dinegasikan, seperti tangan, kepala, dan organ tubuh lainnya. Atau, adakah petunjuk dan bukti yang membenarkan bahwa pikiran dapat menghasilkan pengetahuan secara independen seperti pengetahuan akan kepastian dirinya?
Jika pengetahuan terjadi karena adanya abstraksi berarti organ-organ yang bekerja untuk absrtaksi itu juga nyata (adanya). Tetapi mengapa Descartes justru merasa pikiran (think) lebih nyata dan lebih terang ketimbang tubuh?
Jawaban untuk soal ini perlu mengurai antara entitas berpikir beserta aktivitasnya dan organ-organ tubuh itu sendiri. Penguraian ini kalau boleh disederhanakan yaitu antara substansi dan aksidensi. Kita sering mendengar dua istilah ini, kali ini kita akan mempertajam pemahaman atas dua konsep ini, serta bagaimana Descartes menghubungkannya dengan persoalan entitas berpikir. Jadi kalau dibuatkan hipotesanya: pikiran adalah substansi indenpenen sementara organ-organ dan hal-hal kasat mata lainnya sebagai aksidensi.
Independensi Pikiran
Penjelasan atas hipotesa ini dapat diambil dari analogi lilin Descartes, begini penjelasannya. Ambillah sebatang lilin yang dibuat dari sarang lebah dengan bau madu yang masih melekat. Lilin yang berwarna putih memiliki bentuk silinder dan ukuran tertentu, memiliki tekstur, jika diketok berbunyi. Semua atribut ini diketahui secara terpilah satu sama lain. Artinya, ukuran diketahui berbeda denga tekstur, bunyi berbeda dengan penampakan warna lilin, dst.
Lalu bakarlah lilin itu, maka seketika meleleh dan semua atributnya hilang. Bentuk, warna, bau, dan ukuran tak lagi sama dengan sebelumnya. Pertanyaannya, apakah lilin yang sama masih ada? Sebagian orang mungkin menjawab masih ada, sekalipun atributnya tak tampak lagi. Dalam amatan Descartes, pada percobaan pembakaran lilin ini ada dua hakikat yang menjadi ciri umum lilin yaitu dapat berubah dan terluaskan.
Lilin dapat berubah bentuk dari silinder menjadi segi empat, segi tiga, dst. hingga tak terbatas. Sementara terluaskan jumlah meterial lilin bertambah seiring semakin panasnya api yang disentuhkan. Dua hakikat ini akan selalu menyertai dimanapun ditemukan lilin yang dibakar.
Ciri umum lilin yang fleksible dan terluaskan ini tak dapat ditangkap oleh pengetahuan inderawi, melainkan dicapai oleh pikiran itu sendiri. Pengetahua ciri umum lilin ini dipersepsi melalui pikiran bukan indera. Dengan kata lain, pengetahuan hakikat lilin diperoleh secara rasional bukan secara inderawi.
Melalui penyelidikan pada lilin ini, sebetulnya, Descartes tidak bertujuan untuk mengetahui hakikat lilin itu sendiri melainkan penyelidikan atas pikiran dan kinerja pikiran. Dia membuktikan independensi pikiran. Analogi lilin membuatnya kembali menegaskan posisi awal pikiran bahwa pikiran eksis (ada).
Seberapapun lilin diasumsikan tidak ada atau sengaja ditiadakan, sama sekali tidak akan mengubah eksistensi pikiran. Pikiran tetap jelas dan dapat dipahami secara terpilah, pamahan kita terhadapnya tidak akan pernah terancukan dengan hal-hal lainnya.
Descartes menunjukkan apa itu kepastian dan apa wujud dari kepastian itu: pikiran. Sebagai titik awal dan pondasi pengetahuan tidak ada yang lebih nyata dari pikiran. Descartes menegaskan di akhir meditasi keduanya:
“Sekarang aku tahu bahwa tubuh-tubuh, yang dibicarakan, bukan oleh indera atau fakultas imajinasi, tetapi melalui intellek (rasio) itu sendiri, karena itu tubuh-tubuh tidak dipersepsi melalui disentuh atau dilihat, melainkan melalui pemahaman. Secara manifestasi aku tahu bahwa tidak ada yang dapat dipersepsi lebih mudah dan lebih nyata selain pikiranku sendiri”.[1]
Jadi substansi adalah sesuatu dimana sesuatu yang lain melekat, secara konseptual ia bersifat independen. Sementara aksidensi adalah karakter apapun yang melekat pada substansi, karenanya aksiden bersifat dependen. Pada contoh lilin, sebetulnya, yang substansial adalah itu adalah pikiran itu sendiri.
Karena semua yang kita ketahui tentang lilin, baik mulai dari bahannya, yaitu sarang lebah, hingga karakter lilin seperti tekstur, bau, warna, dan bentuknya adalah atribut yang membentuk pengetahuan manusia tentang lilin. Sementara pengetahuan itu sendiri bersifat abstraksi atas lilin. Jadi dalam struktur pengetahuan manusia, pikiran adalah substansi sementara aneka rupa pengetahuan adalah aksidennya. Descartes menerima hipotesa di awal.
Lalu bagaimana dengan substansi lilin? Di sinilah yang membuat Descartes kadang disebut sosok idealis. Karena sebetulnya yang disebut lilin tidak pernah ditemukan di relitas eksternal. Yang ditemukan hanyalah sarang lebah, berbentuk silinder, memiliki bau madu, dan berwarna putih. Tak ada lilin di situ. “Lilin” sebetulnya hanya kumpulan (universalisasi) atas berbagai bagian-bagian realitas eksternal itu.
Jadi lilin bergantung pada pikiran, artinya keberadaan lilin diakui sejauh pikiran melakukan universalisasi atas bagian-bagian ekternal lilin yang menampak secara partikular (khusus) di luar subjek yang berpikir itu sendiri. Walaupun sebetulnya poin Descartes dalam hal ini adalah independensi pikiran, tetapi ada ekses lain yang muncul.
Soal ini akan berlanjut pada bagaimana
pengetahuan tentang Tuhan? Akankah pengetahuan tentangNya sebagaimana
pengetahuan pada lilin? Jawaban ini akan dibahas pada part selanjutnya.
0 Komentar