Oleh: Herlianto. A
Sumber: mediastorehouse.com |
Mazhabkepanjen.com - Pengetahuan haruslah sampai pada suatu kepastian, itu yang ingin dituju Descartes. Sementara dalam kehidupannya, sejak kecil kepala dia sudah dipenuhi berbagai praduga, proposisi, dan asumsi-asumsi yang ditanamkan lingkungan, baik akademik ataupun keluarga.
Dengan metode keraguan, Descartes mengeluarkan semua isi pengetahuan tersebut dan berupaya memeriksanya satu-persatu untuk memastikan mana salah satu di antara pengetahuan tersebut yang paling pasti, atau bahkan tidak ada yang pasti. Dalam optimisme demikian, Descartes memeriksa relasi kausalitas antara dirinya yang mengetahui dan entitas lain yang diketahui.
Dari mana ide itu datang? Adakah sumbernya? Untuk menjelaskan pertanyaan ini, Descartes menggunakan penjelasan kausalitas (sebab-akibat). Bahwa sebuah ide merupakan akibat dari realitas atau hal-hal di luar manusia. Pengetahuan terjadi karena ada yang menyebabkan yaitu alam yang dapat diketahui.
Lalu pertanyaannya dapatkah akibat, dalam hal ini ide, berdiri sendiri tanpa sebab. Mampukah ide-ide mewujud tanpa realitas (sebagai sebab)? Andaikata sebab tak memiliki realitas bagaimana ia mewujudkan akibat? Dua pertanyaan ini membuat Descartes menyimpulkan bahwa sebab haruslah memiliki realitas.
Sebab lebih sempurna ketimbang akibat, karena sejatinya sesuatu mewujud (mengada) dari sesuatu yang lebih sempurna dan bukan sebaliknya. Begitu juga dengan ide-ide sejauh dipahami sebagai akibat dari realitas objektif.
Misalnya contoh yang digunakan Descartes yaitu ide tentang batu. Ide tentang batu dapat mewujud bukan hanya karena batu itu ada (eksis), tetapi ide batu itu juga ada pada pemilik ide itu. Ini persis seperti panasnya api dan perangkat panas pada diri manusia.
Manusia mengetahui batu dan panas karena batu dan panas sebagai sebab eksis lebih dulu dari pengetahuan itu dan juga pada diri manusia ada perangkat (kategori) batu dan panas. Sehingga seperti mempertemukan patung perunggu dan cetakannya.
Namun bukan berarti ide batu dan panas ada secara independen dalam benak manusia. Ide-ide itu tetaplah membutuhkan realitas objektif, membutuhkan batu sungguhan dan panasnya api. Rasio tidak cukup nyata untuk menghasilkan ide-ide tanpa penginderaan pada yang eksternal.
Maka ide-ide, meskipun mendapatkan modenya dari pikiran, tidak mungkin berasal dari ketiadaan apapun di luar pikiran. Descartes tidak menampik, secara koheren, lahirnya suatu ide dari ide lain, atau rangkaian ide ke ide. Tetapi jika ditelusuri hingga ke asal rangkaian ide itu, maka tetap membutuhkan, untuk pertama kalinya, realitas objektif yang eksternal. Descartes menegaskan begini:
Ketika mode objektif dari wujud (being) menjadi sebab bagi ide-ide secara hakikat, maka mode formal dari wujud (being) juga menjadi sebab bagi ide-ide secara hakikat, paling tidak untuk pertama kalinya dan paling utama. Dan, meskipun suatu ide dapat muncul dari yang lain, namun ketakterbatasan ide tetap tidak dibolehkan. Akhirnya ide pertama harus dicapai yang sebabnya merupakan sederet arketipe yang secara formal berisi semua realitas yang ada dalam ide secara objektif.[1]
Artinya pengetahuan membutuhkan sumber sebagai sebab bagi terwujudnya pengetahuan itu di dalam diri manusia. Dari meditasi ini, Descartes menemukan kesimpulan lain yaitu bahwa dirinya tidak sendirian di dunia ini. Dia bersama dengan eksistensi realitas eksternal lainnya.
Adapun mode-mode pikiran yang menyertai pikiran sebagai kategori dikatakan Descartes ada beberpa yaitu: ukuran, bentuk, posisi, gerak, substansi, durasi, dan kuantitas. Mode-mode ini, Descartes meyakini, berasal dari dirinya sendiri yaitu pikiran.
Pada setiap pengetahuan yang berkaitan dengan mode-mode pikiran ini, maka sumbernya bukan realitas eksternal tetapi pikiran itu sendiri.
Dengan demikian, sumber pengetahuan ada dua yaitu alam atau semua hal yang berada di luar dirinya (sebagai subjek penahu) dan dirinya sendiri atau kategori-kategori rasio. Walaupun Descartes telah memilah antara sumber pengetahuan dan kategori pikiran, tetapi dia belum merumuskan lebih jauh bagaimana relasi keduanya.
Immanuel Kantlah yang di kemudian hari dengan berani memberikan rumusan tentang kategori yang biasa dikenal dengan istilah 12 kategori. Tak hanya itu, Kant juga menjadi semakin berani menegaskan keterkaitan antara indera dengan rasio dalam konstruksi pengetahuan manusia.
Akhinya, terang bahwa proses pengetahuan manusia adalah proses kausalitas antara apa yang dapat diketahui dan apa yang telah diketahui.
[1] Rene
Descartes. Meditations. Paragraf 43
0 Komentar