Oleh: Herlianto. A
Sumber: military-history.org |
Mazhabkepanjen.com - Pengetahuan manusia bagi Rene Descartes terjadi dalam pola sebab akibat. Artinya apa yang disebut pengetahuan oleh manusia adalah akibat dari realitas eksternal yang ditangkap oleh indera, lalu diabstraksi. Realitas eksternal adalah sebab bagi pengetahuan manusia (dibahaspada part 5).
Persoalannya, jika pengetahuan manusia terjadi karena faktor (realitas) yang ada di luar diri manusia, maka ada satu pertanyaan pamungkas yang penting bagi segala bangunan pengetahuan manusia, yaitu bagaimana dan dari mana ide Tuhan berasal?
Apakah ide ini juga menyiratkan kategori yang berasal dari diri manusia sebagaimana ide-ide lainnya? Descartes menyatakan begini:
Tuhan adalah substansi pasti yang tak berhingga, independen, inteligen, kekuasaan tertinggi, serta menciptakan diriku bersamaan dengan segala sesuatu yang eksis.[1]
Tuhan sebagai substansi memang mungkin dipahami demikian mengingat pada diri manusia juga ada substansi. Namun demikian, Descartes menegaskan, bahwa tetaplah gegabah jika menyebut Tuhan sebagai substansi hanya karena manusia itu juga substansi. Karena substansi Tuhan tidak terbatas sementara substansi manusia terbatas. Adalah kengawuran mengidentifikasi yang tak terbatas dengan yang terbatas.
Descartes lalu mengajukan pengetahuan negatif, yaitu bahwa pengetahuan manusia akan Tuhan adalah sejauh manusia menegasi hal-hal yang berhingga. Misalnya, Tuhan bukan manusia, Tuhan bukan bumi, Tuhan bukan matahari, dst. Hal ini sebagaimana memahami diam dan kegelapan dengan cara menegasi gerak dan cahaya.[2]
Mode negatif ini bertujuan untuk mengagungkan substansi yang tak berhingga tersebut, yaitu mengagungkan Tuhan. Dengan demikian persepsi manusia tentang yang tak terhingga adalah prior (mendahului) ketimbang persepsi yang terhingga.
Lalu kok bisa yang terhingga memiliki ide atau pengetahuan yang tak terhingga meskipun prior? Atau jelasnya, bagaimana manusia yang terbatas dapat memiliki pengetahuan tentang Tuhan yang tidak terbatas? Di sini Descartes memastikan bahwa ide kesempurnaan (Tuhan) atau yang tak terhingga adalah bawaan dalam diri manusia (soal ide bawaandibahas di part 4).
Persoalannya, jika dikembalikan pada syarat pengetahuan sebelumnya yaitu keharusan adanya realitas eksternal, bukankah jawaban Descartes ini problematis dan inkonsisten. Karena berarti ide tentang Tuhan berasal dari ketiadaan, tak memiliki realitas eksternal.
Tetapi menurut Descartes, ide tuhan memang tidak membutuhkan realitas eksternal. Ketakbutuhan ide tentang Tuhan pada realitas eksternal sama dengan ide panas yang tak pernah menemukan panas di realitas eksternal. Jadi kalau manusia mencari panas maka hanya menemukan api, kompor, listrik, dst. Lalu kok bisa ada ide panas? begitulah ide Tuhan ada dalam pengetahuan manusia.
Jika kita amati, jawaban Descartes ini rupanya didesain untuk mengantisipasi semua keraguan akan Tuhan. Jawaban ini terkesan agak sedikit doktriner. Dia bilang begini:
Tidak
bisa dikatakan bahwa ide tentang Tuhan salah secara material karena ide itu
dapat diasalkan dari ketiadaan, sebagaimana aku jelaskan tentang ide panas dan
dingin dan sejenisnya (yang tak ditemukan di realitas). Malah sebaliknya ide
tentang Tuhan justru yang paling jelas dan terpilah serta lebih objektif dari
realitas ide-ide lainnya. Tidak ada ide yang di dalamnya dan pada dirinya lebih
benar darinya dan ia juga paling tidak mungkin untuk disalahkan. Aku menegaskan
bahwa ide yang sungguh sempurna dan tak berhingga ini merupakan kebenaran di
level paling tinggi.[3]
Eksistensi Tuhan
Descartes menyatakan manusia eksis dan memiliki pengetahuan tentang Tuhan sekalipun itu bersifat bawaan. Pertanyaan berikutnya: jika manusia yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan yang maha sempurna eksis, lantas bagaimana dengan yang maha sempurna itu sendiri, apakah ia eksis? Atau pertanyaan baliknya, jika yang maha sempurna tidak eksis, bagaimana mungkin manusia yang tak sempurna eksis?
Menjawab ini, dia mengatakan bahwa eksistensi manusia bersifat sementara, bahkan kepastian eksistensi itu diketahui setelah manusia berhubungan dengan dirinya sendiri sebagai entitas yang berpikir. Namun manusia tidak bisa mengasalkan eksistensinya dari dirinya sendiri. Karena jika eksistensi manusia bisa diasalkan dari dirinya maka atribut kesempurnaan dapat diberikan pada manusia, dengan kata lain manusia adalah Tuhan, dan itu mustahil. Maka sangat jelaslah, papar Descartes, “aku bergantung pada wujud yang lain dari diriku sendiri”.[4]
Lebih jauh dia memeriksa karakter eksistensi Tuhan. Apakah eksistensiNya karena diriNya sendiri atau yang lain. Jika berasal dari yang lain, apakah eksistensi yang lain ini berasal dari yang lain lagi, maka akan terjadi pengurutan mundur (regresi) hingga ditemukan eksistensi itu dihasilkan dari dirinya sendiri.[5]
Kesimpulan akhir Descartes soal eksistensi Tuhan adalah bahwa: Aku tak punya pilihan selain menyimpulkan bahwa satu-satunya yang nyata adalah keberadaanku dan di dalam diriku ada ide tentang wujud mahasempurna, yaitu Tuhan, yang sekaligus mendemonstrasikan dengan sangat nyata bahwa Tuhan juga eksis. Akhirnya, ide bawaan bersemayam dalam pikiran manusia karena Tuhan yang baiklah yang menyelinapkannya.
0 Komentar