Oleh: Herlianto. A
Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brazil (Foto: mediaukkiri) |
Mazhabkepanjen.com - Jika pendidikan adalah
cermin bangsa, maka seharusnya pendidikan bisa membebaskan. Pendidikan harusnya
mengantarkan manusia pada kemerdekaan, sekaligus sebagai jalan mengatasi
beragam ketimpangan yang terjadi. Tetapi faktanya, justru sebaliknya.
Pendidikan menjadi alat kuasa untuk melemahkan dan memagari potensi-potensi
manusia (warga) itu sendiri.
Itulah model pendidikan
yang menjadi kegelisahan Paulo Freire, pemikir sekaligus teladan pendidikan
abad 20. Bertahun-tahun memperjuangkan pendidikan yang membebaskan di negaranya.
Freire lahir di Brasil
19 September 1921 sekaligus mengabdikan hidupnya di tanah kelahirannya untuk
meramu satu konsep dan model pendidikan yang mampu menempatkan manusia pada
kesejatiannya. Dikisahkan oleh Moh.Yamin dalam Menggugat pendidikan Indonesia: Belajar pada
Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara, bahwa hidup Freire
diabdikan pada orang-orang buta huruf, para buruh dan masyarakat marginal
lainnya. Dia tinggal di wilayah miskin Brasil. Sesekali berkunjung ke negara
lain, seperti Chili, Angola Mozambik.
Freire menulis beberapa
buku tentang bagaimana pendidikan seharusnya. Namun dari sekian buku yang paling fenomenal ada
dua, yaitu Pendidikan Kaum Tertindas
dan Politik Pendidikan.
Dalam dua buku itulah,
Freire menyoroti pendidikan yang justru menjadi alat status quo kekuasaan,
dalam arti pendidikan yang digunakan untuk melanggengkan kekuasaan secara
ideologis. Bagi Freire, pendidikan yang demikian diciptakan untuk memberangus
daya emansipasi dan nilai-nilai kritis yang mestinya terjalin dari lingkungan
belajar.
Baca Juga:
Para pelajarnya
ditenggelamkan pada kesadaran magis,
yaitu kesadaran yang melihat segala bentuk penindasan dan ketidakadilan sebagai
kehendak ilahiah. Atau, pemberian dari tuhan dalam bentuk takdir yang mesti
diterima secara sabar dan lapang dada.
Freire menentang konsep
demikian dengan menggagas pendidikan yang membebaskan. Dia menyadari kehidupan
manusia adalah eksploitatif yang dilakukan oleh kaum minoritas yang hidup
nyaman dan sejahtera terhadap mereka yang mayoritas yang hidup dalam kondisi
mengenaskan.
Minoritas dalam hal ini
adalah kaum kaya, pejabat, para bos, dan lainnya, sementara yang mayoritas
adalah kaum buruh, petani, kaum miskin kota, pengemis, pedagang asongan,
nelayan, dst.
Eksploitasi minoritas
ini dilestarikan melalui pendidikan, sekolah-sekolah atau kampus-kampus yang
biasanya diselundupkan melalui kurikulum dan model pembelajarannya. Kurikulum
itu kemudian memaksa pelajar untuk mengikutinya agar sesuai dengan kebutuhan
kaum minoritas, sehingga pesera didik sebagai objek dalam proses belajarnya.
Nah,
di sinilah poin penting kritik Freire. Dia menggugat pendidikan yang meletakkan
peserta didik sebagai objek. Baginya, murid tidak selamanya salah dan guru
tidak akan selalu benar. Murid dan guru, sebetulnya, adalah subjek sadar dalam
pendidikan. Sementara objek kajiannya adalah realitas dunia itu sendiri. Artinya,
peserta didik dan guru sama-sama belajar memahami kehidupan dan persoalannya.
Guru dan murid tidak
bisa dipisahkan keberadaanya sebagai insan pembelajar. Freire lalu mengatakan
bahwa no one can teach anyone, no one can
study alone but everyone studies together (tak ada seorangpun yang bisa
mengajari orang lain, dan tak ada satu orangpun yang bisa belajar sendirian,
tetapi setiap orang belajar bersama-sama).
Dengan prinsip ini yang
terjadi bukan pedagogy tetapi andragogy, yaitu guru bukan pengajar yang
memegang segala kebenaran, melainkan guru sebagai fasilitator, motivator,
demonstrator, teman, dst. Inilah yang disebut di dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas dengan possing problem education (pendidikan
hadap masalah) bukan banking concept of
education (pendidikan ala konsep bank).
Pendidikan hadap
masalah membuat guru dan murid berdiskusi membahas suatu persoalan bersama.
Sementara, pendidikan ala konsep bank adalah pendidikan yang menempatkan anak
didik sebagi objek investasi dan sumber depsosito potensial. Guru sebagai
depositor mewakili lembaga masyarakat mapan dan berkuasa yang menabung pada
kepala peserta didik. Adapun depositnya adalah ilmu pengetahuan yang diajarkan
pada anak didik.
Secara sederhana dalam Politik Pendidikan, Freire merumuskan
draf antagonisme pendidikan “gaya bank” yang kemudian dia kutuk. Antagonisme
itu di antaranya: 1) Guru mengajar, murid belajar, 2) guru tahu segalanya,
murid tidak tahu apa-apa, 3) guru berpikir, murid dipikirkan, 4) guru bicara, murid
mendengarkan, 5) guru mengatur, murid diatur, 6) guru memaksakan pilihannya,
murid menuruti, 7) guru bertindak, murid membayangkan bertindak seperti guru,
8) guru memilih bahan ajar, murid menyesuaikan, 9) guru mengacaukan ilmu
pengetahuan dengan profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan
murid, 10) guru subjek belajar, murid adalah objek.
Dari uraian Freire ini
jelas bahwa guru jadi pusat segalanya, sebagai prototype yang harus digugu dan ditiru. Pendidikan antagonisktik
ini yang akan melahirkan generasi “nekrofili”. Generasi yang cinta pada sesuatu
yang tak memiliki jiwa kehidupan. Dan, menjauhkan generasi “biofili”, yaitu
generasi yang cinta pada kehidupan yang penuh cinta kasih.
Jadi dengan demikian,
pendidikan mestinya “hadap masalah”, di mana peserta didik disadarkan dengan
dihadapkan pada persoalan kehidupan yang konkrit. Peserta didik bukan lagi
sebagai penonton dan peniru. Mereka adalah aktor dan pencipta.
Proses pembelajaran mestilah dialogis atau bahkan dialektis yang menempatkan guru dan murid sebagai pembaru dalam melahirkan pengetahuan yang humanis. Peserta didik dan guru harus sama-sama mengerti persoalan bukan menghafal persoalan. Berikan peserta didik kesempatan mengatakan kata-katanya sendiri berdasarkan apa yang dialami dan bukan kata-kata seorang guru.
*tulisan ini sebelumnya dimuat di Tugujatim.id, dimuat lagi dengan tujuan pendidikan.
0 Komentar