Oleh: Achmad Faisol*
Logo PMII dan HMI. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - Meski agak belotan dalam tulisan ini,
saya ingin mendiskusikan (bantahan atas) pandangan KH. Imam Jazuli, Lc.MA soal
HMI vs PMII di Muktamar NU ke-34. Sebagai IKAPMII level biasa, mohon maaf bila
penyampaian pendapat saya ditulisan ini tidak sistematis dan awut-awutan. Saya
memang bukan penulis, tetapi saya mencintai PMII sekaligus NU. Kemudian, tak lupa
salam takzim saya kepada Kiai Jazuli, semoga Allah selalu memberinya kesehatan.
Dalam tulisannya yang terbit di
Tribuners pada Selasa (5/10/2021), Kiai Jazuli mengafirmasi peran besar NU
ditingkat nasional dan global. Karena itu, posisi ketua NU menjadi sangat
strategis untuk dikuasai. Secara tegas beliau mengatakan bahwa kader terbaik
PMII (Muhaimin Iskandar, dkk) harus “menguasai” NU. “Kecuali jika Keluarga
Besar PMII sudah mengikhlaskan PBNU dipimpin kader HMI,” kata beliau di akhir
artikel.
Pernyataan ini khas cara kiai memberikan
nasihat. Artinya, beliau cukup berat bila kader HMI (Yahya Cholil Staquf) memimpin
NU. Pertanyaannya mengapa demikian sengit? Tentu saja ini tidak lepas dari
persoalan sejarah antara kedua oganisasi, yang sebetulnya saya masih ragu
apakah pantas konflik historis itu dibawa ke dalam kontestasi calon ketua PBNU.
Mengingat NU lahir jauh lebih dulu dan jauh lebih besar dari PMII dan HMI.
Sebelum berdiskusi lebih jauh, saya
ingin menyatakan keprihatinan saya. Mengapa yang mengemuka di muktamar NU yang
akan datang ini justru persoalan bursa calon ketua. Benarkah muktamar NU telah tereduksi
pada sebatas memilih ketua? Lalu lupa dengan persoalan besar bangsa: keadilan,
kemiskinan, kemanusian, dan keummatan, yang sebetulnya ingin dijawab oleh NU.
Fokus pada pemilihan calon ketua ini,
membuat saya merasa Muktamar NU tak jauh beda dengan Kongres partai politik
macam PDIP, Demokrat, PKS, Nasdem, dst. Harapan saya sebetulnya, Kiai Jazuli
mengakhiri keidentikan dengan partai politik ini, terlebih NU telah kembali ke
Khittahnya sebagai organisasi keummatan, kebangsaan, dan keIslaman.
Di dalam artikelnya Kiai Jazuli memberi
sejumlah argumen pentingnya PMII “menguasai” NU, mulai dari garis ideologi,
potensi relasi sosial, dan agenda strategis lainnya.
Menjawab argumen ini, saya ingin kita
semua menggunakan “perspektif buruf” dan bukan “perspektif katak”. Perspektif
burung melihat NU secara lebih universal dari atas, sebagai suatu organisasi
dengan nilai-nilai yang harus bisa masuk ke lembaga apapaun, baik lembaga
pemerintah, orpol, ormawa, pun ormas-ormas lainnya.
Sementara perspektif katak, melihat NU
dari bawah secara partikular. Dalam hal ini, saya menempatkan pandangan Kiai
Jazuli. Sehingga beliau merasa NU perlu dikuasai PMII. Pandangan partikular ini
juga akan dilakukan oleh pihak lain, dalam hal ini HMI, juga merasa perlu
menguasai NU, bahkan mungkin partai-partai merasa perlu menguasai NU.
Perspektif katak ini mereduksi nilai NU
pada sebatas perebutan ketua NU, bukan bagaimana nilai-nilai ke-NU-an bisa membaluri
seluruh kehidupan bangsa. Karena itu, perspektif ini dalam hemat saya tidak
terlalu linear dengan spirit para Kiai pendiri NU dahulu.
Kemudian, saya ingin menilik dari nama “Nahdlatul
Ulama” (kebangkitan para ulama). Titik tekannya ada pada kata “ulama”, mengapa
bukan pedagang dan bukan politisi? Di sini menurut saya, para Kiai pendiri NU
paham betul kebutuhan bangsa ini pada ulama, bukan politisi ataupun pedagang.
“Ulama” adalah bentul jamak dari “alim”.
Yang dalam tradisi Islam seperti juga diyakini oleh NU, sebagai pewaris para
nabi (al Ulama Waratsatul Anbiya). Sehingga “alim” orang yang berilmu dalam
konteks ini berbeda dengan berilmu dalam perspektif Barat, yang hanya cukup
selesai dengan memiliki pengetahuan (knowledge).
Tetapi “ilmu” dalam tradisi NU adalah
pengetahuan plus moralitas dan plus spritualitas. Itulah sebabnya seorang yang
dianggap “alim” yang akan maju di bursa calon ketua PBNU sama sekali tidak
cukup diukur dari karena sebagai kader PMII ataupun HMI, apalagi sebatas kader
partai politik.
Pernah terlibat di organisasi tertentu,
mungkin saja sebagai salah satu kriteria menjadi ketua NU, tetapi sama sekali
itu tidak cukup.
Di sinilah, sebetulnya saya berharap
Kiai Jazuli dapat berbicara lebih luas ketimbang sekedar keharusan menjadi
ketua PBNU hanya karena PMII segaris secara ideologi dan kultur. Saya secara
pribadi, ingin NU ini berbicara di wilayah universal tanpa tersekat oleh
kelompok-kelompok tertentu.
Demikianlah, pendapat yang dapat saya sampaikan. Semoga kita semua masih melestarikan tradisi berdiskusi ala NU.
*Penulis adalah mantan Ketua Komisariat PMII Unitri
0 Komentar