Oleh : Herlianto. A
Hamid Basyaib dan Goenawan Muhamad. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com – Para pelajar
filsafat Indonesia beberapa bulan ini mendapat gempuran serius dari Luthfi
Asyaukanie dan Hamid Basyaib. Dua sosok “pendakwah” sains sekaligus
representator dari sekian pengagum sains lainnya di Indonesia.
Satu topik dakwah yang mereka sering
lontarkan adalah “matinya filsafat,” “filsafat bangkrut,” “filsafat berkutat
dengan barang purba,” “filsafat tak dapat nobel,” “bersyukurlah kita punya
sains,” dan sejumlah serangan serta dakuan lainnya.
Poin serangan mereka adalah betapa tak berdayanya filsafat, betapa usangnya filsafat, dan betapa tak bergunanya filsafat. Seolah, tugas filsafat telah selesai pada zamannya dan kini eranya sains, pandangan khas Comtean. Walaupun, Luthfi mengakui telah bergaul selama 20 tahun dengan filsafat.[1]
Dalam hal ini, kita patut kasihan sama Luthfi, 20 tahun bergaul dengan barang yang tidak berguna dan usang. Betapa sia-sianya umur dia. Tapi itulah pengalaman yang didapatkan dari petualangannya dalam filsafat.
Respons dua sosok yang cenderung agresif
terhadap sains ini bisa dibilang sebagai serangan balik, atas sejumlah “tuduhan”
yang juga cenderung merendahkan sains. Misalnya, seperti yang sering
dikemukakan oleh Goenawan Muhamad (GM) dan para barisannya.
Celetukan GM kadang berdasar pada
kutipan-kutipan saintis yang mengakui iman dan filsafat. Seperti misalnya,
Einstein mengakui adanya Tuhan, bahwa tuhan tak bermain dadu, dst. Dengan itu, GM ingin menunjukkan betapa terbatasnya sains.
Kekesalan Hamid atas GM sempat
dituliskan di dalam artikelnya “Filsafat Sudah Mati” yang secara terang-terangan
menyerang cara berargumentasi GM. Menurutnya, “Catatan Pinggir” GM yang telah dibuat selam bertahun-tahun itu tak
merepresentasikan keutuhan posisinya dalam berargumen soal sains dan filsafat.
Walaupun begitu, yang dimaksud filsafat
oleh Hamid dalam artikel itu, sebetulnya bukan filsafat secara umum tetapi
spesifik filsafat dalam pemahaman GM. Artinya, yang mati bukan filsafat tetapi
yang mati adalah “pemahaman GM soal filsafat”
Persis seperti serangan Al Ghazali atas
Al Farabi dan Ibn Sina dalam Tahafut al
Falasifah yang juga mengatasnamakan filsafat. Kritik Al Ghazali bukan pada
filsafat, tetapi tepatnya pada pandangan dua pemikir sebelumya itu soal
filsafat.
Dalam kesempatan ini, saya tak ingin
masuk ke dalam salah satu kubu dalam “pertarungan” ini. Tetapi ingin
menyediakan “forum harmoni” antara keduanya. Dalam upaya ini, mengajak kedua
kubu untuk menguatkan posisinya masing-masing dan kemudian melihat dari sudut
yang lebih tinggi. Ibaranya filsafat dan sains adalah dua gunung yang berdiri
kokoh, bagaimana jika posisi keduanya dilihat dari atas menggunakan helikopter.
Kira-kira sudut pandang apa yang akan
kita dapatkan bila dilakukan demikian? Akankah sains dan filsafat bertentangan
seperti yang mereka argumentasikan? Mula-mula, kita akan belajar dari sejarah.
Sebagaimana diakui para sejarawan termasuk Hamid dan Luthfi, bahwa pada mulanya
filsafat adalah ujung tombak pengetahuan.
Sebelum ada sains, dalam arti yang telah
rigid, upaya pencarian pengetahuan manusia ada dalam filsafat. Filsafat di era
ini, tak mengenal perbedaannya dengan cara berpikir sains. Karena itu,
Aristoteles adalah seorang filsuf yang sekaligus seorang biolog dan astrolog.
Dia banyak meneliti hewan dan semesta. Begitu juga dengan Demokritos,
Empedokles, dst.
Hal yang sama dilakukan oleh para filsuf
muslim awal, yang paling tampak adalah Ibn Sina. Dia tidak hanya sebagai
seorang filsuf, tetapi juga saintis. Karya sains terbesarnya adalah Kanon fi Tibb, buku kedokteran yang
masih dibaca hingga kini. Buku As Syifa
karya mashurnya tersusun atas Logika, Fisika, Matematika, dan Metafisika.
Baca Juga:
Dari peristiwa sejarah ini, mereka
memposisikan ilmu alam (sains) dan filsafat dengan porsinya masing-masing.
Artinya, kok bisa filsuf sambil
meneliti hewan dan semesta? Kok bisa
filsuf sekaligus meneliti medis? Kalau kita lihat mereka dari hari ini, maka
mereka adalah filsuf yang sekaligus saintis.
Artinya, dalam sejarah pengetahuan
manusia, tak ada pertentangan antara sains dan filsafat. Mereka meletakkan
keduanya dalam posisinya masing-masing yang sama-sama kuat. Sains menyuplai
manusia konsep-konsep primer (empirik) sementara filsafat menyuplai manusia
konsep-konsep sekunder (rasional).
Misalnya, pencarian manusia tentang
hakikat jiwanya di awali dari riset psikologi atau psikoanalisis. Psikologi
mengalisis prilaku manusia dengan saintifik untuk mengetahui kecenderungan
mental manusia. Amatan saintifik ini misalnya, konsistensi respon manusia
terhadap stimulasi tertentu. Apa yang terjadi jika seorang perempuan diberikan
bunga setiap hari oleh pasangannya?
Pengamatan yang terjadi pada perempuan
setelah diberikan bunga dikumpulkan menjadi data. Data ini akan menjelaskan
secara saintifik bagaimana keadaan mental orang yang diberikan bunga setiap
hari. Hasilnya katakanlah, cintanya semakin kuat dan hubungannya semakin
harmonis. Ini yang saya sebut konsep primer.
Konsep primer ini bisa kita teruskan
dengan membicarakan apa itu hakikat cinta? Mengapa ada cinta? Apakah mencintai
itu baik? Apakah mencintai itu baik karena memang cinta itu pada dirinya baik
atau karena ada keyakinan tertentu yang menyuruhnya, sehingga cinta bernilai
baik? dst.
Pertanyaan-pertanyaan ini ada pada wilayah
konsep-konsep sekunder. Kumpulan data respon perempuan saat menerima bunga
tidak bisa menjawab ini. Filsafat harus hadir di sini. Hadirnya filsafat bukan
berarti menafikan konsep-konsep primer. Yang benar adalah sains dan filsafat
dalam hal ini berada secara linear.
Maka sebetulnya, melihat pentingnya
relasi sains dan filsafat ini menjadi tidak terlalu penting membuat pembedaan
antara filsafat dan sains. Apalah arti perbedaan ini, jika pada faktanya sains
dan filsafat linear.
Toh, Aristoteles dan Ibn Sina dan
barangkali filsuf yang lain, bisa melakukan pencarian pengetahuan dengan
menggunakan dua perangkat tersebut tanpa mempertentangkannya. Juga tidak ada
batasan siapa yang bisa belajar filsafat dan atau sains.
Inilah suatu harmoni yang sebetulnya
terjadi antara sains dan filsafat yang bisa kita lihat sejak abad Yunani Klasik
6 SM hingga menjelang abad kontemporer 19 M. Pembelahan sains dan filsafat
terjadi besar-besaran belakangan ini karena adanya lokalisasi filsafat pada
hal-hal yang metafisika saja, yang sebetulnya kurang tepat kalau dilihat dari
sejarahnya.
Saya berkeyakinan, Lutfi, Hamid dan GM masih bisa berdialog lebih lanjut tentang pikiran-pikiran mereka soal sains dan filsafat. Mereka hanya butuh lebih banyak forum dialog untuk menemukan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu dipertentangkan antara sains dan filsafat.
[1] Lihat
Facebook Lutfi Assyaukanie.
0 Komentar