Oleh: Herlianto. A
Cover buku "Secangkir Kopi Filsafat". (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com - Gempuran atas
filsafat bertubi-tubi datang belakangan ini, terutama dari kalangan yang mengunggulkan
sains. Setidaknya seperti yang ditunjukkan sosok Luthfi Assyaukanie dan Hamid
Basaib. Luthfi mengatakan “Filsafat Itu Bangkrut” terutama sebagai jurusan di
kampus.
Kebangkrutan ini terjadi karena fungsi
dan peran filsafat akan diambil alih oleh saintis. Karenanya, jurusan filsafat
tidak lagi terlalu laku. Dengan sinis Luthfi mengatakan mahasiswa yang
mengambil jurusan filsafat karena tidak diterima di jurusan yang lain.
Senada, Hamid menyebut bahwa filsafat
itu tidak berguna, selalu berpijak pada masa lalu yang telah usang. Filsafat,
dalam anggapannya, tidak sempat mempersoalkan hal-hal kontemporer terutama
dunia cyborg yang telah bekembang pesat. Karenanya, bagi dia, filsafat perlu
mengajukan pertanyaan baru.
Atas tuduhan tersebut, para pegiat
filsafat ternyata tak kalah sengitnya memberikan jawaban atas tuduhan-tuduhan “kaum
saintis” itu. Fitzerald Kennedy Sitorus, salah satunya, memberikan jawaban yang
menukik atas Hamid. Dia “menduga” Hamid tak paham demarkasi antara filsafat dan
sains. Sitorus menjelaskan dengan detail bagaimana fungsi filsafat.
Baginya, filsafat tetap berfungsi justru
pada ruang-ruang yang tidak dijawab oleh sains. Terutama soal etika dan moral.
Misalnya, apakah bayi tabung (temuan sains) boleh atau tidak dilakukan? Jawaban
atas pertanyaan ini, tidak akan pernah ditemukan dalam sains. Karena ini adalah
pertanyaan etik atau moral. Sains tidak mungkin meneliti soal itu.
Kelemahan pemahaman Hamid lainnya yang
ditunjukkan oleh Sitorus adalah soal tulisan Hamid yang berjudul “Filsafat
Perlu Mengajukan Pertanyaan Baru”. Bagi Sitorus ini lucu. Karena sebetulnya
dalam filsafat tak ada pertanyaan yang baru, yang ada adalah jawaban baru atas
pertanyaan yang sama. Misalnya, soal apa itu kebahagiaan? Aristoteles
memberikan jawaban atas soal ini, yang mana jawabannya berbeda dengan Epikuros,
termasuk berbeda dengan Stuart Mill dan J Bentham di abad modern. Begitu juga
dengan pertanyaan lain macam keadilan dan persoalan sosial lainnya.
Perdebatan soal Sains, Agama dan Filsafat memang ramai belakangan ini dibicarakan, sebelum pelemik Lutfi Assyaukanie ini, ada polemik antara Goenawan Muhammad versus A.S Laksana, yang kemudian membuat “gatel” beberapa pegiat filsafat lainnya macam F. Budi Hardiman, dan beberapa lainnya.
Girah kajian filsafat ini juga mengemuka
dalam festival filsafat terbesar di Indonesia yaitu Philofest 2020 dan 2021
yang sudah melangsungkan dua kali gelaran. Acara ini melibatkan banyak insan-insan
pegiat filsafat termasuk para komunitas dan lembaga pecinta filsafat Indonesia.
Bahkan yang bukan jurusan filsafat juga ikut nimbrung dalam festival keren ini.
Nah, melihat menggeliatnya kajian-kajian
filsafat tersebut saya memberanikan diri menerbitkan buku Secangkir Kopi Filsafat: Obrolan-Obrolan Sederhana Seputar Filsafat
Populer. Buku kumpulan esai ini meski tidak secara spesifik membahas soal
agama, sains dan filsafat tetapi ada beberapa bagian yang menyinggungnya.
Harapan dari penerbitan buku ini, kajian
filsafat menjadi semakin meluas dalam bahasa yang lebih populer agar lebih
mudah ditangkap terutama bagi mereka yang baru mendengar kata filsafat, atau
baru ingin belajar filsafat. Ruang-ruang publik seperti warung kopi yang
menjadi “tempat istimewa” kalangan anak muda saat ini perlu diramaikan dengan
obrolan filsafat. Obrolan filsafat yang asyik dan menyenangkan.
Saya masih pada keyakinan bahwa
digitalisasi saat ini menuntut bahasa yang populer bagi filsafat. Pasalnya,
digital (medsos) sudah menjadi tool of
delivery bagi filsafat yang efektif untuk semua kalangan tanpa menyeleksi.
Maka bahasa populer adalah bahasa yang tepat di ruang ini yang bisa dibaca oleh
siapapun.
Tentu saja, filsafat dalam medium
populer ini memiliki beberapa kendala terutama atas bahasa-bahasa teknis
filsafat yang rumit dan rigid. Kadang padanan dalam bahasa pupuler tidak
memadai. Selain itu, dari tingkat kedalaman kajian. Mungkin bahasa populer
tidak bisa mengekspresikan secara mendalam makna-makna filsafat. Namun demikian
itu tidak menghentikan perlunya filsafat yang dipresentasikan dalam bahasa
populer saat ini.
Inilah sekelumit catatan atas terbitnya
buku Secangkir Kopi Filsafat yang
ingin meramaikan diskusi filsafat di ruang publik dengan bahasa yang lebih
populer. Semoga bermanfaat.
0 Komentar