Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi pengaruh atas pemikiran. (Foto: Istimewa) |
Mazhabkepanjen.com – Keresahan bersama bagi pelajar filsafat adalah
bisakah melahirkan pemikiran filosofis yang otentik. Otentik dalam arti terbebas
dari pengaruh pemikiran apapun dan siapapun. Suatu pemikiran, yang secara
jernih merepresentasikan suatu zaman yang patah dari rangkaian zaman sebelumnya.
Suatu
harapan yang tampak sulit diwujudkan jika melihat bagaimana sejarah pemikiran
filsafat bergulir. Filsafat kita hari ini disusun melalui kutipan baik
langsung, parafrase ataupun anotasi (syarah dalam tradisi Suryani). Karena itu,
selalu adalah pemikir yang paling berpengaruh, cukup berpengaruh atau sama sekali
tidak berpengaruh.
Jelas
saja, ukuran tingkat keberpengaruhan suatu pemikir ini diukur sejauh mana
pemikiran dia dikuti, seberapa sering ditempatkan di antara dua tanda petik, dibahasakan
ulang dalam buku-buku baru, skripsi, tesis, hingga desertasi, dan atau ditafsir
dengan cara tertentu dalam orasi-orasi ilmiah.
Semakin
banyak diikuti, dan semakin lama rentang waktu pemikiran itu dikutip, maka sang
pemilik pemikiran adalah filsuf paling berpengaruh. Karena itu, kita mengenal
filsuf paling berpengaruh di Jerman di abad 17, filsuf paling berpengaruh abad
10 di tanah Arab, dst.
Cuma
sampai kapan kita berbicara pengaruh-pengaruh dan poin-poin pemikiran dari
deretan filsuf demi filsuf itu? Menjenuhkan memang. Seorang teman baru saja
membaca dan menerjemahkan karya Edmund Husserl, Ideas Pertaining to A Pure Phenomenology and to Phenomenological
Philosophy.
Yang
menarik jeritan dari sang pembaca ini, bukan saja soal rumitnya menerjemahkan
karya tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Tapi selalu muncul tanya dalam
benaknya saat membaca, yaitu “Husserl setelah membaca karya Anda ini saya jadi
apa dan dapat apa?”
Pertanyaan
yang mungkin bisa dialamatkan oleh kita semua pada setiap buku yang kita baca.
Adakah hal lain yang bisa kita lakukan selain memancarkan kembali pemikiran
Husserl atau siapapun yang kita baca karyanya lewat kutipan, bahasa yang
berbeda, atau tafsir (kontekstualisasi)?
Tiga
hal ini yang paling sering kita temukan bagi pembaca filsafat Indonesia,
termasuk saya sendiri tidak kuasa lepas dari tiga hal ini.
Kadang
saya bertanya, apakah cara kita memulai belajar filsafat sudah salah dari awal?
Jangan-jangan cara kita belajar dengan membaca ide-ide pemikir terdahulu itu
tidak tepat, karena justru membuat otak (mind)
dan pikiran (thought) kita semacam
mesin foto copy atas ide-ide. Atau bahasa yang lebih sarkas “pemulung ide.”
Baca Juga:
- Tuhan dan Matematika
- Filsafat Barat dan Tradisi Ilmiah
- Filsafat dan Kelelakian
- Tubuhpun Masih Misteri bagi Tuannya
Tetapi
tanpa membaca kekayaan pemikiran terdahulu dengan apa atau bagaimana seharusnya
kita mulai belajar filsafat? Bisakah belajar filsafat tanpa itu semua?
Eksperimen metodis ini sepertinya belum ada yang melakukan. Tapi, ada fiksi
yang mungkin agak dekat dengan cara ini, yaitu karya Ibn Thufail, Hayy Ibn Yaqzan.
Novel
yang menceritan anak manusia diasuh oleh rusa yang kemudian melakukan pencarian
pengetahuan dengan, tentu saja tanpa membaca karya-karya pemikir sebelumnya.
Dia di hutan mengamati alam, mengati kematian induk rusa yan membesarkannya,
dst.
Hingga
bertemu dengan manusia. Dan, ternyata hasil perenungannya selama di hutan tidak
jauh berbeda dengan manusia yang sebelumnya melakukan pencarian pengetahuan
secara “normal.”
Fiksi
ini memungkinkan pencarian kita akan ide-ide filsafat terlepas dari
bayang-bayang karya-karya besar para filsuf sebelumnya. Tetapi jelas, ini sangat
sulit dilakukan. Yang banyak terjadi saat ini adalah, para filsuf fokus
mempelajari suatu pemikiran filsuf terdahulu lalu mengembangkannya sedemikian
rupa hingga berbeda dengan pemikir sebelumnya itu.
Atau,
ada juga yang merangkai dari dua ide pemikir bahkan dari sekian pemikir untuk
diambil poin-poinnya disusun menjadi konstruksi pemikiran baru. Kebaruan yang
sebetulnya tidak sungguh baru.
Memang
sialnya, manusia seperti telah dikutuk untuk terlempar dalam kehidupan sosial,
dalam kerumunan orang yang pasti mempengaruhi pemikirannya. Pemikiran kita seperti
memerlukan pijakan atau bahan untuk disusun, dan dari susunan itu membayangkan
susunan lain yang berbeda.
Sayapun
berkeyakinan bahwa cara belajar berpikir kedepannya mesti disusun dari dua cara,
yaitu bacaan-bacaan atas pemikiran para filsuf sebelumnya dan
pengalaman-pengalaman otentik kita sendiri. Dari dua hal ini, saya kira, kita
dapat menghasilakn pemikiran yang tidak melulu mengkopi ide besar sebelumnya
yang sebetulnya membosankan dilakukan dalam waktu yang lama.
Tetapi juga bukan pemikiran yang terlepas dari rangkaian sejarah dan kehidupan sosial manusia yang telah berlangsung selama jutaan tahun.
0 Comments