Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi. (Sumber: The Swaddle)
Mazhabkepanjen.com - Cemas dan kekhawatiran adalah salah satu
mode kehidupan yang akan dialami setiap orang. Mengapa? Jawabannya masa depan. Semua
manusia akan mengalami masa depan. Dan, masa depan berarti ketidakpastian.
Belum lagi ekspektasi manusia yang sering kali tidak sesuai dengan realita.
Masa depan, ekspektasi, dan harapan adalah akar kecemasan. Dan, kecemasan
berarti penderitaan.
Lalu bagaimana mengatasi kecemasan itu?
Kali ini kita akan belajar pada kaum Stoa bagaimana menghadapi ketidakpastian
dan kecemasan.
Belakangan ini, jagad media sosial kita
memang diramaikan dengan ekplanasi etika Stoa. Bisa dibuka, ada banyak kajian di
YouTube yang membahas etika Stoa atau Stokisme, termasuk artikel dan buku juga
banyak diterbitkan. Mereka semua kompak bahwa etika Stoikisme sangat relevan
untuk mengobati kegelisahan dan kecemasan manusia kontemporer.
Agak aneh sebetulnya, karena Stoa
sendiri hanya bagian akhir dari sejarah panjang pemikiran Yunani klasik atau
tradisi Helenis. Stoa baru muncul pada abad 3 SM yang dipelopori oleh Zeno dari
Citium atau Siprus hari ini (344-262 SM).
Lalu dikembangkan oleh para pemikir
Romawi, misalnya oleh Seneca (4 SM-65 M), Epictetus (55-135 M) seorang budak,
dan yang cukup terkenal adalah kaisar Romawi, Marcus Aurelius (121-180 M). Sebetulnya,
sebagai suatu mazhab pemikiran, Stoa tidak hanya membahas tentang etika tetapi
juga tentang filsafat alam dan bahkan logika yang dikenal dengan logika
proposisi. Sayangnya, bagian penting tidak banyak yang tertarik.
Tetapi memang hari ini yang cocok untuk
menghadapi tantangan masyarakat kontemporer adalah etikanya. Mengapa? Manusia
kontemporer berada dalam ketakberdayaan oleh serangan media sosial dam
teknologi. Mental manusai modern dibuat labil oleh jejaring media sosial, mulai
oleh hoaks hingga capaian-capaian tetangga yang dipamerkan di medsos.
Lalu etika apa yang diajarkan oleh Stoik?
Pada prinsipnya Stoa membedakan antara sesuatu yang bisa dikontrol dan yang
tidak bisa dikontrol oleh manusia.
Yang bisa dikendalikan adalah apa yang
dapat dikontrol, sementara yang tidak bisa dikontrol tentu saja manusia tidak
berbuat apa-apa. Apa yang bisa dikontro? Dalam hal ini Stoa menjawab yang bisa
dikontrol adalah diri. Jadi etika Stoa fokus pada bagaimana mengendalikan diri,
menata emosi, mengatur tempo psikis, dst. Karena itu pulalah etika Stoa disebut
cara hidup (way of life).
Orang yang mampu mengendalikan diri
adalah orang yang bahagia. Jadi, Stoa sebagaimana para pemikir sebelumnya seperti
Sokrates, Plato, Aristoteles, dan Epikuros sama-sama menjadikan kebahagiaan (eudaimonia) tujuan. Walaupun rumusannya
untuk mencapai tujuan itu berbeda dengan para pendahulunya.
Bagaimana mewujudkan kebahagiaan menurut
Stoa? Menurut saya, Stoa lebih praktis ajarannya ketimbang para filsuf
sebelumnya dalam mewujudkan kebahagiaan. Dalam buku The Little Book of Stocism ditulis oleh Jonas Salzgeber dipaparkan
konsep dan praktik menjadi Stoik.
Secara konsep ada tiga hal yang harus
dilakukan manusia untuk menjadi Stoa, yaitu mengendalikan diri, memperbaiki
sikap disiplin, tidak merasa hebat atau paling tahu. Tiga hal ini yang disebut concept of self control (konsep kontrol
diri).
Nah, dari konsep ini diturunkan beberapa
praktik-praktik untuk menjadi stoa. Setidaknya ada 55 praktik menjadi Stoa
dalam buku itu. Tetapi, kali ini saya memilih beberapa praktik yang lebih cocok
dengan kehidupan kita saat ini.
Pertama, terima dan
cintai apa yang terjadi. Manusia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi.
Bentuk fisik kita, dari siapa kita lahir, atau bahkan bencana yang telah
terjadi, semua itu tidak bisa kita ubah. Maka cara terbaik adalah mencintai
diri dan keadaan apa adanya.
Kedua, salahkan
ekspektasimu. Salah satu sumber penderitaan adalah ekspektasi yang berlebihan,
sementara kemampuan pas-pasan. Ekspektasi yang berlebihan akan terjatuh pada
kekecewaan karena tidak sesuai dengan realita.
Ketiga, posisikan
dirimu sebagai orang lain. Ketika kita mau melakukan sesuatu pada orang lain
terutama hal-hal yang tidak terpuji, maka sebaiknya kita berempati dengan cara
memposisikan diri sebagai orang lain. Anda mungkin menghujat orang nikah beda
agama, tapi coba posisikan diri Anda sebagai mereka. Anda menghujat pawang
hujan, tapi coba posisikan diri sebagai pawang hujan.
Keempat, anggap segala
sesuatu meminjam pada alam. Perasaan memiliki bisa jadi satu sumber penderitaan
manusia. Terutama ketika apa yang kita miliki terlepas dari diri kita. Kita
merasa memiliki mobil, tetapi ketika mobil itu dicuri maka kita menderita.
Tetapi bila mobil itu punya alam, maka berarti kehilangan mobil sama dengan
mengembalikan mobil itu pada alam.
Kelima, berdamai
dengan ketidaknyamanan. Tidak semua yang kita alami sesuai dengan harapan kita.
Kita ingin kaya tetapi nyatanya miskin, kita ingin punya rumah besar tetapi
nyatanya hidup di gubuk reyot. Semua itu adalah ketidaknyamanan dan kita hanya
bisa berdamai dengan ketidaknyamanan itu.
Keenam, kalahkan
ketakutan dengan persiapan dan rasionalitas. Anda mungkin takut saat mau ujian,
khawatir saat akan naik pesawat, dst. Semua kekahawatiran itu bisa diatasi
dengan persiapan. Jika Anda menyiapkan diri untuk suatu ujian Anda akan tenang.
Ketujuh, pikirkan
tentang kematian. Akhir kehidupan manusia di dunia adalah kematian. Bila ajal
telah tiba maka semua tidak ada artinya bagi manusia itu. Rumah yang besar,
jabatan yang mentereng, istri-istri cantik, semua itu tidak bisa lagi menjadi
penolong. Kematian akan membuat manusia lebih bijak dan ingat bahwa segalanya
akan berakhir.
Itulah konsep dan beberapa praktik menjadi Stoa yang mungkin bisa kita terapkan sebagai cara hidup kita untuk menghadapi ketidakpastian, kekhawatiran dan kecemasan akan masa depan.
0 Komentar