Perang, NFT, dan Ironi Minyak Goreng

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Mazhabkepanjen.com – Beberapa hari ini, saya merasa ada gejolak di benak yang ingin dimuntahkan antara isu perang, hasrat menjual NFT dan polemik minyak goreng. Sebelum membicarakan lebih jauh tentang isu-isu ini, saya akan memulainya dengan cerita terlebih dahulu.

Suatu hari teman saya ingin membeli minyak goreng yang harga eceran tertingginya ditetapkan pemerintah Rp 14 ribu. Teman ini masuk ke retail modern, ternyata sudah habis. Begitu keluar, pritt pak parkir meniup pluitnya, bayar Rp 2 ribu uang parkir.

Lalu bergeser lagi ke toko yang lain, minyak goreng harga murah itu lagi-lagi tidak ada. Begitu ke luar toko, bayar parkir lagi. Hal yang sama dilakukan oleh teman ini ke beberapa toko dan ternyata minyak goreng itu habis semua. Setelah dihitung-hitung, dia telah memasuki tujuh toko. Artinya, untuk bayar parkir dia telah menghabiskan Rp 14 ribu, seharga satu liter minyak goreng HET yang dikejarnya itu.

Sungguh nahas, minyak goreng tidak dapat, uang untuk beli juga ludes untuk bayar parkir. Belum lagi bensin yang habiskan keliling, dan tentu saja tenaga yang dicurahkan. Beginilah cara negara ngeprank warganya.

Ini suatu ironi, ternyata memiliki uang tidak cukup untuk mendapatkan kebutuhan makan. Berapapun banyaknya uang, saham, dan criptocurrency yang dimiliki tak akan bisa mendapatkan minyak goreng bila memang minyak itu tidak ada. “Ternyata kita tidak makan uang, yang kita makan tetap minyak,” gumamku dalam hati.

Pada waktu yang sama, generasi kita tengah berlomba memburu criptocurrency melalui NFT, yaitu menjual foto lewat aplikasi tertentu dengan bayaran uang virtual, yang tentu saja bisa dikonversi ke uang beneran. Harapannya, dapat uang melimpah karena konon banyak yang kaya mendadak hanya dengan menjual foto selfie.

Namun, sebetulnya bagaimana uang itu dapat diubah menjadi makanan bila makanan itu sendiri tidak ada. Di sinilah menjadi terang benderang bahwa penghasil makanan, dalam hal ini petani menempati peran yang sangat penting sebagai penyedia makanan yang bisa mereka makan agar bisa menjual NFTnya.

Sayangnya, menjadi petani sama sekali tidak nenarik ketimbang menjual NFT di aplikasi tertentu. Petani mengalami kesulitan pupuk, petani dibiarkan menghadapi hama yang membuatnya gagal panen, hingga dipermainkan harga pangan yang membuat petani rugi. Petani dibiarkan tanpa generasi.

Mungkin saja hari ini, kita mengalami kelangkaan minyak goreng. Tetapi bukan tidak mungkin di waktu yang akan datang akan mengalami kelangkaan beras, gandum, kedelai, singkong, dan bahan makanan lainnya. Padahal pada waktu yang sama memiliki criptocurrency yang jutaan nilainya. Lalu untuk apa nilai uang yang banyak itu?

Inilah ironi, dan pelajaran yang sangat penting dari kelangkaan minyak goreng sebagai bahan baku kebutuhan makan manusia.

Berhari-hari kelangkaan minyak goreng ini belum teratasi. Pembuat kebijakan, penegak hukum, hingga para ahli pada kebingungan cara mengatasinya. Lalu perang meledak. Rusia menginvasi Ukraina dengan berbagai alasan agar tindakannya legitmate.

Publik kita berikut para pejabat turut memberi komentar paling bijaknya. Berharap Indonesia terlibat dalam mendamaikan perang negara Eropa timur tersebut. Lagi-lagi ini suatu ironi dan ilusi. Negara yang ngatasi persoalan kelangkaan minyak goreng saja belum bisa, tiba-tiba diharapkan menjadi penengah konflik Rusia-Ukraina. What!!!

Publik turut menjadi ahli atau pakar internasional yang membahas bagaimana konflik itu bisa terjadi. Ada yang menganggap negara-negara NATO biang keroknya. Mereka telah membuat Rusia insecure di kawasannya sendiri begitu Ukraina mendekat ke NATO. Ada juga yang mengatakan Rusia ingin menguasai gas alam yang dimiliki Ukraina, dan sejumlah komentar lainnya yang bertebaran.

Namun sayangnya, lagi-lagi komentar heroik ini menjadi suatu ironi karena pada saat yang sama tak ada komentar solutif untuk mengatasi persoalan kelangkaan minyak goreng yang menjadi persoalan mendesak publik dan warga negara Indonesia.

Entahlah, sampai kapan minyak goreng ini menjadi ironi di negara penghasil kelapa sawit terbesar di Asia Tenggara ini. Bila kelangkaan terus terjadi, berarti akan ada beberapa Rp 2 ribuan lagi yang akan kita bayarkan hanya untuk tukang parkir tanpa mendapatkan minyak goreng yang dibutuhkan.

Posting Komentar

0 Komentar