Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi Paradoks. (Foto: Merdeka.com) |
Mazhabkepanjen.com – Anda
sekalian barangkali pernah mengalami paradoks, misalnya takut akan penderitaan,
lalu segala cara dilakukan agar tidak menderita. Padahal sebetulnya ketakutan akan
penderitaan itu adalah penderitaan itu sendiri. Itu paradoks.
Jadi paradoks
adalah dua atau lebih hal yang bertentangan dan seolah kita tidak bisa memilih
salah satunya, karena sama-sama memiliki konsekuensi tertentu. Dan itu, menurut
saya, adalah sebuah misteri.
Nah, di dalam
filsafat juga ada paradoks demikian. Kali ini saya akan mengulas beberapa
paradoks dalam filsafat yang biasa diperbincangkan di kalangan pelajar
filsafat.
1.
Paradoks
Analisis
Kita mungkin pernah
menganalisis suatu istilah tertentu, terutama yang ada di lingkungan akademik.
Dalam suatu analisis, penjelas(an) yang mengalisis biasanya disebut analisan
harus merepresentasikan yang dianalisis yang biasa disebut analisandum.
Misalnya,
perjaka (analisandum) adalah laki-laki yang belum menikah (analisan). Analisan
dalam contoh analisis ini harus merepresentasikan analisandum. Jadi “laki-laki
yang belum menikah” harus merepresentasikan “perjaka”. Tampaknya ini benar,
tetapi sebetulnya suatu paradoks.
Baca Juga:
Karena apabila
analisan merepresentasikan analisandum maka berarti tak ada yang dianalisis
karena maknanya sama antara “perjaka” dan “laki-laki yang belum menikah”.
Analisisnya mana? Tetapi apabila analisan itu tidak merepresentasikan
analisandum maka berarti analisis salah, karena menjelaskan yang lain.
2.
Paradok
Epistemologi
Dalam suatu
pencarian pengetahuan itu ada paradoks. Paradoks epistemologi ini dikemukakan
oleh Plato di dalam bukunya berjudul Meno.
Saat Sokrates berdialog dengan murid kaum Sofis bernama Meno muncullah paradoks
ini.
Makanya
disebut juga paradoks Meno. Paradoksnya adalah apakah pengetahuan yang kita
cari sudah kita ketahui atau belum? Kalau pengetahuan itu belum diketahui bagaimana
kita bisa mencarinya. Sepertinya mencari seekor ayam yang kita juga tidak tahu
kayak apa ayam itu. Tidak tahu warananya, ukurannya, jantan atau betina.
Bagaimana bisa
menemukannya? Tetapi bila kita sudah mengetahuinya pengetahuan yang mau kita
cari, lalu untuk apa masih cari.
Paradoks ini adalah arguman yang digunakan Sokrates untuk membuktikan bahwa pengetahuan itu adalah ingatan (anamnesis). Manusia pernah memiliki pengetahuan semurna sebelumnya tetapi lupa, makanya dicari.
3.
Paradoks
Gerak
Paradoks gerak
masyhur saat digunakan oleh Zeno, murid Parmenides dalam tradisi Yunani Klasik,
sebagai argumen untuk membantah adanya gerak dan perubahan. Bahwa gerak dan
perubahan itu suatu yang semu. Sejatinya segalanya penuh tak bergerah dan tak
berubah.
Paradoksnya
begini, gerak itu seolah-olah terjadi tetapi sebetulnya tidak pernah terjadi.
Misalnya gerak dari A ke B. Saat A berjalan mencapai separuh perjalanan menuju
A. Lalu separuh perjalanan itu, dijalani lagi separuhnya, lalu separuhnya itu
dijalani lagiseparuhnya. Terus pemaruhan ini terjadi secara tidak terbatas.
Artinya sisa
perjalanan itu tidak pernah habis terbagi. Dengan kata lain perjalanan dari A
ke B tidak pernah sampai. Maka kalau gerak adalah perpindahan dari A ke B,
berati tak pernah ada gerak karena A tak pernah sampai ke B.
Tetapi
faktanya kita melihat, bahwa ada gerak dari A ke B yang sampai. Dari kampus ke
kos-kosan itu kan sampai. Ya itulah paradoksnya, dalam amatan kita sampai,
tetapi dalam pembagian yang rasional tadi tidak pernah sampai.
4.
Paradoks
Definini
Membuat
definisi biasanya mengacu pada aturan logika tradisional versi Aristoteles.
Definisi tersusun atas Genus, Spesies dan Diferensia. Misalnya, Botak. Botak
adalah kepala yang tidak memiliki rambut. Botak itu spesies, kepala adalah
genusnya, dan tidak memiliki rambut adalah diferensianya.
Baca Juga:
Paradoksnya
atau biasa disebut kekaburannya ada pada persoalan rambutnya. Bagaimana dengan
orang yang masih memiliki rambut 10 helai, apakah disebut botak. Kalau dilihat
dari susunan definisinya: kepala yang tidak memiliki rambut. Maka berarti orang
yang tersisa 10 helai rambut di kepalanya tidak bisa disebut botak.
Tetapi juga
tidak bisa disebut gondrong, hanya gara-gara ada 10 helai rambut di kepalanya.
Lalu batasan botak dan tidak botak bagaimana, seberapa banyak rambut yang harus
ada di kepala untuk disebut tidak botak. Inilah problem kekaburan definisi itu.
5.
Paradoks
Tuhan
Paradoks Tuhan
masyhur dikemukakan oleh Epikuros. Sebetulnya Epikuros dalam rangka mengkritik
keyakinan orang pada adanya Tuhan yang maha baik. Paradoksnya berupa
pertanyaan, begini:
Apakah tuhan
itu berkehendak untuk mencegah keburukan tetapi dia tidak mampu, jika iya maka
berarti tuhan tidak maha kuasa. Atau apakah Tuhan mampu mencegah keburukan
tetapi tidak berkehendak? Berarti Tuhan dengki. Atau, jika tuhan itu berkehendak
dan mampu mencegah keburukan, lalu mengapa ada keburukan? Atau Tuhan tidak
berkehendak dan tidak mampu mencegah keburukan, kalau begitu mengapa kita sebut
Tuhan.
Inilah lima
paradoks yang sering diperbincang hingga hari ini di kalangan pelajar filsafat.
Yang mungkin masih belum ada yang memecahkan paradoks tersebut. Anda sekalian
pembaca boleh mencoba untuk memecahkannya.
Cara Menerbitkan Artikel di Mazhabkepanjen.com
*) Naskah dikirim ke email: mazhabkepanjen21@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak menayangkan artikel yang tidak sesuia dengan kaidah dan filosofi Mazhabkepanjen.com
0 Comments