Oleh: Herlianto. A
Bendera HMI. (Foto: CNN Indonesia) |
Mazhabkepanjen.com - Rentang tahun 1963-1966 menjadi sepotong sejarah paling penting bagi HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Pada masa ini HMI dituntut bubar karena dianggap kontra revolusi.
Tuduhan itu muncul setelah terjadi pemberontkan PRRI (Pemerintah Revolusi Republik Indonesia) di Sumatra dan Permesta (Perjuangan Semesta Alam) di Sulawesi, dimana HMI bersama Partai Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) ditengarai terlibat dalam gerakan makar tersebut.
Ditambah peristiwa Utrecht, yaitu HMI ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Fakultas Hukum Universitas Negeri Brawijaya cabang Jember, 12 Mei 1964. Alasannya HMI terlibat DI/TII, percobaan pembunuhan Sukarno dan Agen CIA. Masyumi dan PSI telah dibubarkan pada 1960, kini tinggal HMI yang diguncang.
PKI (Partai Komunis Indonesia) dan underbownya CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasaiswa Indonesia) beserta beberapa mitra lainnya seperti GMNI-Asu (Gerakan Mahasiswa Nasional-Ali Sastromijoyo dan Surahman) adalah elemen yang menggemakan pembubaran HMI. Mereka mendesak Sukarno untuk segera mewujudkan pembubaran setiap organisasi kontra revolusiner (kontrev) termasuk HMI.
PKI memang memiliki kekuatan besar dalam perpolitikan indonesia waktu itu. Pada pemilu 1955 PKI merupakan partai terkuat ke empat setelah NU dengan perolehan suara 6.179.914 atau sekitar 16,4% dari total suara. CGMI, Lekra, Gerwani SOBSI, BTI sebagai sub organaisasi dari PKI juga menuai massa yang begitu banyak. Jadi kekuatan penekan terhadap pembubaran HMI sangat kuat. Ditambah dengan runtuhnya demokrasi liberal pada 14 Maret 1957.
Sukarno menerapkan demokrasi terpimpin. Setelah mengeluarkan dekrit 5 Juli 1959 (membubarkan dewan Konstituante, memberlakukan UUD 1945 dan pengangkatan MPRS &DPAS), Sukarno meluncurkan konsep Manipol USDEK (Manifesto Politik: UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi terpimpin, Ekonomi terpimpin dan Kepribadian Indonesia). sejak itu Nasakom (Nasionalisme, agama dan komunisme) menjadi jargon baru Indonesia di era demokrasi terpimpin dan HMI dituntut mengamini rumusan ini.
PKI dan suborganisasinya mendapat tempat yang strategis dari bung Karno. Di mata Bung Karno agen-agen PKI adalah alat yang revolusioner. Maka dalam Kabinet Dwikora banyak orang-orang PKI yang bercokol sebagai menteri di senayan. DN Aidit sebagai CC PKI memperoleh penghargaan Bintang Maha Putra III dari bung Karno. Ia dinobatkan sebagai contoh keteladanan dan kepahlawanan dalam kepemimpinan politik (hal 84).
Dalam pidatonya 23 Mei 1965 setelah memberikan penganugrahan pada Aidit bung Karno menyatakan “PKI ya sanakku, ya kadangku, yen mati aku melu kelangan”. Pernyataan ini membuat HMI dan kelompok antikomunis lainnya cemas. Tuntutan pembubaran HMI bergema diberbagai forum pemuda.
Pertarungan antara kubu HMI versus CGMI kian memanas. HMI tegas mengatakan tidak terlibat dalam peristiwa makar apapun dan bahwa HMI adalah organisasi independen. Sementara PKI dan CGMI semakin memojokkan HMI sebagai anak Masyumi dan Kontrarevolusioner.HMI berjuang mati-matian memertahankan diri dengan berpegang pada nilai-nilai Pancasila.
Kisah pertarungan ini dikemas dalam buku “HMI 1963-1966: Menegakkan Pancasila di Tengah Prahara” ditulis oleh M. Alfan Alfian. Alfian mesdeskripsikan dengan apik bagaimana HMI dapat terbebas dari tuduhan CGMI dan mampu survive hingga akhirnya menjadi pemenang dan dapat bertahan hingga kini.
Baca Juga:
- Jokowi Under Cover dan Paradigma Ilmiah
- Menyikapi HMI dan PMII di Muktamar NU ke 34
- Secangkir Kopi Filsafat
Dibeberapa organisasi gabungan HMI tersingkir perannya seperti di MMI (Majelis Mahasiswa Indonesia) yang merupakan wadah nasional organisasi intra-universitas, akibatnya beberapa pengurus Dema (Dewan Mahasiswa) dituntut untuk dibekukan karena ada unsur HMI yang dianggap tidak revolusioner dalam hal ini Dema UI dan ITB. Di PPMI (Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia) sebagai wadah nasional organisasi ekstra-universitas HMI dipecat keanggotaannya pada 21 Oktober 1964.
Beberapa kongres PPMI berubah menjadi ajang pembubaran HMI dengan meneriakkan yel-yel “Ganyang HMI”. Dalam rapat umum CGMI, pembubaran HMI menjadi grand issue, misalnya pada 29 September 1965 di Stadion Senayan yang di hadiri lebih dari 100.000 anggota, juga hadir Bung Karno dan Waperdam Dr. Leimena.
Dalam rapat umum tersebut Aidit menyatakan “mengapa Masyumi/GPII telah dibubarkan, HMI tidak dibubarkan? Kalau tidak dapat membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung”(hal 85). Tapi bung Karno masih bergeming untuk membubarkan HMI malah beliau menyatakan “Go ahead HMI”.
Dalam upayanya, HMI mengkonsolidasikan semua elemen Islam untuk memberikan dukungan, berdiplomasi dengan Bung Karno sebagaimana dilakukan oleh para petinggi HMI. Dahlan Ranuwiharjo dan Mar’ie Muhammad adalah tokoh alumni HMI yang kerap berdiplomasi dengan Bung Karno. Sementara Sulastomo sebagai ketua PB periode 1963-1966 bergerilya untuk mensolidkan ditingkat kader mulai dari komisariat, Badko, cabang hingga pengurus PB sendiri.
Upaya diplomasi juga dilakukan oleh orang luar yang simpati dengan HMI diantara KH. Zaifuddin Zuhry salah satu tokoh NU yang sedang menjabat menteri agama waktu itu, Syarif Tayeb selaku menteri PTIP juga menolak pembubaran HMI. Dari kalangan tentara Angkatan Darat Jendral Ahmad Yani menolak pembubaran HMI.
Kalangan mahasiswa yang tergabung dalam Gemuis (Gerakan Muda Islam) bergerak membela HMI. Yang mana didalamnya terlibat IMM, pemuda Ansor dan PMII. Gerakan ini muncul sebagai penentang terhadap isu-isu pembubaran HMI. Mereka aksi di jalanan dengan spanduk bertuliskan “Langkahi Mayatku Sebelum Ganyang HMI”. Mereka semua solid.
Akhirnya diplomasi dengan Bung Karno membuahkan hasil, ia mengeluarkan keputusan KOTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi) pada 15 September 1965. Melalu kebijakan ini diputuskan bahwa HMI tidak dibubarkan tapi dibina dalam hal ini dipasrahkan pada menteri Luar Negeri, Roeslan Abdulgani.
Dalam pembinaan itu ada beberapa hal yang harus disepakati oleh HMI yaitu bahwa HMI setuju dengan Manipol Usdek, setuju dengan pancasila dan setuju dengan sosialisme Indonesia. HMI menyepakati itu semua. Bagi Agussalim Sitompul kata sepakat ini merupakan bagian dari meyakinkan penguasa terutama Bung Karno (hal 223).
Berkaitan dengan Peritiwa Utrecht, Bung Karno mengeluarkan Inpress No 8/1964 bahwa unsur-unsur kontra revolusi harus dibersih dari tubuh HMI jika HMI adalah bagian dari alat revolusi. Maka HMI membentuk Dewan penasehat dan pertimbangan yang diketuai oleh Dahlan Ranuwiharjo, beberapa anggotanya Ir. Sanusi (Dirut sebuah BUMN), Ismail Raharjo (Jaksa Tinggi DKI) dan Brigjen A. Tirto Sudiro. HMI harus membuat laporan berkala pada presiden, yang perama di buat pada Tahun 1964 dan 1965. Pada laporannya yang ketiga Sukarno menerima bahwa PB HMI telah menjalankan instruksinya.
HMI berdiri kuat, relasinya kian intim dengan berbagai elemen. Dengan sesama organisasi gerakan mahasiswa seperti dengan PMKRI, PMII, IMM, GMNI Osa-Usep (Osa Maliki-Usep Ranawijaya). Dengan organisasi besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah, yang tak kalah pentingnya dengan TNI, yang telah bekerja sama sejak penumpasan pemberontakan PKI 1948.
Awal kemenangan HMI pada 30 september 1965, yaitu pemberontakan di Madiun yang menyatakan keterlibatan PKI. PKI dikatakan terlibat dengan tiga bukti, 1) kehadiran Aidit dan suborganisasi PKI di lapangan udara Halim Perdanakusuma pada 1 Oktober 1965, 2) Dukungan PKI terhadap letkol Untung, 3) pengakuan Aidit dan Nyoto bahwa PKI memiliki peran utama dalam pemberontakan itu (hal 191).
Sejak itu CGMI yang mengendalikan PPMI diguncang oleh seluruh pemuda anti-PKI. Pada kongres PPMI ke VI tertanggal 29 Desember 1965 yang diikuti oleh seluruh mahasiswa ekstra-universitas bertekat membubarkan PPMI yang sudah tidak dapat dipertanggung jawabkan secara politis, organisatoris dan psikoligis.
Maka tepat pada tanggal 25 Desember 1965 HMI bersama beberapa organisasi mahasiswa lainnya yang disertai oleh menteri PTIP mendeklarasikan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) sebagai tandingan terhadap PPMI dan CGMI yang dinilai berbuat “serong”. KAMI berkoalisi dengan TNI untuk melawan PKI dan seluruh suborganisasinya.
TNI punya sentimen khusus dengan PKI setelah TNI diminta untuk direvolusionerkan dengan nafas komunisme, serta permintaan angkatan kelima dengan mempersenjatai petani. Jendral Ahmad Yani adalah orang pertama yang tidak setuju dengan usul ini. Sementara HMI dan organisasi Islam anti-PKI lainnya punya kepentingan menghapus ateisme yang diyakini dianut PKI. Maka bertemulah kepentingan KAMI dan TNI disini.
Kini HMI berdiri diatas angin dengan segala kekuatan koalisinya. Sementara CGMI dan PKI berada diujung tombak kehancuran. Pertarungan menghancurkan PKI terjadi diberbagai daerah, di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lebih-lebih setelah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) diberikan kepada Jendral Suharto.
Mayat tanpa kepala bergelimpangan, air sungai Berantas dan Bengawan Solo memerah oleh darah. Inilah untuk yang kedua kalinya HMI bersama tentara membasmi kekuatan PKI setelah pemberontakan PKI pada 1948 di tempat yang sama. PKI dan CGMI resmi dibubarkan melalui Tap No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan terhadap faham Leninisme-Marxisme di Indonesia. HMI is the champion!.
Yang bisa kita pelajari dari peristiwa ini adalah bagaimana menyatukan barisan perlawanan. Perlawanan yang solid akan mengalahkan musuh yang kuat. Bukti ini ada pada perjuangan HMI. Tanpa persatuan dari semua elemen, mungkin HMI saat ini hanya menjadi fosil yang membatu. Jika kita mampu mempelajari sejarah ini dengan cara demikian maka akan sesuai dengan harapan penulis buku ini, dan buku ini tak hanya menjadi buku cerita kepahlawanan. Tetapi menjadi sumber inspirasi bagi gerakan mahasiswa kedepannya.
Namun demikian agar sejarah ini betul-betul Komprehensif dan tak berat sebelah. HMI perlu menjawab mengapa pada kongres ke-V HMI di Medan menuntut Islam dijadikan dasar negara. Alfan Alfian tidak menjelaskan secara jujur pada fenomena ini. Ia hanya memotret satu sisi bahwa hanya terpengaruh oleh suasana politik.
Alfian tidak masuk pada akar persoalannya, padahal ini yang menjadikan alasan kesekian mengapa HMI diidentikkan dengan underbow Masyumi. Kemudian menjalar dengan pecahnya HMI Dipo (asas pancasila) dan HMI MPO (asas Islam). Ini menjadi indikasi seakan-akan akar radikalisme dan anti pancasila memang ada ditubuh HMI waktu itu.
Dan yang tak kalah pentingnya sebagai usulan jika memang HMI terlibat dalam pembasmian PKI baik 1948 maupun 1965, mestinya HMI menjadi organisasi pertama yang harus menjelaskan bagaimana sebenarnya relasi kekuasaan dengan praktek pembunuhan yang terjadi waltu itu. Agar bangsa ini terbebas dengan beban sejarah, tentu klarifikasi HMI akan memperkuat rekomendasi Komnas HAM tentang pelanggaran HAM pada 1965 yang ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Penyelesaian kasus HAM secara budaya sebagaimana yang ditawarkan Sulastomo (hal 99) tidak akan menyelsaikan masalah. Dan bangsa akan selalu berada dalam ancaman pelanggaran HAM. Selamat berjuang kawan HMI, hidup Mahasiswa!
0 Komentar