Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi gerakan mahasiswa. (Foto: Pinterest) |
Mazhabkepanjen.com - Siapapun akan “mengangguk” jika ada pernyataan “masa depan pemuda adalah masa depan bangsa”. Keyakinan ini telah terpatri abadi di hati para penggagas kebebasan. Sokrates pun (470 SM) memilih memulai menggugah pemuda untuk membebaskan rakyat Yunani dari mitos yang membunuh potensi manusia untuk berkembang dan maju demi mencapai masa depan yang memanusiakan.
Hal serupa dilakukan oleh Sukarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan semua Founding father bangsa ini, yang sepenuhnya berharap pada pemuda untuk jadi jawaban persoalan bangsa dimasa depan.
Pemuda khususnya Mahasiswa, sebagai harapan masa depan, tidak hanya ditinjau dari perspektif usia mereka yang lebih mungkin (tanpa bermaksud melawan takdir). Tetapi juga posisi mereka, meminjam bahasa Soe Hok Gie, sebagai the happy selected few yang dilengkapi dengan perangkat-perangkat ilmu pengetahuan yang didapat di bangku kuliah, menjadikan mereka sebagai segelintir pemuda yang beruntung sekaligus berbeda dengan pemuda pada umumnya.
Mereka mendapat pendidikan yang lebih intensif yang dipandu oleh orang-orang pintar berpengalaman (dosen). Tentu mereka punya pemahaman sosial yang lebih sistematis, daya kritis yang lebih ilmiah dsb. Sebagai konsekuensinya, wajar jika mahasiswa disebut agent of intellectual, agent of change dan agent of control. Sungguh sangat ideal posisi dan peran mahasiswa dalam bernegara ini.
Tapi tahukah kita bahwa mahasiswa tidak lahir dan besar diruang hampa. Tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka “disusui”, “diasuh” serta “dibesarkan” oleh lingkungan sekitar.
Apa yang mereka lakukan adalah apa yang dilakukan oleh masyarakat sekitar dan yang dibicarakan adalah apa yang dibicarakan oleh lingkungan. Ini oleh John Locke disebut sebagai tabularasa dimana manusia laksana selembar kertas kosong yang diisi dan “diorat-oret” oleh masyarakat sebagai perwujudan darinya.
Style mahasiswa dalam berpolitik, bersosial dan berbudaya adalah memotret apa yang terjadi dan yang dilihatnya. Karl Mannheim menegaskan bahwa kondisi politik, sosial, budaya dan ekonomi yang dibawa oleh pemuda di masa akan datang adalah “reingkarnasi” keadaan bangsa saat ini (Miftahuddin, 2004 :3). Benarkah demikian?
Dalam
arena percaturan pendidikan klasik, ada berbagai aliran pendidikan yang
merumuskan faktor terkuat yang membentuk manusia. Pertama, Nativisme yang
dimotori oleh Arthur Schopenhauer yang mengatakan bahwa prilaku manusia
dibentuk oleh gen keturunannya, sehingga anak orang baik secara otomatis akan
menjadi baik, sebaliknya anak orang tidak baik akan menjadi tidak baik
pula.
Kedua, Empirisme oleh John Locke mengatakan bahwa manusia pada dasarnya dibentuk oleh lingkungan sekitar, orang menjadi baik apabila lingkungan dimana ia hidup juga baik, sementara lingkungan tidak baik akan melahirkan generasi yang tidak baik pula.
Baca Juga:
Ketiga, Konvergensi oleh William Stern yang merumuskan bahwa antara lingkungan dan gen sama-sama punya pengaruh dalam membentuk sikap manusia. Jadi anak baik bukan semata-mata kerena ia keturunan orang baik dan bukan semata-mata dibentuk oleh lingkungan tetapi dibentuk oleh keduanya (Indrakusuma, 1973: 82-87).
Lantas, bagaimana dengan karakter gerakan mahasiswa? faktor apa yang dominan? gen, lingkungan atau keduanya? Lalu, Apakah demo anarkis adalah pembawaan lahir dari mahasiswa atau memang ada yang membentuk? Apakah desentralisasi gerakan mahasiswa terjadi dengan sendirinya atau sengaja didesign? Pada konteks ini penulis tidak bermaksud untuk memperdebatkan aliran-aliran pendidikan diatas ataupun membuat aliran baru.
Penulis ingin menghadirkan rangkaian gerakan mahasiswa yang ternyata memiliki persamaan karakter dengan kondisi lingkungan dimana mahasiswa melakukan gerakan, khususnya di Indonesia. Hal itu mengingat kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang fluktuatif.
Pada orde lama bernuansa sosialis, orde baru cendrung sentralistis-otoritarian dan reformasi yang desentralistis. Maka peta dan gejolak gerakan mahasiswa tidak dapat dipisahkan dari tangga kondisi sosial yang terjadi itu.
Dalam asuhan Orde Lama
Setelah Nagasaki dan Hirosima dibumihanguskan oleh sekutu, terjadi vacuum of power di Indonesia, situasi ini menjadi ajang penting bagi partisipasi mahasiswa dalam merebut kemerdekaan. Mereka mendorong Sukarno untuk memanfaatkan momen itu untuk melakukan proklamasi.
Bagi mahasiswa pilihan Sukarno untuk melakukan lobbying dengan Jepang agar memperoleh hadiah kemerdekaan akan menunda kemerdekaan yang sudah didepan mata, atau bahkan hanya menjadi janji kosong. Para mahasiswa yang terkonsentrasi di asrama Menteng 31 mendesak Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan (Suharsih & mahendra, 2007: 62).
Tekat mahasiswa untuk merebut kemerdekaan bukanlah ide spontan yang muncul tanpa sebab dan tanpa gambaran dari lingkungan sosialnya. Semangat mahasiswa adalah penjelmaan dari semangat rakyat yang telah lama bergejolak ingin menghirup udara segar kemerdekaan.
Baca Juga:
Rakyat, jauh hari sebelumnya, telah membentuk lingkungan dengan menyemai semangat nasionalisme untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Keberanian mahasiswa adalah pantulan gejolak semangat kemerdekaan yang telah bersemi sejak Budi Utomo berdiri 1908.
Sejak sumpah pemuda diikrarkan 1928, dan setelah elemen-elemen organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan: Jong Java, Jong Ambon, Jong Minahasa, Jong Sumatranenbon dll bersatu dalam “Indonesia Muda” pada 1930 untuk mengusir penjajah. Ini adalah gambaran lingkungan yang ditangkap oleh mahasiswa sehingga mereka berprilaku sebagaimana semangat rakyat.
Setelah kemerdekaan berhasil direbut, selanjutnya adalah perjuangan mengisi dan mempertahankan kemerdekaan. Demokrasi liberal (1950-1957) menjadi salah satu sistem bernegara yang ditawarkan pada bangsa ini. Demokrasi liberal menghadirkan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi rakyat, menjadikan parpol merebak bagai jamur dimusim penghujan.
Tidak hanya merebak, beberapa parpol kemudian melakukan diaspora yang berimplikasi pada terkoyaknya kondisi gerakan mahasiswa. Pecahnya Masyumi menjadi beberapa partai seperti Perti, PSII dan NU merembet pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Padahal sebelumnya partai Islam ini berkomitmen, yang dikenal dengan “Ikrar 7 November 1945”, bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai Islam. HMI pun demikian, dalam kongres muslimin II di gedung Seni Sono Yoyakarta pada 20-25 Desember 1949 yang selanjutnya disebut “perjanjian Seni Sono”, menyatakan bahwa “hanya satu organisasi mahasiswa Islam Indonesia yaitu HMI”.
Tetapi faktanya HMI memilih bersikap seperti induk ideologinya yang juga pecah, diantaranya: Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMI) ikut PSII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ikut NU, Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) ikut golongan modernis dst.
Hal serupa ketika ditubuh Partai Nasional Indonesia (PNI) juga pecah antara kubu Ali Sastromijoyo dan Surahman (yang kemudian disingkat PNI Asu) versus PNI kubu Osa Maliki dan Usep Ranawijaya (yang disingkat PNI Osa-Usep).
Dalam pertentangan ini PNI Asu dituduh komunis oleh PNI Osa-Usep, sementara PNI Asu menuduh PNI Osa-Usep mengkhianati asas marhaen yang menjadi jiwa dari PNI sejak dipimpin Sukarno. Maka gejolak juga terjadi di tubuh Gerakan Nasional Mahasiswa Indonesia (GNMI) selaku underbow dari PNI, ia pecah antara GMNI Asu yang pro Sukarno dan GMNI Osa-Usep yang kemudian pro militer (Suhawi, 2009: 135-144).
Kepingan puing-puing gerakan ini, oleh mentri pendidikan Syarif Tayeb dikumpulakn dan dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1965. KAMI lahir sebagai bentuk perlawanan terhadap rival ideologinnya yaitu komunis dalam hal ini Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) selaku underbouw Partai Komunis Indonensia (PKI).
Pertentangan itu senada dengan rivalitas Partai-partai Islam dan Militer dengan PKI. Dengan isu “ateis” dan upaya kudeta, PKI diserang secara fisik maupun nonfisik oleh lawan politiknya. Sehingga terjadilah pembantaian paling tidak manusiawi di bumi pertiwi ini.
Dengan isu yang sama, organisasi gerakan mahasiswa yang tidak sejalan dengan komunisme mendakwah CGMI sebagai kafir dan generasi pemberontak. Sementara militer selalu siap mendukung keputusan KAMI yang bertekat memblokade CGMI-PKI yang dinilai melakukan makar. Militer ternyata jengah dengan PKI karena usulannya terhadap Sukarno untuk membentuk angkatan kelima dengan mempersenjatai petani.
Ini sama artinya tidak percaya bahkan meremehkan tentara. Disharmoni ini berujung pada dibubarkannya PKI dan ideologinya melalui TAP MPR No XXV/MPRS/1966 (Sahdan, 2004: 115). Artinya CGMI juga ikut terkubur bersama induknya.
Hidup Bersama Suharto
Setelah Sukarno berhasil dilengserkan oleh Suharto maka sudah masanya bagi-bagi kekuasaan. Melalui rederessing, 13 orang Mahasiswa mendapat kue kekuasaan. Mereka adalah Fahmi Idris, Johny Simanjuntak, David Napitupulu, Mar’ie Muhammad, Liem Bian Koen, Soegeng Sarjadi, Nono Anwar Makarim, Yozar Anwar, Cosmas Batubara, M. Zamroni, M. Hatta Musthofa dan Slamet Sukirman (Suharsih & Mahendra, 2005: 76).
Pemandangan ini membuat Soe Hok Gie kecewa dengan ketulusan mahasiswa sebagai pahlawan Ampera. Gie mempertanyakan idealisme mahasiswa jika perjuangannya harus diganjar dengan roti kekuasaan. Ternyata mereka bertindak tak ubahnya pejabat yang pernah dicaci dan dikecamnya. Gie menulis sebagaimana dikutip Daniel Dakidae dalam pengantar buku Catatan Seorang Demonstran:
"Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga, mereka korupsi, mereka berebut kursi, rebut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula. Tetapi sebagian dari mereka jujur." (Gie, 2007: 19)
Kemesraan Suharto dengan mahasiswa ternyata tidak berlangsung lama karena ternyata mahasiswa diposisikan sebagai sebatas pemenangan voting dilegislatif agar agenda Suharto mendapat suara mutlak di DPR (Hasibuan, 2008: 63). Setelah itu Suharto gencar melakukan penanaman modal asing pada rentang 1974-1978 untuk pengerukan kekayaan alam Indonesia.
Suharto menjadi begitu gigantis dan otoriter dalam mengambil kebijakan. Melalui militer ia meredam setiap suara kritis mahasiswa yang menolak penanaman modal asing. Mahasiswa tak lagi punya porsi untuk memberi masukan terkait penanaman modal asing yang merugikan negara dan rakyat. Maka mahasiswa mengambil langkah ekstraparlemen pada momen Malari (15 Januari) 1974.
Ketika perdana mentri Jepang, Tanaka, datang ke Indonesia untuk menanamkan modal asing. Mahasiswa mengamuk di ibu kota sekitar 807 mobil, 187 motor buatan Jepang dan 144 gedung dirusak dan dibakar, 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko, 9 orang meninggal dunia, seratus lebih cedera dan 820 orang ditangkap (Sulistyo, 2002: 83).
Untuk meredam perlawanan mahasiswa yang dinilai brutal, diterbitkan surat keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan, Nugroho Notosusanto, No. 028/U/1974 yang memberi dorongan pada Rektor dan Dekan untuk melakukan pembinaan moral. Tetapi upaya ini tidak berhasil.
Kebijakan itu lalu diperkuat dengan mengeluarkan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) melalui menteri pendidikan dan kebudayaan Daud Yusuf, yang dituangkan dalam SK kementrian pendidikan dan kebudayaan No. 0156/V/1978 bahwa aktifitas politik mahasiswa dalam kampus adalah tidak sah.
Serta intruksi Dirjen DIKTI No.002/DK/Inst/1978 yang menempatkan semua aktifitas mahasiswa dibawah kontrol Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III disetiap fakultas. Gerakan Dewan Mahasiswa (Dema) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang sebelumnya kritis menjadi terbekukan. Sejak itu mahasiswa bagai kerbau dicocok hidungnya kembali ke kampus dan berpacu dengan rutinitas akademis seperti seminar, olahraga, lomba, dan kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan kontrol pada pemerintah.
Suara lantang hampir tak terdengar lagi dari mahasiswa, menjadi senyap-sesenyap suasana sosial-politik Orba. Ancaman penculikan dan petrus (penembakan misterius) menjadi teror paling mengerikan bagi mahasiswa. Mereka bersembunyi ketakutan dibalik nuraninya yang memberontak tak menerima keadaan yang penuh tiran.
Untuk melanggengkan kekuasaannya, Suharto memaksimalkan apa yang disebut Represif State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA) (Althusser, 2010: 18-24). Ia menguasai ABRI, seperti dikendalikannya Pangkostrad pimpinan Soemitro, serta beberapa jendral besar dijadikan Asisten pribadinya (Aspri) yang dipimpin oleh Ali Mertopo. Bahkan beberapa jendral yang belakangan mencalonkan sebagai presiden, Wiranto dan Prabowo, adalah bekas “kaki tangan” Suharto.
Diwilayah ISA, ia mengorganisir gerakan mahasiswa kedalam KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) 1973 dan penerapan asas tunggal “pancasila” yang, melalui P4 (Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila), telah ditafsiri berdasarkan kepentingan Suharto. Sistem pendidikan dibentuk sentralistik, segala bentuk materi pelajaran harus melalui editing pusat.
Buku-buku yang dinilai membahayakan segera disensor, sehingga ada larangan menjual, membaca dan membawa buku berhaluan kiri. Dan ternyata lingkungan ala Orba mampu mengantarkan Suharto 32 tahun dikursi kepresidenan.
Mahasiswa bangkit setelah Asia dan Indonesia diterpa krismon (krisis moneter), setelah kelaparan, dan tindakan kriminal terjadi, dan ketika mahasiswa juga kena dampak “persoalan perut” itu. Mahasiswa berduyun-duyun menuju gedung DPR dan Istana negara menuntut agar Suharto dan krunya mundur serta harus diadili.
Massa yang begitu banyak berhadapan langsung dengan tentara loyalis Suharto, sehingga terjadi gesekan mahadahsyat yang melahirkan kejadian-kejadian monumental sebagaimana diukir dalam sejarah perjalanan bangsa ini, sebut saja tragedi Semanggi I dan II dan tragedi Trisakti dimana mahasiswa mencapai satu bentuk pengorbanan yang paling hakiki dalam hidup dengan direnggutnya nyawa satu-satunya oleh peluru panas tentara.
Berikutnya adalah lengsernya Suharto, yang sekaligus membuka kran demokrasi yang sudah berkarat. Bangsa ini terasa melakukan kemerdekaannya yang ke-2, karena kebebasan berekspresi, berpendapat dan berserikat dapat dilakukan. Maka lahirlah apa yang disebut reformasi.
Centang Perenang Reformasi
Orang-orang menyebut peristiwa itu sebagai reformasi bukan evolusi dan bukan revolusi. Reformasi berarti pengaturan ulang dengan memilih yang masih baik dan mengesampingkan yang sudah tidak layak. Reformasi tidak membuang total orang-orang orde baru tetapi diseleksi melalui mekanisme demokrasi.
Sebagian dari mereka diberi kesempatan untuk kembali berkiprah dikepemerintahan negara. Sayangnya ukuran yang dapat menjamin bahwa kader orde baru yang dinilai baik masih layak memimpin hanya berdasarkan pandangan umum.
Tidak ada kepastian yang detail, akhirnya semua merapikan diri dan cuci tangan dari “kotoran-kotoran” orde baru. Setumpuk “kebejatan” yang dilakukan pada Orba menjadi tertutupi, seakan tuntas dibayar dengan mundurnya Suharto dari tahta kepresidenannya. Sungguh tidak bijak!
Mak wajar jika pola-pola manipulasi, kolusi, nepotisme dan permainan suap ala Orba tetap tidak bisa dihilangkan. Reformasi dan demokrasi menjadi full of lie, menjadi sebatas “demokrasi kertas” yaitu demokrasi sebagai sederet hak dasar yang hanya tergurat diatas kertas tetapi tetapi tidak pernah memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat (Adian, 2006: 29). Janji demokrasi dikalahkan oleh atas nama kebersihan dan kerapian kota, maka digusurlah para PKL dan asongan tanpa alternatif.
Desentralisasi yang dijanjikan oleh reformasi ternyata bukan pemerataan keadilan, tetapi pemerataan korupsi. Buktinya 173 kepala daerah kota dan provinsi tersangkut kasus korupsi, dan 70% dari jumlah itu dinyatakan bersalah (Jawapos, 17/4/ 2012: 4).
Tentu kita ingat beberapa kepala daerah yang terjerat hukum karena korupsi, sebut saja Agusrin M Najamuddin gubernur Bengkulu, Muchtar Muhammad Walikota Bekasi, Bupati Buol Amran Batalipu, Thaib Armaiyn Gubernur Maluku Utara dst.
Fakta itu secara langsung atau tidak akan menjadi sebentuk ketidak percayaan terhadap partai. Parpol seakan gagal mencetak pemimipin yang jujur dan bertanggung jawab. Parpol terkooptasi pada yang instan dan pragmatisme jabatan.
Siapa punya massa besar akan dilamar untuk dicalonkan dalam kontestasi pemilu. Wajar jika para artis dengan jutaan fans duduk dipanggung politik. Namun setelah terpilih hanya terdiam mengantuk disidang-sidang pembelaaan hak rakyat. Mereka kurang mengerti bagaimana menyelamatkan rakyat dari “tikus-tikus” negara yang tengah berkerumun dimeja DPR.
Maka loloslah anggaran studi banding keluar negeri, yang ternyata banyak mengecewakan karena tidak membawa hasil yang maksimal. Maka disepakatilah dana DPID yang ternyata disalah gunakan untuk kantong pribadi DPR.
Panorama centang perenang reformasi itu ternyata banyak di-copy paste oleh mahasiswa. desentralisasi diadopsi menjadi tidak tidak solidnya berbagai organisasi gerakan mahasiswa. Masing – masing organisasi kemahasiswaan ingin tampil sendiri dengan mengandalkan kekuatan sendiri.
Organisasi ekstra mahasiswa seperti HMI, PMII, GMNI, KAMMI, PMKRI, IMM dsb terjebak pada kepentingan sektoralnya: image baik dari masyakat. Akhirnya mereka mudah diprovokasi dan diadu domba. Dimedan aksi antar organisasi mahasiswa sering terjadi bentrok, dan memililih aksi seporadis.
Bahkan demonstrasi atas kenaikan BMM pada 2012, gerakan mahasiswa terpetak-petak kekuatannya, sehingga isu penggulingan terhadap presiden sangat tidak mungkin terjadi karena massa tidak solid. Bahkan demo mahasiswa terkesan hidup mati-hidup mati, sekarang demo besok istirahat, besok demo lagi (Kompas, 19/4/12).
Di kampus, bentrok antar mahasiswa juga terjadi hanya karena perbedaan latar belakang seperti yang terjadi di Sulawesi diantaranya Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Universitas Islam Makassar (UIM), Universitas Hasanuddin (Unhas). Serta perebutan kader demi citra massa yang banyak seperti yang terjadi di Universitas Islam Malang (Unisma) antara PMII dan HMI, di Universitas Muhammdiyah Ponorogo antara HMI dan IMM.
Organisasi gerakan mahasiswa “silau” melihat mahasiswa baru yang cukup vokal bicara, sehingga sering diperebutkan untuk dijadikan aset dalam memancing mahasiswa yang lain. Ini tak ubahnya parpol yang berkecendrungan meminang tokoh-tokoh yang punya popularitas.
Jika para pejabat korup, mahasiswa juga bisa korup. Jika DPR melakukan mark up anggran, mahasiswa juga bisa melakukan itu. Praktek korupsi sering dilakukan mahasiswa, modelnya bisa berbentuk meloloskan event tertentu, membayar ketidakhadiran dan suap untuk meloloskan proposal penelitian untuk meraih nilai skripsi yang tinggi terhadap dosen. Juga pencamplokan ide sering dipraktekkan oleh mahasiswa.
Misalnya jual beli skripsi di kios buku Taman Pintar Yogyakarta, hal serupa juga terjadi di Kwitang Jakarta pusat (Kompas, 22/11/11). Mark up anggaran terjadi pada saat mahasiswa dipercaya untuk menyelenggarakan suatu event.
Modusnya sederhana, setiap pembelanjaan untuk kepentingan acara selalu disertai bon kosong dari toko dimana mereka berbelanja, dengan begitu mereka dapat mengisi bon tersebut sesuai kebutuhannya. Tentunya diisi dengan harga yang jauh lebih mahal dari harga aslinya, sehingga sisanya bisa masuk dompet pribadi.
Hedon ala kelas menengah
Belakangan Indonesia diidentifikasi sebagai salah satu negara yang mengalami peningkatan kelas menengah. Hingga jelang akhir 2011 kelas menengah mencapai 50% dari total penduduk (Kompas, 8/6/12). Sementara karakter dari kelas menengah ini adalah pertama lebih nyaman antri mengejar diskon pakaian dan barang elektronik di mall daripada membangun kekuatan untuk menegakkan pilar demokrasi.
Kedua, mereka apatis tidak mau ribet dengan persoalan hak asasi dalam berdemokrasi, sudah ada negara yang mengaturnya. Ketiga, Mereka memilih untuk pragmatis, selama kebijakan tidak merugikan mereka tidak akan bergerak melawan.
Maka potret mahasiswa juga dipengaruhi oleh pola hidup kelas menengah. Mahasiswa juga berlomba-lomba untuk mendapat gatget terbaru, fashion terbaru, jenis mobil mewah dst.. Kampus tak lagi menjadi tempat mengasah daya kritis tetapi menjadi ajang pamer aksesoris dan kekayaan.
Mahasiswa memilih apatis dengan peristiwa yang tidak menyentuh dirinya. Mereka memilih diam melihat fenomena penggusuran pasar tradisonal, diam melihat pendidikan yang begitu mahal karena dirinya sudah berhasil masuk kampus. Mereka tidak perlu mempertanyakan lagi upaya sterilisasi kampus dari koruptor yang notabeni menggunakan uangnya. Yang penting mereka happy. Kondisi ini menempatkan mahasiswa sebagai kelompok intelektual yang ber-idealisme lemah.
Tentu, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika lingkungan membentuk watak manusia, maka mari ciptakan lingkungan yang kondisif bagi para mahasiswa. Bangun iklim politik yang bermartabat, bermoral dan jujur. Tegakkan hukum sesuai prinsip equality before the law, karena negara ini adalah negara hukum.
Melemahkan hukum sama dengan ingin mengubur bangsa ini. Ciptakan gerakan komunikatif antar elemen gerakan sehingga terbangun solidaritas yang tangguh untuk menyongsong masa depan yang cerah, dan kubur dalam-dalam ego sepatisme karena tujuan kita sama untuk kesejahteraan rakyat. Lalu bumikan demokrasi substansial, yaitu demokrasi yang memusatkan pada kualitas hidup dengan menjamin akses pendidikan, kesehatan dan pekerjaan bagi semua (Adian, 2006: 87).
Kesimpulan
Pada dasarnya yang dilakukan manusia adalah apa yang pernah dilihat dan pernah dialaminya. Perjalanan panjang hidup ini adalah pantulan-pantulan lingkungan melalui kontekstualisasi sehingga tampak beda dengan yang dasarnya. Gerakan mahasiswa tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sebagai konteks dimana mereka melihat dan mendapatkan pengalaman.
Dimana mereka berfikir, merenung, berkreasi bahkan melawan. Gerakan-gerakan besar dan penting pun kekosongan gerakan yang dilakukan mahasiswa adalah pantulan dan penjelmaan dari lingkungan dimana mereka diasuh dan dibesarkan. Maka, meski tidak sepenuhnya menegasikan Nativisme Schopenhouer dan Korvengensi William Stern, pernyataan Empirisme Lock lah yang paling mungkin untuk mengilustrasikan bagaimana kondisi perlawanan mahasiswa, Prilaku mahasiswa tida jauh beda dengan kondisi sosial, politik, budaya dan ekonomi yang terjadi.
Semangat nasionalisme memantulkan soliditas gerakan mahasiswa, otoritarianisme memantulkan anarkisme, desentralisasi memantulkan semangat parsialitas gerakan, hedonisme memantulkan hedonis-hedonis dst.
Daftar pustaka
Adian,
Donny Gahral. (2006). Demokrasi Kami. Depok. Koekoesan.
Gie, Soe
Hok. (2011). Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES.
Hasibuan,
Muhammad Umar Syadat. (2008). Revolusi Politik Kaum Muda. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Indrakusuma,
Amir Daien. (1973). Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Miftahuddin.
(2004). Radikalisme Pemuda: PRD melawan Tirani. Depok: Desantara.
Suahrasih
& Mahendra K Ign. (2007). Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan
Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia. Yogyakarta: Resist Book.
Suhawi,
Achmad. (2009). Gymnastik Politik Nasionalis Radikal: Fluktuasi Gerakan
Mahasiswa Nasional Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Sahdan
S.Ip, Gregorius.(2004). Jalan Transisi Demokrasi: Pasca Soeharto.
Yoyakarta: Pondok Edukasi.
Sulistyo,
Hermawan. (2002) Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Suharto.
Jakarta: Pensil-324.
Sulistyo, Hermawan. 19/4/2012. Aksi Massa 1998 dan 2012. Kompas. Hal.6.
0 Komentar