Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi para pemikir Islam Peripatetik. (Foto: Pinterest) |
Mazhabkepanjen.com - Abed Al Jabiri dalam buku Formasi Nalar Arab, bagian III yang
membahas tentang nalar burhani menceritakan bahwa Al Ma’mun, khalifah Abbasiyah
ke-7, bermimpi seseorang yang duduk di tempat tidurnya. Lalu dia berdialog
dengan orang itu. Sosok itu ternyata mengaku Aristoteles, dengan perawakan
bijak dan konon, kepalanya botak, matanya biru, dan keningnya agak lebar.
Al Ma’mun bertanya
dalam mimpi itu, apakah yang disebut kebaikan? Aristoteles menjawab: kebaikan
adalah apa yang dipandang baik oleh akal. Apa lagi kata Al Ma’mun? Aristoteles
menjawab: apa yang dikategorikan baik oleh syara (tuntunan kitab suci). Apa lagi
kata Al Ma’mun? Aristoteles menjawab lagi: apa yang dipandang baik oleh jumhur
(ijtiad).[1]
Mimpi inilah
menurut Al Jabiri (walaupun masih diragukan kepastiannya) yang membuat Al
Ma’mun minta izin pada Kaisar Romawi untuk menggali buku-buku pra Islam,
termasuk karya Aristoteles. Yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Ini awal yang penting bagi lahirnya Islamic
Peripatetic Thinkers.
Masuknya Pemikiran Aristoteles
Istilah Peripatetik
berasal dari bahasa Yunani peripatētikos
(verb: peripatein)
berjalan berputar-putar.[2]
Konon, ini adalah cara Aristoteles saat mengajar para muridnya di sekitaran
gunung Olimpus.
Dari situ
orang-orang yang mempelajari dan mengikuti pemikiran Aristoteles disebut kaum
Peripatetik. Setelah masuk dalam bahasa Arab menjadi Masyaiyyah atau Masyaiyyun (kaum peripatetik). Masyaiyyah dari kata masya-yamsyi-masyan yang berarti berjalan.
Peripatetik sebelum
Islam muncul di sekitar Syria pada abad ke 4 dan 5 M, ada dua sekolah teologi
di situ: Edesse dan Nisibi. Para pembelajarnya adalah umat Nasrani. Banyak
karya-karya Yunani yang diterjemahkan ke dalam bahasa Syria. Karya logika
Aristoteles juga dipelajari, salah satu yang terkenal adalah kajiannya Porphyry
atas logika Aristoteles yang bejudul Isagoge. Buku ini dalam tradisi filsafat
Islam awal jadi pengantar menuju buku-buku logika Aristoteles. Berikut daftar
buku-bukunya:
Isagoge (al Isaghuji), Categoriae (al maqulat), De Interpretation (al ‘ibarah), Analytica Priora (al qiyas), Analytica Posteriora (al burhan), Topica (al jadal), Sophistici Elenchi (al mugalitah), Rhetoric (al khitabah), dan Poetica (al shi’r)[3]
Tentu masih banyak buku-buku Aristoteles yang lain, termasuk buku Metafisika,yang juga diterjemahkan ke dalam bahasa Arba.
Baca Juga:
Ada kisah menarik
di sini, di dalam autobiografinya Ibn Sina mengakui kesulitan memahami buku Metafisika Aristoteles. Dia membacanya
hingga 40 kali, bahkan hampir hafal tetapi tidak paham. Ibn Sina pun menyerah.
Lalu dia datang ke
suatu bazar buku, ada pelapak yang melelang buku tentang metafisika. Pelapak
itu memaksanya untuk membeli buku itu. Dibelilah buku itu seharga 3 dirham.
Buku tersebut berjudul Objek-Objek
Metafisika yang ditulis oleh Al Farabi. Di buku itulah Ibn Sina menemukan
jawaban soal-soal metafisika yang dipelajarinya selama ini.
Pada abad ke 6
ekspansi Arab di bawah kekhalifahan umayyah (661-750 M) ke Damaskus dan ke
seluruh Syria. Umat Kristiani hidup dibawah kekhalifahan Umayyah dan masih
mempelajari pemikiran Aristoteles dan Neoplatonis. Inilah mungkin mengapa penerjemah
di era awal Abbasiyah berasal dari kalangan umat Nasrani, misalnya Hunain bin
Ishaq.
Pada era Umayyah
sebetulnya sudah ditemukan penerjemahan teks Aristoteles yaitu atas karya yang
disebut karya Semu Aristoteles berupa
surat-suratnya pada Iskandar Agung (Alexander The Great), murid Aristoteles.
Buku itu dikenal dengan judul Sirr Al
Asrar atau Secretum Secretorum
(Rahasia dari Rahasia).
Lalu di era
Abbasiyah pada Khalifah Al Mansur (754-775 M),
khalifah kedua Abbasiyah, secara bertahap melakukan penerjemahan walaupun tidak
masif. Barulah memuncak proses penerjemahan ini di masanya Al Ma’mun (813-833 M), khalifah Abbasiyah ke-7. Yang
berlangsung selama kurang lebih 150an tahun. Era disebut oleh Philip K Hitti
sebagai era sangat penting dalam tradisi pemikiran Islam.
Terjemahan-terjemahn
itu disimpan dalam perpustakaan bernama Baitul Hikmah yang dikepalai oleh
Hunain bin Ishaq yang beragama Nasrani. Dia sekaligus yang paling banyak
menerjemahkan karya-karya Aristoteles ke dalam bahasa Arab, termasuk karya
Galen dan Hippokrates (dua tokoh kedokteran Yunani), Euclid dan Ptolomy
(matematikawan dan astronom).
Tak lama kemudian,
tokoh-tokoh besar dari disiplin matematika, astronomi, hingga kedokteran lahir
di peradaban Islam. Salah karya kedokteran terbesar yang lahir saat itu ialah Qanun fi Tibb yang ditulis oleh Ibn
Sina.
Penerjemahan menjadi
satu hal istimewa saat itu. Menurut Philip K Hitti, para penerjemah yang
berhasil memperoleh emas seberat dari hasil terjemahannya.
Al Farabi bercerita
dalam Fi Zuhur Al Falsafah (On The Apperance
of Philosophy) bahwa buku-buku Aristoteles setelah disistematisasi oleh
Andronikos dari Rhodos atas prakarsa kaisar Romawi maka dilakukan pengkopian.
Satu hasil kopian
dibawa ke Romawi dan hasil kopian lainnya dibiarkan di Aleksandria lalu dipindahkan
ke Antioch. Di situ ada dua orang yang berasal dari timur tengah yaitu dari
Harran atau Turki dan Marwa atau Turkmenistan yang belajar filsafat, belajar
logika.
Dari daerah Marwa
bernama Abu Yahya Al Marwazi. Dia memiliki dua murid Ibrahim Al Marwazi dan
Yuhana Ibn Hailan. Ibrahim Al Marzawi memiliki murid bernama Abu Bishr Mata Ibn
Yunus. Yuhana Ibn Hailand dan Abu Bishr Mata mengajar logika di Bagdad. Pada
dua orang inilah Al Farabi belajar logika.
Dari konteks sejarah
demikianlah, para pemikir Peripatetik Islam lahir, seperti Al Khindi, Al
Farabi, Ibn Sina, Al Ghazali, Ibn Rusd, Ibn Bajah Ibn Thufail, dst.
Pada para pemikir
Peripatetik ini filsafat Aristoteles dan neoplatonisme berpengaruh cukup besar,
mulai dari soal logika, politik, metafisika, jiwa (psikologi), hingga fisika.
Walaupun ada juga sebagian yang kembangkan, misalnya dalam bidang politik.
Dalam tradisi Yunani, politik lebih kepada merumuskan konsep negara, tetapi oleh
para pemikir Islam dipadu dengan nasihat-nasihat pada raja (Nasihah Al Mulk).
Dalam metafisika
misalnya, Ibn Sina dalam argumen ontologisnya memasukkan Wajibul Wujud (Necessary Being), Mungkinul Wujud (Possible Being), Mamnu’al Wujud (Impossible Being). Yang mana tiga wujud
ini tidak terlalu jelas dalam tradisi pemikiran Yunani Klasik.
Menariknya lagi,
para pemikir Islam cukup selektif mengadospi tradisi pemikiran Yunani.
Misalnya, soal politeisme Yunani sama tidak dipakai dalam pemikiran Islam.
Demikianlah selayang pandang awal bagaimana pemikiran Aristoteles dan Neoplatonisme masuk dan mempengaruhi para filsuf Islam awal.
Cara Menerbitkan Artikel di Mazhabkepanjen.com
*) Naskah dikirim ke email: mazhabkepanjen21@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak menayangkan artikel yang tidak
sesuia dengan kaidah dan filosofi Mazhabkepanjen.com
0 Comments