Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi manusia gurun. (Foto: Perjalanandiaz.com)
Mazhabkepanjen.com - Frasa "Manusia
Gurun" betul-betul menghabisi seorang rektor sekaligus profesor hari-hari
ini. Ada pertanyaan menarik sebetulnya atas frase itu: apa makna "ManusiaGurun"?
Apakah frase itu
diujarkan sebagai pernyataan performatif atau konstatif? Performatif berarti
untuk menghina, yang tidak peduli pada referennya. Karena pengujar lebih pada
maksud bukan acuannya. Sementara konstatif sebagai sebuah pernyataan yang
sebatas mengungkapkan acuannya, medeskripsikan atau menjelaskan sesuatu.
Jawaban atas pertanyaan
ini bisa dilihat dari konteks dan tentu saja penjelas dari si pengujar. Karena
apapun alasannya, pengujar adalah yang paling tahu tentang maksudnya
menggunakan istilah tersebut.
Sayangnya, dalam
diskursus yang mengemuka terutama di media sosial dan media online lainnya,
sang penulis telah dianggap mati (the
death of the author). Penulis tak bisa berbuat apa-apa atas frase yang
diujarkannya. Makna frase itu, makna dan maksudnya ditentukan oleh publik bukan
oleh pengujar. Karena itu lebih banyak yang menghakimi ketimbang yang bertanya pada
pengujar apa maksudnya?
Sebetulnya, ada satu
disiplin yang biasanya membedah problem bahasa macam ini yaitu linguistik
forensik, yang dalam rumpun linguistik masuk dalam kajian sosiolinguistik.
Dalam kajian makna
Tarskian, "Manusia Gurun" betul-betul bermakna jika dan hanya jika
mengacu pada manusia gurun. Dalam hal ini adalah orang-orang gurun. Yang
berarti semua orang di gurun, baik orang gurun yang ada di Timur Tengah maupun
yang ada di China dan daerah lainnya.
Apabila tidak ada orang
gurun maka frase itu tidak bermakna apapun, menjadi senseless. Senseless
berbeda dengan nonsense, nonsense itu omong kosong sementara senseless itu
suatu omongan hanya saja tidak bermakna karena tak punya acuan. Dari poin ini,
sebetulnya frase itu biasa saja. Tak ada yang patut dibuatnya marah, karena “Manusia
Gurun” hanya merepresentasikan orang-orang di gurun.
Baca Juga:
Tetapi jika dikaitkan
dengan situasi sosial yang lagi memanas akibat polarisasi politik maka
"Manusia Gurun" bisa bermaksud (bukan bermakna) mengejek orang-orang
yang selama ini seringkali mengkritik pemerintah, yaitu golongan oposisi.
Mungkin sahabat dari frase itu adalah "Kadal Gurun" yang sering
digunakan sebagai ledekan.
Nah, mana maksud yang
sesungguhnya? Seorang peneliti tidak bisa serta-merta menghakimi maksud ujaran
itu ke mana? Karena bisa jadi maksud dari pengujar bukan untuk meledek
sebagaimana pada "kadal gurun".
Untuk memastikan
maksudnya, perlu dilihat konteks, posisi pengujar dan psikologi sosialnya.
Dari sisi konteks
ujaran itu saya kira masih perlu diperdebatkan apakah benar itu suatu ledekan,
benarkah ada kasus rasis di situ? Jika iya, ras yang mana dan agama yang mana?
Katakanlah karena “gurun” berkaitan dengan tradisi Arab, maka berarti yang kena
sasaran rasis adalah orang Arab. Ini juga tidak tepat, gurun tidak hanya ada di
Arab, di China ada gurun.
Dari sisi pengujarnya
sekilas pengujar bukanlah sosok yang selama ini seperti Denny Siregar yang
memang kerap kali meledek orang orang yang sering bawa-bawa agama untuk hal-hal
sosial. Pengujar selama ini tak punya pretensi seperti Denny Siregar. Tetapi
ini perlu dibuktikan lebih lanjut.
Dari sisi psikologi
sosialnya, memang kita hari ini cukup sensitif dengan istilah “gurun” terutama
yang disandingkan dengan “kada”. Hal itu karena polarisasi politik sebelumnya.
Yang jelas, “Kadal Gurun” berbeda dengan “Manusia Gurun”.
Dugaan saya,
penghakiman pada sang profesor bukan dari sisi makna frase itu, juga bukan dari
posisi sang pengujar melainkan dari trauma sosial yang ada selama ini.
0 Comments