Oleh: Herlianto. A
Pesulap Merah dan Gus Samsudin. (Foto: Baliexpress) |
Mazhabkepanjen.com - Pesulap Merah mengacak-acak praktik
perdukunan Gus Samsudin. Berbagai trik dan kebohongan Gus Samsudin dibongkar
habis. Tak pelak, beberapa warga yang tersadarkan menggebrak Padepokan Nur Dzat
Sejati di Blitas, yang membuat padepokan itu ditutup sementara.
Yang menjadi persoalan, mengapa banyak
warga yang percaya dengan praktik perdukunan ala Gus Samsudin? Tentu saja, jika
ingin ditelisik lebih dalam bukan hanya Gus Samsudin yang melakukan praktik
tersebut, kita bisa jumpai orang-orang serupa di berbagai penjuru Indonesia.
Dan hasilnya benar kata Pesulap Merah,
kalau tidak bohong ya cabul. Dibrowsing aja sendiri, berapa banyak dukun cabul
yang kemudian ditangkap polisi. Dukun pebohong juga tidak kalah banyaknya.
Saya pernah punya cerita begini, tetangga
saya sakit agak parah. Dia termasuk orang percaya dukun. Datanglah ke dukun. Saat
pengobatan, si dukun berusaha menunjukkan kesaktiannya dengan menebak-nebak apa
yang ada di sekitar rumah sang pasien, tetangga saya itu.
Dia pertama menebak bahwa di samping
rumah pasien ada pohon pepaya. Kali ini tebakannya benar. Memang ada pohon
pepaya di samping rumahnya. Si pasien tambah yakin akan kesaktian dukun itu.
Hingga tiba pada tebakan ketiga, si dukun menebak bahwa di belakang rumah
pasien ada sumur.
Kali ini tebakannya meleset, karena
ternyata sumur pasien ada di depan rumahnya. Tak ingin malu dan kedoknya
terbongkar. Lalu si dukun bilang: “nah ini masalahnya yang membuat kamu sakit,
karena sumur itu tidak tepat ada di depan rumah, sumur harus ada di belakang
rumah,” kata dukun.
Sepulang dari dukun, tetangga saya yang percaya
dukun itu, langsung menutup sumurnya dan membuat sumur lagi di belakang
rumahnya. Tapi sayangnya, penyakitnya tetap saja tidak sembuh. Inilah satu trik
bohong praktik perdukunan.
Sialnya lagi, walaupun sudah tidak terhitung
jumlah orang yang tertipu dan dicabuli oleh dukun, tetapi masih ada saja warga
yang percaya pada dukun. Mengapa demikian? Seorang sosiolog asal Prancis,
August Comte menjelaskan bahwa memang pada awalnya masyarakat itu adalah naif.
Naif dalam hal ini, percaya hal-hal
mistik dan gaib meskipun itu hanya bohong. Di balik yang gaib dan mistik itulah
para dukun melancarkan aksi bejatnya. Tipe masyarakat yang demikian, tidak
menggunakan rasionalitasnya dengan tepat. Masyarakat jenis ini yang ingin
diperangi habis-habisan oleh Tan Malaka melalui bukunya Madilog.
Lalu beranjak pada tahap metafisik,
yaitu masyarakat yang percaya hal-hal spekulatif. Misalnya, percaya adanya
Tuhan, malaikat, surga dan neraka. Masyarakat jenis ini masih mendingan, karena
untuk membuktikan klaim metafisiknya, mereka harus menggunakan rasionalitasnya
dengan tepat. Menurut Comte, masyarakat jenis ini dihuni oleh para agamawan.
Lalu berikutnya, tahap positif yaitu
masyarakat yang melihat setiap peristiwa secara saintifik. Artinya, setiap
fenomena yang terjadi di semesta memiliki sebab-sebabnya yang bisa dijelaskan
dan dimengerti secara saintifik. Kalau sakit ya berobat ke dokter bukan ke
dukun.
Menga demikian? Karena saat sakit itu
ada gangguan tertentu maka mekanisme tubuh manusia. Mekanisme itu bisa
diperbaiki dengan mengonsumsi obat tertentu, tentu saja setelah melalui
pemeriksaan dokter. Sementara kalau ke dukun hanya ditiup-tiup dan berharap hal
gaib datang menyembuhkan sakit. Itu mustahil dan tak akan pernah terjadi.
Begitulah upaya Comte menjelaskan fenomena
mistik dalam kehidupan manusia. Tetapi persoalannya, pelanggan perdukunan itu
termasuk orang-orang yang sudah berpendidikan yang notabene sudah mengenali
hal-hal yang ilmiah dan tidak.
Mengapa mereka masih percaya? Menurut
saya yang membuat mereka percaya karena praktik perdukunan juga dikemas dengan
label agama. Bahwa si dukun memiliki kekuatan tertentu yang sesuai dengan agama
tertentu. Bahkan menggunakan bacaan-bacaan agama tertentu. Itulah yang membuat
pasien tidak berdaya di hadapan para mbah dukun yang sedang komat-kamit.
Pada agama ada ketundukan, terutama
mereka yang menjalankan agamanya dengan tidak ditopang oleh rasionalitas.
Orang-orang beragama tak akan banyak bertanya jika dukun mencatut nama sang
pencipta. Mereka pun pasrah.
Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh
Pesulap Merah dengan membongkar praktik perdukunan Gus Samsudin, setidaknya,
telah berupaya menggeser kehidupan masyarakat dari mode naif dan metafisik ke
mode positif.
Tak hanya itu, dia juga menunjukkan
bahwa untuk kesekian kalinya masyarakat tertipu oleh dukun yang mencatut label
agama tertentu.
0 Komentar