Oleh: Herlianto. A
Ibn Sina, salah satu filsuf Islam terkemua. Foto/mukisi.co |
Mazhabkepanjen.com - Banyak yang menganggap bahwa Ibn Sina, salah satu filsuf, saintis sekaligus teolog dalam tradisi Islam sebagai sosok yang jenius. Sekali belajar langsung bisa bahkan tanpa belajar. Anggapan ini keliru.
Ibn Sina bahkan harus membaca 40 kali karya Aristoteles yang berjudul Metafisika. Itupun belum paham. Tetapi dia adalah seorang pembelajar yang luar biasa. Kali ini kita akan belajar bagaimana dia belajar.
Sketsa Kecil Ibn Sina
Ibnu Sina memiliki nama lengkap Abu Ali al Husain Ibnu Abdullah Ibnu Hasan Ibnu Ali Ibnu Sina. Orang Barat memanggilnya Avicenna. Sebutan ini sebetulnya dari bahasa Latin. Dalam bahasa Latin Ibnu (anak) itu Aven. Jadi Aven Sina. Lalu entah bagaimana lidah orang Barat itu menggabungkan Aven dan Sina itu menjadi Avicenna.
Untuk menelusuri kisah hidup Ibn Sina, termasuk usahanya dalam belajar dan menghasilkan karya-karya besar, sudah ada banyak buku yang ditulis. Termasuk Ibnu Sina sendiri membuat semacam autobiografi singkat yang didektekan pada muridnya bernama Al Juzjani.
Saya sendiri mencoba menggabungkan dari berbagai sumber, di antaranya Avicenna, His Life and Works karya Soheil M Afnan, Three Muslim Sages karya Seyyed Hossein Nasr, dan Avicenna and Visionary Recital oleh Henry Corbin.
Ibn Sina lahir di sebuah desa bernama Kharmaitan pada Agustus 980. Tempat ini, hari ini, adalah Uzbekistan. Bapaknya yang bernama Abdullah berasal dari Balkh (Bactra dalam bahasa Yunani), yang tidak diketahui apakah dia berasal dari Turki, Persia atau Arab. Sedangkan ibunya bernama Setareh berasal dari Afsanah, Persia.
Baca Juga
Desa kelahiran Ibn Sina dekat dengan Bukhara, yang saat itu sebagai salah satu pusat ilmu selain di Bagdad, pusat pemerintahan Dinasti Abbasiyah yang kian redup.
Lingkungan Lahir Ibn Sina
Ibn Sina tumbuh di saat Dinasti Abbasiya sudah retak di abad ke-9 (747-842). Di mana lahir dinasti-dinasti kecil yang diinisiasi bangsa Turki dan Persia. Misalnya, yang diinisasi bangsa Turki ada Dinasti Ghaznawiyah (977-1186), Seljuk (1037-1157), dan Khawarizmiyah (1077-1231).
Sementara, yang oleh bangsa Persia di antaranya Dinasti Thahiriyah (820-879), Buwaihi (933-1055), Saffariyah (867-908), dan Samaniyah (819-999).
Nah, Ibn Sina punya kaitan dengan dinasti Samaniyah yang didirikan oleh Bani Saman. Karena bapaknya adalah seorang gubernur di Kharmaitan tempat lahirnya Ibn Sina. Dalam penggambaran Soheil Afnan, Kharmaitan ini adalah provinsi metropolitan, beragam agama ada di situ mulai Islam, Budha, Zoroaster, termasuk Kristen Nestorian.
Keterkaitan yang kedua, ketika salah satu amir atau pimpinan Dinasti Samaniyah yang bernama Nuh Ibn Mansur sakit dan tidak bisa disembuhkan oleh tabib istana, maka Ibn Sina dipanggil untuk mengobatinya. Dan, ternyata berhasil sembuh.
Salah satu hadiah yang diberikan ke Ibn Sina adalah masuk ke perpustakaan milik dinasti itu. Dan itu, sebagaimana diungkapkan dalam autobiografinya, Ibn Sina masuk ke dalam perpustakaan yang baru ditemukan dalam hidupnya. Ada begitu banyak karya, sains, filsafat, dan teologi yang ditata sangat sapi.
Di situlah dia melahap banyak ilmu pengetahuan melalui buku-buku tersebut. Jadi sebetulnya, kejeniusan Ibnu Sina juga disupport oleh lingkungan, ketersediaan buku bacaan yang cukup.
Terlebih, kita tahu bahwa dinasti Abbasiyah itu, yang mendahulu kehidupan Ibn Sina, sangat care dengan pengetahuan. Ada banyak terjemahan karya-karya fisuf Yunani di situ, terutama di The House of Wisdom, atau kita menyebutnya Baitul Hikmah.
Ibn Sina Pindah ke Bukhara
Ibnu Sina bersama keluarga lalu pindah ke Bukhara. Bukhara adalah kota pesaing Bagdad dalam ilmu pengetahuan sama dengan Syiraz dan Isfahan. Jadi Bagdad saat itu sudah redup. Di usia 10 tahun Ibn Sina membaca Alquran, mungkin mengahafal dalam hal ini. Dia juga mempelajari prosa-prosa atau satra Arab.
Hingga datanglah seorang filsuf bernama Natili ke Bukhara. Orang ini disewa oleh Abdullah untuk mengajari Ibn Sina filsafat di rumahnya. Jadi Ibn Sina kursus filsafat. Ada beberapa buku yang dipelajari, di antaranya Isagogi karya Porphyry.
Isagogi ini adalah buku pengantar untuk mempelajari logika Aristoteles. Lalu Elements bukunya Eulid, buku matematika kuno yang sampai hari ini masih dibaca. Dan, Almagest karya Ptolomy yang membahas soal astronomi.
Saat mempelajari buku-buku ini, Ibn Sina begitu cepat memahami. Bahkan bisa memberikan pertanyaan-pertanyaan yang melampaui sang guru. Bahkan gurunya pusing untuk menjawabnya. Akhirnya, atas beberapa pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab itu, dia melakukan perenungan sendiri.
Kadang, jika tidak menemukan jawaban dalam perenungannya, dia bermunajat kepada Tuhan. Lalu saat tidur dia mendapat jawaban melalui mimpi. Ketika itu dialami, esok harinya Ibn Sina bersedekah sebagai wujud terimakasih atas anugerah ilmu yang diberikan Tuhan.
Di usia 16 tahun Ibn Sina telah menguasai logika, matematika dan ilmu alam atau fisika. Ilmu alam waktu itu berbeda dengan fisika hari ini, saat itu fisika mempelajari gerak dari fisika ke metafisika. Hari ini kalau nyebut fisika maka metafisikanya tidak ada.
Pusing dengan Buku Aristoteles
Setelah itu, dia beranjak mempelajari metafisika. Di sini sesuatu terjadi. Ketika dia membaca buku Aristoteles yang berjudul Metafisika. Dia tidak paham, dia membaca hingga 40 kali, hafal, tapi tidak paham.
Bayangkan sekelas Ibnu Sina membaca buku hingga 40 kali. Barangkali kita 3 kali saja sudah nguap-nguap. Dia pun menyerah dan menganggap buku itu tak bisa dipahami.
Suatu hari dia datang ke sebuah bazar buku, lalu ada orang menawarkan buku berjudul Objek-Objek Metafisika. Ibn Sina menolak, dia menganggap metafisika tidak bisa dipahami.
Tetapi karena harganya murah dibelilah buku itu lalu dibaca. Begitu dibaca dia terbuka pikirannya, misteri yang dialami saat membaca buku Metafisika Aristoteles terjawab.
Buku itu adalah syarah atau komentar terhadap buku Metafisika Aristoteles yang ditulis oleh Al Farabi, salah satu filsuf Aristotelian atau beraliran Peripatetik yang mashur sebelum Ibn Sina.
Atas pencapaian itu, Ibnu Sina girang bukan kepalang. Dia kembali bermunajad pada tuhan, dan bersedekah pada fakir miskin sebagai wujud syukurnya.
Apakah setelah itu Ibn Sina berhenti belajar? Tidak, dia terus belajar setiap malam. Bahkan, ketika diserang rasa ngantuk dia meminum anggur, lalu kemudian melanjutkan lagi belajar.
Mulai Menulis
Ibn Sina mulai menulis pada usia 21 tahun. Karya-karya awal Ibn Sina, konon karena diminta orang untuk menulis, di antaranya ada Al Majmu, sebuah ringkasan bacaan dia. Al Hasil Wal Mahsul, soal yurisprudensi Islam, Al Birr wa Al Ithm soal etika.
Kemudian Ibn Sina pindah ke Jurjan, dan dia sempat dipenjara karena menolak ortodoksi kerajaan.
Setelah keluar dari penjara, dia bertemu dengan orang yang menyukai sains. Ibn Sina diberikan rumah dan situlah dia menulis banyak karya di antaranya Al Mukhtasar Al Ausat, Al Mabda’ wal Ma’ad.
Dia kemudian pindah ke Hamadan, di situ dia menulis bagian Fisika dari buku As-Syifa. Ini salah satu bukunya yang sangat terkenal, orang barat menyebutnya The Book of The Healing, buku pengobatan. Isinya, logika, fisika, matematika, dan metafisika. Termasuk buku kedokterannya, Qanun fi Tibb prinsip-prinsip pengobatan.
Di Hamadan dia juga menulis buku untuk sang sultan Ali Ad Daulah yang berjudul Danish Nameeh ye Ala’i buku ini ditulis dalam bahasa Persia.
Lalu Ibn Sina pindah ke Isfahan, di sini dia menuntaskan buku As-Syifa dan menulis An Najad yang boleh dibilang ringkasan dari As-Syifa.
Adapun karya akhir Ibn Sina yaitu Al Isyarat Wal Tanbihat peringatan dan tanda. Buku ini berisi proposisi-proposisi filsofis yang sangat ketat, isinya hampir mirip dengan As-Syifa yaitu logika, fisika, metafisika, dan mistika. Hanya tak ada matematika.
Konon Ibnu Sina juga menulis filsafat timur yang berjilid-jilid tetapi buku itu disebutkan hilang. Hanya pengantarnya yang ditemukan yang berjudul Mantiq al Masriqiyyin, logika timur. Di bidang sastra Ibn Sina juga menulis misalnya Risalah At Thair, Hai Ibnu Yaqzan, dst. Karya ini dikomentari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Henry Corbin.
Itulah karya-karya besar Ibn Sina yang terus berpengaruh hingga hari ini. Ibn Sina meninggal di Iran pada Juni 1037.
Dari cerita ini kita tahu bahwa pengetahuan yang dimiliki Ibn Sina bukanlah durian runtuh. Tetapi melalui suatu usaha belajar yang sungguh-sungguh. Kesungguhan itu dapat kita lihat dari kesabarannya membaca satu buku hingga 40 kali, dan setelah dia menemukan jawaban atas persoalan pemikirannya, dia bersedekah. Suatu hal yang jarang kita temukan, tetapi Ibn Sina melakukannya.
0 Komentar