Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi Bharada Eliezer dan Ferdi Sambo, terdakwa pembunuhan Yoshua. Foto/Tribun |
Mazhabkepanjen.id
- Bayangkan begini, jika saya menendang bola. Lalu bola itu menggelinding
mengenai kaca dan pecah. Pertanyaannya siapa yang memecahkan kaca, saya atau
bola? Lalu coba Anda bayangkan pada kasus Ferdi Sambo.
Sambo menyuruh atau tepatnya memerintahkan Richard Eliezeruntuk menembak Brigadir Yoshua. Eliezer menembak lalu Yosua meninggal, maka
sebetulnya siapa yang membunuh Yoshua?
Jika menggunakan analogi bola dan kaca tadi, mestinya yang
membunuh Yoshua adalah Ferdi Sambo, atau bahasa yang biasa dipakai aktor
utamanya. Tapi benarkah demikian, karena bola dan Eliezer adalah dua hal yang
berbeda. Bola tanpa kesadaran sementara Eliezer adalah manusia yang
berkesadaran?
Lalu sejauh mana kesadaran Eliezer itu mendorongnya untuk menembak
Yoshua? Inilah yang dibahas oleh tiga ahli dalam sidang belum lama ini yang meringankan
Eliezer, di sidang itu hadir saksi ahli filsafat atau filsuf, Romo MagnisSuseno. Jarang sekali persoalan filsafat seperti ini dibawa ke persidangan. Baru
kali ini yang saya tahu. Lalu ada ahli psikologi klinis, Liza Marielly Djaprie,
dan ahli psikologi forensik, Reza Indragiri.
Ketiga ahli ini berusaha menunjukkan secara filosofis dan
ilmiah bahwa Eliezer hanyalah sebatas alat, Eliezer hanyalah bola yang
ditendang oleh Sambo untuk mengahabisi Yoshua. Kok bisa? Bagaimana Argumentasinya?
Sebab Langsung dan
Tidak Langsung
Sebelum itu, saya ingin sedikit bicara soal sebab-akibat
terlebih dahulu. Dalam filsafat ada banyak pembahasan soal sebab akibat, tetapi
yang paling cocok dengan kasus Sambo dan Eliezer ini adalah pembahasan sebab
langsung dan tidak langsung.
Jadi, kembali ke analogi awal tadi, ketika orang menandang
bola, kemudian bola menggelinding dan mengenai kaca lalu pecah. Maka, pecahnya
kaca adalah akibat, sebabnya orang yang menendang bola dan bola itu sendiri.
Bola disebut sebab langsung dan orang yang menandang disebut sebab tidak
lansung.
Jadi kalau sekilas dibandingkan dengan kasus Sambo. Sambo adalah sebab tidak langsung dan Eliezer adalah sebab langsung bagi tertembaknya Yosua.
Hanya saja yang saya tahu dalam hukum itu, yang dicari
adalah penyebab utama atau aktor intelektual, atau aktor-aktor yang memiliki
kesadaran. Jadi kalau ada orang membunuh menggunakan pisau, maka pisau tidak
bisa dihukum karena ia tidak berkesadaran dan ia menjadi alat. Yang dihukum
adalah yang menggunakan pisau itu.
Baca Juga:
Nah, kalau Eliezer itu dibaratkan dengan pisau yang
digunakan oleh Sambo untuk menghabisi Yosua, maka Eliezer tidak bisa dihukum.
Karena dia hanya menjadi alat. Tapi benarkah Eliezer itu adalah alat? dan tak
punya kehendak, untuk menentukan sikap bebasnya, baik untuk menolak ataupun
mengiyakan perintah dari Sambo?
Di sinilah, pembuktian ahli yang dilakukan Magniz Suseno, Liza
Marielly hingga Reza Indragiri. Ketiganya memberikan penjelasan kuat bahwa
Eliezer adalah alat yang digunakan oleh Sambo.
Romo Magniz, menggunakan pendekatan Etika Kantian, bahwa
secara nurani ada yang disebut imperatif kategoris berupa suara hati. Suara
hati ini yang mendorong manusia untuk berbuat baik.
Tetapi kesadaran berbuat baik ini bisa diabaikan, apabila
seseorang dalam kondisi terdesak, mendapat perintah dari atasannya yang tak
bisa ditolak, lebih-lebih dalam struktur hirarkis kepolisian. Eliezer adalah
polisi dengan pangkat yang paling rendah, Bharada.
Adapun Sambo berpangkat jenderal. Maka kesadaran etik
apapun, tak mungkin seorang Bharada melawan perintah seorang jenderal. Jadi
dengan demikian, tindakan Eliezer menembak itu tanpa kesadaran bebasa dari
dirinya.
Dia tidak sedang menjalankan kehendaknya sendiri tetapi
kehendaknya Sambo. Terlebih setelah kejadian, Eliezer mau mengakui kesalahannya
dan siap menjadi justice collaborator.
Argumen Magniz ini diperkuat oleh psikolog klinis, Liza
Marielly, bahwa ada bagian otak pada manusia yang disebut Lobus Frontalis.
Bagian ini mestinya berfungsi membuat penilaian dan menganalisa pada seorang
individu, tetapi menjadi tak berfungsi dalam kondisi tertekan dan cepat, karena
tak ada jeda waktu untuk berpikir dan menganalisa. Ini persis seperti kondisi tertekan dan
terdesak yang dialami Eliezer.
Termasuk usia seorang Individu juga menentukan kenerja
analisa bagian otaknya. Kata Liza, pada Lobus Frontalis ada bagian Prefontal
Cortex, yang berfungsi untuk menganalisa itu. Namun bagian ini, baru matang
pada usia seseorang di atas 25 tahun. Sementara Eliezer saat menerima perintah
dari Sambo itu usianya masih 24 tahun.
Reza Indra Giri juga memperkuat bahwa tak ada perbuatan seseorang
yang terjadi di ruang hampa yang tak dipengaruhi oleh hal-hal lainnya. Ini
proposisi utama dia. Penjelasannya panjang sekali.
Dengan demikian, upaya yang dilakukan oleh para ahli itu
adalah memperkuat dan membuktikan bahwa sebenarnya Eliezer hanyalah alat yang
digunakan oleh Ferdi Sambo. Jadi kalau diibaratkan orang menendang bola yang
mengenai kaca tadi, Eliezer hanyalah bola yang ditendang oleh Sambo dan membuat
Yoshua tewas.
Tapi tentu saja masih ada argumen lain, yang mungkin akan
dijelaskan oleh ahli yang akan memberakan Eliezer, kita tunggu saja. Karena,
jika Eliezer dianggap sebagai alat Sambo, lalu bagaimana dengan puluhan polisi
lainnya yang juga terlibat? Apakah mereka juga sebatas alat, sehingga apabila
Eliezer bebas maka mereka juga bebas?
0 Comments