Oleh: Herlianto. A
Paulo Freire, tokoh pemikir pendidikan yang membebaskan. Foto/MST.org |
Mazhabkepanjen.com - Saya baru saja selesai membaca buku yang luar biasa judulnya Pedagogy of The Oppressed atau Pendidikan Kaum Tertinda. Salah satu
magnum oppus Paulo Freire, pemikir pendidikan dari Brasil yang pasti
dibicarakan oleh siapa pun yang peduli terhadap pendidikan.
Buku ini sebetulnya sudah lama saya miliki, tetapi baru nggeh
untuk dibaca sampai habis. Sebetulnya ada beberapa buku lain yang saya punya
yang ditulis oleh Freire, di antaranya Politik
Pendidikan, Pendidikan Masyarakat
Kota, Sekolah Kapitalisme yang Licik.
Kemudian ada Paulo Freire,
Kehidupan Karya dan Pemikirannya. Ini ditulis oleh Denis Collin. Cukup
bagus juga menceritakan kisah hidup Freire, aktivisme dan karya-karya yang
menyertainya pergerakannya.
Kali ini kita akan membicarakan tentang Paulo Freire dan konsep pendidikannya. Ada satu pertanyaan yang saya ajukan.
Apakah konsep pendidikan Freire masih relevan dengan kehidupan kita hari ini?
Mengapa
Paulo Freire
Pertama kali saya kenal nama Paulo Freire ketika membaca buku Menggugat
Pendidikan Indonesia: Belajar pada Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Buku itu ditulis oleh Muhammad Yamin
terbit sekitar tahun 2014an. Sekitar 8 tahun yang lalu.
Saya suka buku itu, saya baca dan lihat
referensinya. Lalu saya cari buku-buku Freire terutama yang berbahasa Indonesia
yang menjadi referensi buku Yamin. Waktu itu, saya sedang gandrung membaca
buku-buku gerakan, terutama gerakan mahasiswa. Buku-buku Soe Hok Gie hampir
saya baca semua.
Misalnya, Catatan Seorang Demonstran,
Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah, Orang-Orang di
Persimpangan Kiri Jalan. Termasuk catatan teman-temannya Gie yang berjudul SOE
HOK GIE, Sekali Lagi, Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya. Pokoknya saya
suka sekali dengan tulisan-tulisan Gie. Bagi saya tulisannya menggugah dan
sangat idealis.
Tak terkecuali film Gie, itu saya tonton beberapa kali. Saya kira Riri Riza luar biasa menghadirkan sosok Soe Hok Gie pada publik yang tidak pernah bertatap muka dengan Gie. Dari situ saya sempat menulis buku juga berjudul Mahasiswa dalam Pergulatan Politik. Meski tak sehebat karya-karya Gie, tetapi itu satu upaya yang pernah saya lakukan.
- Baca Juga: Belajar Jenius Pada Ibnu Sina
Di tengah kegandrungan saya pada dunia
gerakan itu, ada satu hal tidak saya dapati yaitu konsep pendidikan untuk
menanamkan kesadaran pergerakan itu. Maka, ketika saya membaca Paulo Freire,
saya menemukannya. Dan itulah jawabannya, bagaimana pendidikan harus
membebaskan.
Jadi ketika saya membaca Freire ini,
saya jadi flash back mengapa saya yang belajar dari SD sampai SMA di sebuah
pulau terpencil dihadapkan pada materi pelajaran yang jauh dari kehidupan saya.
Misalnya, soal kereta api. Padahal di
pulau saya tidak ada kereta api. Dijelaskan cara bercocok tanam padi, padahal
di tempatku yang tumbuh jagung dan singkong. Tak ada padi.
Masalembu, tempat saya lahir dan besar
itu, tanahnya berbatu. Tak ada sungai. Warga bercocok tanam hanya di musim hujan
saja, dan di situ tak ada padi. Itupun beberapa orang saja yang bertani.
Karena kehidupan kami adalah kehidupan
laut, orang kepulauan. Mestinya, kami diajari lebih banyak soal laut. Karena
itu yang harus kami sadari, sebagai anak yang lahir di kepulauan itu.
Nah, setelah membaca Freire ini saya
sadar bahwa itulah yang disebut pendidikan ala bank atau banking concept
education. Jadi kita anak-anak di kepulauan, mungkin juga di tempat-tempat
terpencil lainnya, menjadi tempat deposit para guru. Tempat menabung kosa-kata,
istilah-istilah dan rumus-rumus yang kita sendiri tidak paham untuk apa.
Guru pun tidak salah, saya kira, karena
para guru itu hanya menjalankan kurikulum yang telah ditetapkan oleh negara.
Paulo Freire mengubah secara diametral
konsep pendidikan yang saat itu saya alami. Dari pendidikan ala bank (banking
concept education) menjadi pendidikan hadap masalah possing problem
education. Inilah salah satu bentuk revolusi pendidikan yang pernah
dilakukan oleh Freire.
Sekolah Buta Huruf Freire
Freire tidak hanya berteori soal pendidikan ini. Dia melakukannya.
Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota pelabuhan di Timur
Laut Brasil. Dia lahir dari keluarga menengah, tetapi keluarganya sangat
menghargai dialog dan pilihan orang lain.
Bapaknya bernama Joachim Temistocles Freire dan ibunya Edeltrus Neves Freire. Paulo Freire belajar Hukum di Universitas Recife. Selain itu, dia juga belajar filsafat dan psikologi. Pernah mengajar bahasa Portugal, karena memang Brasil pernah dijajah oleh negaranya Cristiano Ronaldo itu.
- Baca Juga: Filsafat Islam Peripatetik
Dalam kesehariannya, ada satu hal yang mengganjal pikirannya, yaitu
ketidak-sesuaian khotbah-khotbah agama dengan realitas kehidupan masyarakat di
situ. Dia seorang Katolik. Dia kemudian menarik diri dari kegiatan-kegiatan
keagamaan, menjadi aktivis pendidikan.
Freire lalu aktif di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari
Jasa Masyarakat di negara bagian Pernambuco. Di sinilah dia bersentuhan langsung
dengan penduduk miskin, buta huruf, dan teralienasi.
Tahun 1960an, Brasil bergejolak, gerakan reformasi tumbuh. Gerakan
buruh bangkit, golongan sosialis-komunis hidup, militan Kristen serta mahasiswa
turut bergerak. Masing-masing elemen ini mengejar tujuan politiknya.
Tetapi tempat tinggal Freire adalah wilayah pedesaan yang miskin
dan buta huruf. Sementara hak suara dalam politik di Brasil kala itu
berdasarkan kemampuan baca tulis warga. Hal ini sepertinya masih terjadi di
Indonesia, terutama di Papua. Beberapa warga yang belum bisa baca tulis di situ,
hak suaranya diserahkan kepada kepala adatnya.
Pendidikan
Hadap Masalah
Freire bisa mengubah keadaan itu dengan konsep dan metode
pendidikannya yang diterapkan, yaitu pendidikan hadap masalah.
Pendidikan hadap masalah adalah model pendidikan atau pembelajaran
yang menghadirkan kembali tema-tema yang dihadapi masyarakat. Tetapi, dihadirkan
bukan sebagai kuliah yang sekedar didefinisikan, melainkan dihadirkan sebagai
sebuah masalah.
Langkah konkretnya adalah menghadirkan istilah-istilah dasar, dalam bahasa Freire kata generatif, dalam kehidupan masyarakat itu. Kata-kata itu kemudian diformulasi sebagai suatu problem. Misalnya kata “Kumuh”.
- Baca Juga: Lima Paradoks Dalam Filsafat
Freire saat mengajar orang-orang buta huruf itu, tidak hanya
bagaimana pandai membaca kata “KUMUH” namun juga mengaitkan dengan persoalan
kehiduapn keseharian mereka. Misalnya, persoalan perumahan, pakaian, pendidikan
dan terus berkembang sampai pada persoalan yang lebih besar yaitu persoalan
budaya.
Inilah mengapa, saya bilang tadi di awal. Memberikan contoh kasus
kereta atau bertanam padi pada anak-anak sekolah yang di daerahnya tidak ada
dua hal itu adalah pendidikan ala bank. Pendidikan yang anti dialogis dan tidak
membebaskan.
Dengan model pendidikan itu, Freire memberikan kesadaran politis
pada masyarakat Brasil. Dan itu ternyata mengancam status quo. Maka, pada tahun
1964, Freire ditangkap dan diusir, dia lari ke Chile. Selama 5 tahun di sana dia
tetap bergerak untuk pemberantasan buta huruf. Dia diterima dengan baik di
situ, kemudian pindah ke Jenewa.
Freire kemudian berkampanye soal pendidikan pembebasan ini ke
berbagai daerah di Asia Afrika. Sampai hari ini, Freire menjadi salah satu
bapak pendidikan yang ingin mengubah masyarakat tertindas bukan balik menindas,
tetapi sebagai masyarakat yang setara dalam balutan kemanusiaan.
Pendikakan
ala Bank dan Hadap Masalah
Freire merumuskan antagonisme pendidikan “gaya bank” yang kemudian
dia kutuk di dalam bukunya Pendidikan
Kaum Tertindas itu. Ini penting ini.
Beberapa antagonisme itu begini: 1) guru mengajar, murid belajar,
2) guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa, 3) guru berpikir, murid
dipikirkan, 4) guru bicara, murid mendengarkan, 5) guru mengatur, murid diatur,
6) guru memilih bahan ajar, murid menyesuaikan, 7) guru subjek belajar, murid
adalah objek.
Dalam konteks kita hari ini, mungkin begini: dosen memberi tugas,
mahasiswa mengumpulkan tugas, dosen tidak masuk kuliah, mahasiswa senang.
Kampus menaikkan SPP, mahasiswa bayar SPP, dst. Pembaca bisa buat sendiri
sebanyak-banyaknya.
Model belajar ala bank ini, guru atau dosen segalanya. Mereka
sangat sentral. Menurut Freire, model ini menenggelamkan siswa dan bahkan
mahasiswa pada kesadaran magis. Kesadaran yang melihat segala bentuk
penindasan dan ketidakadilan sebagai kehendak ilahiah.
Padahal seharusnya pendidikan itu membuat siswa memiliki kesadaran
kritis. Kesadaran yang tidak langsung menerima dogma dan doktrin, melainkan
memeriksa dulu.
Pendidikan ala bank ini yang melahirkan orang-orang nekrofilia, cinta pada kematian.Cinta materi.
Padahal seharusnya, kata dia, pendidikan itu melahirkan orang-orang biofilia
yang cinta pada kehidupan, pada jiwa.
Murid dan guru, hakikatnya, adalah subjek sadar dalam pendidikan.
Sementara objek kajiannya adalah realitas dunia itu sendiri. Artinya, peserta
didik dan guru sama-sama belajar memahami kehidupan dan persoalannya.
Karena itu, guru yang baik adalah guru-yang-murid. Guru yang
menjadikan siswanya mitra belajar, bukan objek belajar. Guru atau dosen yang
banyak belajar pada anak didiknya.
Guru dan murid tidak bisa dipisahkan keberadaanya sebagai insan pembelajar. Freire lalu mengatakan bahwa:
No one can teach anyone, no one can study alone but everyone studies together (tak ada seorang pun yang bisa mengajari orang lain, dan tak ada satu orang pun yang bisa belajar sendirian, tetapi setiap orang belajar bersama-sama).
Dengan prinsip ini yang terjadi bukan pedagogy tetapi andragogy,
yaitu guru bukan pengajar yang memegang segala kebenaran, melainkan guru
sebagai fasilitator, motivator, demonstrator, teman, dst.
Jadi pendidikan hadap masalah membuat guru dan murid berdiskusi
membahas suatu persoalan bersama. Sementara, pendidikan ala bank, menempatkan
anak didik sebagai objek investasi dan sumber depsosito potensial.
Guru sebagai depositor mewakili lembaga masyarakat mapan dan
berkuasa yang menabung pada kepala peserta didik. Adapun depositnya adalah ilmu
pengetahuan yang diajarkan pada anak didik.
Proses pembelajaran mestilah dialogis atau bahkan dialektis yang
menempatkan guru dan murid sebagai pembaru dalam melahirkan pengetahuan yang
humanis. Peserta didik dan guru harus sama-sama mengerti persoalan bukan
menghafal persoalan.
Itulah saya kira nilai penting konsep pendidikan Freire. Jadi
mengapa siswa atau mahasiswa atau orang-orang tertindas itu, perlu terlibat
dalam pembejalaran ini?
Karena bagi Freire, setiap usaha pembebasan apabila tanpa
partisipasi mereka, sama artinya memperlakukan mereka sebagai barang-barang
yang harus diselamatkan dari sebuah bangunan yang terbakar. Dan itu tetap
menggiring mereka ke dalam perangkap massa yang gampang diperdaya.
Semoga catatan refleksi memberi manfaat.
0 Komentar