Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi. Foto/edited |
Mazhabkepanjen.com – Ujaran “cuakszz” dan “anjirr” begitu lekat di
telinga, mulut dan jempol kita anak-anak muda. Kalau kita tidak mengucapkannya,
maka bisa mendengarkannya atau setidaknya mengetiknya di status atau kolom
komentar media sosial. Secara normatif, kita semua tahu apa makna dua kata itu:
misuh.
Suatu ungkapan untuk melampiaskan kekesalan, kekecewaan, keputusasaan
dan hal-hal yang tidak mengenakkan lainnya. Tetapi di sisi lain dua kata itu bisa
bermakna candaan dan keakraban atau bahkan pujian, bergantung pada konteks apa
ekspresi itu diungkapkan oleh sang penutur.
Setidaknya ada dua syarat agar kata itu bermakna candaan, kearaban atau
pujian. Pertama, relasi antara penutur dan mitra tutur sudah akrab dan sudah
biasa dengan ungkapan-ungkapan. Orang baru baru kenal tidak mungkin menggunakan
ungkapan itu sebagai tanda keakrabannya.
Kemudian yang kedua, kondisi di mana ungkapan tersebut diucapkan. Dalam
hal ini agar bisa bermakna keakraban, situasinya haruslah informal. Berbeda cerita
jika suasana formal menggunakan ungkapan tersebut, maka maknanya akan menjadi
cacian bukan keakraban, apalagi pujian.
Baca Juga: Secawan Mazhab Frankfurt
Kita mudah sekali menemukan bibir anak-anak muda dalam talk show atau podcast tertentu mengucapkan dua ekspresi itu, yang kemudian
ditimpali dengan gelak tawa. Dalam hal ini berarti kata itu bermakna keakraban.
Namun kita jarang sekali menemukan di forum rapat resmi mendengarkan kata itu
lalu dibarengi gelak tawa, yang ada semua peserta rapat pada diam semua.
Atau meski bukan di situasi formal, bila disemburkan oleh pengendara
motor yang kena serempet angkot di jalanan maka di situ jelas bermakna misuh
atau makian bukan keakraban. Inilah yang disebut bahasa itu bersifat sosial, bahasa
bergantung pada konteksnya.
Artinya, keadaan sosiallah yang menentukan makna bahasa itu dan bukan
struktur bahasa itu sendiri, bukan grammar. Ini yang sekaligus menjadi agenda
besar para ahli sosiolinguistik atau setidaknya ahli linguistik antropologi
untuk menunjang hipotesis mereka: language
is social.
Kemudian yang juga menjadi perhatian artikel ini adalah mengapa ujaran
“cuakszz” dan “anjirr” yang dipilih bukan yang lain, atau bentuk aslinya? Ungkapan
ini berasal dari “jancok” dan “anjing” yang maknanya pisuhan. Kata pisuhan itu diplesetkan
dari “anjing” menjadi “anjirr” sementara “jancok” menjadi “cuakk.” Mengapa hal
ini terjadi?
Ada dua hipotesis sebagai jawaban atas pertanyaan ini? Pertama, ini
berkaitan dengan algoritma media sosial atau platform tertentu. Pada beberapa
platform, kata-kata kasar termasuk misuh bisa disharing oleh penggunanya sehingga
ekspresi itu tidak muncul di kolom komentar.
Baca Juga: Gus Dur dan Perempuan Indonesia
Untuk bisa muncul harus menunggu otorisasi dari pengguna atau orang yang
update status. Jika tidak diberi otorisasi maka tidak akan muncul. Ini salah
satunya terjadi pada TikTok.
Dengan penyaringan ini netizen yang niatnya mencaci di kolom komentar atau
membuat semacam hinaan tidak bisa terealisasi karena tersaring oleh
algoritmanya. Untuk menyiasasi itu, maka perlu dilakukan modifikasi ungkapan yang
maknanya tersampaikan tetapi dengan menggunakan ungkapan agak sedikit berbeda.
Dan, ungkapan itu bisa aman tidak tersaring oleh filter medsos.
“Cuakk” adalah potongan akhir dari kata “jancok” sementara “anjir” hanya
mengubah bunyi terakhir dari kata “anjing”. Dengan model begini ungkapan
tersebut bisa melewati saringan mesin platform dengan aman.
Yang kedua, berkaitan dengan pola berbahasa di kalangan anak muda. Yang
mana mereka ingin menunjukkan identitas dirinya sebagai kelompok yang berbeda
dari kaum tua. Atau bahkan lebih spesifik lagi anak muda yang berada di wilayah
metropolitan yang modern, wilayah yang serba digital dan jaringan internetnya
cepat.
Dengan menggunakan bahasa itu, anak muda merasa menjadi bagian dari
komunitas yang lagi ngetrend. Tidak ketinggalan zaman dari kelompoknya. Terlihat
keren. Sebaliknya, tak ada kaum tua yang latah menggunakan ungkapan tersebut
baik dalam arti sebagai makian ataupun sebagai ungkapan keakraban. Pembaca
sekalian saya kira tak menemukan seorang nenek memarahi cucunya dengan
mengatakan “cuakk” dan “anjirr.” Termasuk nenek saya tidak pernah bilang
begitu.
Baca Juga: Deduksi versus Induksi
Kemudian, orang-orang desa juga jarang yang menyatakan makiannya menggunakan
ekspresi tersebut. Apalagi orang desa yang tidak banyak bersentuhan dengan internet
dan media sosial. Dipastikan mereka tidak terpapar oleh ungkapan tersebut. Jadi
dua ungkapan itu mengandung tiga makna pembeda sekaligus, yaitu penanda anak
muda, penanda masyarakat kota dan penanda masyarakat yang melek digital.
Singkatnya, anak muda memanfaatkan bahasa sebagai garis demarkasi berbudaya dengan orang tua sekaligus sebagai pembeda antara anak muda yang hidup di kota yang serba digital dan di desa yang belum banyak tersentuh internet.
0 Komentar