Mahasiswa Kok Nyalon DPR?

Oleh: Herlianto. A

Eks BEM UI yang ketahuan nyaleg. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com - Isu mahasiswa yang lagi hangat saat ini adalah eks BEM UI, Manik Marganamahendra, yang ketahuan nyalon DPRD DKI Jakarta. Lebih-lebih dia pernah memplesetkan DPR menjadi “Dewan Pengkianat Rakyat”. Lalu banyak yang kecewa dan mengeritik, mempertanyakan idealisme mahasiswa. Bahwa mahasiswa kritik sana-kritik sini, setelah selesai kuliah nyalon DPR juga. Tidak betah berada di garis perjuangan dan hidup bersusah payah bersama rakyat.

Kekecewaan publik ini terjadi karena “menuhankan mahasiswa”. Menganggap mahasiswa ini adalah agen perubahan, agen intelektual, agen kontrol sosial, dan agen-agen yang lain. Atau dalam bahasa Soe Hok Gie, the happy selected few, beberapa yang istimewa.

Tetapi benarkah mahasiswa Setuhan itu dalam perubahan sosial Indonesia? Saya ragu. Mahasiswa itu tidak lahir dan besar di ruang hampa. Tidak tumbuh dan berkembang dengan sendirinya. Mereka “disusui”, “diasuh” serta “dibesarkan” oleh lingkungan sekitar. Artinya perilaku berpolitik mereka juga tidak jauh beda dengan lingkungan sekitar.

Baca Juga: Gus Dur dan Perempuan Indonesia

Bahkan, ini hipotesa saya: para mahasiswa yang dulu kritis dan sekarang nyalon DPR, adalah wujud reinkarnasi dari para pendahulu atau senior-senior mereka yang juga punya perilaku begitu. Saya akan buktikan hipotesa ini dari orde lama, orde baru hingga reformasi.

Dalam Asuhan Orde Lama

Setelah Nagasaki dan Hirosima dibumihanguskan oleh sekutu, terjadi vacuum of power di Indonesia, situasi ini menjadi ajang penting bagi partisipasi mahasiswa atau kaum muda dalam merebut kemerdekaan. Pemuda yang terkonsentrasi di asrama Menteng 31 di Jakarta saat itu, mendesak Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan. Semangat pemuda kala itu adalah penjelmaan dari semangat rakyat yang telah lama bergejolak ingin menghirup udara segar kemerdekaan. 

Rakyat, jauh hari sebelumnya, telah membentuk lingkungan bagi para pemuda pemberani itu mulai dari Budi Utomo pada 1908. Sumpah pemuda diikrarkan 1928, dan elemen-elemen organisasi pemuda yang bersifat kedaerahan seperti Jong JavaJong Ambon, Jong MinahasaJong Sumatranenbon dll yang bersatu dalam wadah “Indonesia Muda” pada 1930.

Setelah kemerdeaan direbut, kini perjuangan mengisi dan mempertahankan kemerdekaan. Demokrasi liberal (1950-1957) menjadi salah satu sistem bernegara yang menghadirkan kebebasan berserikat dan berkumpul bagi rakyat. Parpol tumbuh di mana-mana dan mahasiswa menjadi underbow partai.

Misalnya, Masyumi punya HMI, PNI punya GMNI, PKI punya CGMI, dst. Bahkan ketika parpol terkoyak dan pecah, gerakan mahasiswa pun mengikutinya. Pecahnya Masyumi menjadi beberapa partai seperti Perti, PSII dan NU membuat HMI juga pecah.

Misalnya, Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMI) ikut PSII, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ikut NU, Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) ikut golongan modernis, dst.

Baca Juga: 5 Paradoks Dalam Filsafat, dari Tuhan hingga Gerak

Hal serupa terjadi di Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketika pecah menjadi kubu Ali Sastromijoyo dan Surahman (yang kemudian disingkat PNI Asu) versus PNI kubu Osa Maliki dan Usep Ranawijaya (yang disingkat PNI Osa-Usep). Maka GNMI pun pecah menjadi GMNI Asu yang pro Sukarno dan GMNI Osa-Usep yang kemudian pro militer.

Beberapa pecahan-pecahan inilah yang kemudian dikumpulkan oleh mentri pendidikan Syarif Tayeb lalu dibentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1965. KAMI ini lahir untuk melawan golongan komunis yaitu CGMI, Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia sebagai underbouw Partai Komunis Indonensia (PKI). 

Diasuh Rezim Suharto

Setelah Sukarno berhasil dilengserkan oleh Suharto maka sudah masanya bagi-bagi kekuasaan. Melalui rederessing yaitu 12 orang mahasiswa mendapat kue kekuasaan dari Suharto. Mereka adalah Mar’ie Muhammad dari HMI, David Napitupulu dari KAMI, M. Zamroni dari PMII, M. Hatta Musthofa dari PMII, Fahmi Idris, Johny Simanjuntak, Liem Bian Koen, Soegeng Sarjadi, Nono Anwar Makarim, Yozar Anwar, Cosmas Batubara, dan Slamet Sukirman. 

Kenyataan ini membuat Soe Hok Gie, aktivis sosialis era 65an, mempertanyakan idealisme mahasiswa yang telah ditukar dengan roti-roti kekuasaan. Ini hari ini tak jauh dengan eks BEM UI, Manik Marganamahendra, yang setelah kritak-kritik DPR, lalu nyalon DPR juga.

Gie mengkritik para mahasiswa itu sangat keras sebagaimana ditulis dalam bukunya Catatan Seorang Demonstran. Dia bilang begini: "sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga, mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula. Tetapi sebagian dari mereka jujur," katanya.

Mahasiswa Malah Ditawan Suharto

Tapi kemesraan Suharto dan mahasiswa it tak berlangsung lama. Kata Hasibuan, dalam buku Revolusi Politik Kaum Muda, mahasiswa hanya diposisikan sebagai sebatas pemenangan voting di legislatif agar agenda Suharto mendapat suara mutlak di DPR.

Setelah itu Suharto gencar melakukan penanaman modal asing pada rentang 1974-1978 untuk pengerukan kekayaan alam Indonesia. Kritik dari kaum muda pun muncul termasuk mahasiswa. Suharto meredam kritik itu menggunakan militer. Meletuslah peristiwa Malapetaka 15 Januari 1971, yang kita kenal sebagai peristiwa Malari.

Peristiwa pilu bagi aktivis itu terjadi ketika perdana mentri Jepang bernama Tanaka, datang ke Indonesia untuk penanaman modal asing. Mahasiswa mengamuk di Jakarta, sekitar 807 mobil dan 187 motor buatan Jepang rusak. Kemudian 144 gedung dirusak dan dibakar, 160 kilogram emas hilang dari sejumlah toko, 9 orang meninggal dunia, seratus lebih cedera dan 820 orang ditangkap. Data ini saya ambil dari bukunya Hermawan Sulistyo, judulnya Lawan: Jejak-Jejak Jalanan di Balik Kejatuhan Suharto.

Untuk menghentikan gerakan mahasiswa di kampus, rezim Suharto melalui menteri pendidikan dan kebudayaan, saat itu Nugroho Notosusanto, menerbitkan surat keputusan.

Isinya agar para Rektor dan Dekan melakukan pembinaan moral pada mahasiswa. Kebijakan ini diperkuat dengan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus). Yang isinya mengerikan, bahwa aktivitas politik mahasiswa dalam kampus adalah tidak sah. 

Baca Juga: Pancasila Itu Ideologi, Ini Penjelasan Sukarno

Lalu ada instruksi Dirjen DIKTI pada 1978 yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa dibawah kontrol Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III disetiap fakultas. Ini betapa rezim Suharto menghabisi gerakan mahasiswa.

Sehingga Gerakan Dewan Mahasiswa (Dema) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) yang sebelumnya kritis menjadi terbekukan. Mahasiswa kembali pada rutinitas akademisnya, ikut seminar, olahraga, lomba, dan ngopi-ngopi kali ya.

Belum lagi ancaman penculikan dan petrus (penembakan misterius). Sampai hari ini ada belasan aktivis masih hilang, salah satunya Wiji Tukul. Ini menjadi teror paling mengerikan bagi mahasiswa. Beberapa senior saya penah bercerita, membawa buku-buku novel Pram itu aja sudah ditangkap aparat.

Suharto Jatuh, Mahasiswa Berebut Kekuasaan

Pada tahun 1990, melalui menteri pendidikan Fuad Hasan, NKK/BKK dicabut. Tetapi diganti dengan PUOK (Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan). Di sini senat universitas dan fakultas serta UKM diakui. Tetapi tetap saja tak boleh ada aktivitas politik di kampus. Mereka diminta membina karir, rajin kuliah, seminar dan pelatihan.

Walaupun demikian gerakan-gerakan muda dan rakyat masih menguat. Seperti SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) ada SSDI, Serikat Tani Nasional Indonesia, Sarekat Rakyat Indonesia, dan banyak sekali organisasi gerakan lahir selama dekade 90an. Sementara organisasi yang sudah lama seperti PMII, HMI, GMNI, PMKRI, bergabung dalam satu kelompok yang dikenal kelompok Cipayung.

Mereka progresif waktu itu. Tapi sekarang tak tahu gemanya ke mana. Nyatanya, mahasiswa lebih suka ikut komunitas hobi ketimbang organisasi ekstra macam itu. Paling-paling mereka itu ramai as saat pemilihan ketua di berbagai level kepemimpinannya aja, setelah itu mereka senyap.

Kemudian yang menarik lainnya, di era 90an ini, lahir PRD (Partai Rakyat Demokratik), pengasuhnya adalah Budiman Sudjatmiko yang juga pernah di DPR. Sosok lain ada Ditah Indah Sari, Fasol Reza dan Haris Rusli. Tiga anam terakhir ini, tak se-tenar Budiman Sudjatmiko. Selain itu, tentu masih banyak aktivis-aktivis reformasi, macam Fajroel Rahman, Adian Napitupulu, Fajri Hamzah, Immanuel Ebenezer, dst. Yang hari ini mereka sering ribut soal kekuasaan juga.

Lalu menjelang 1998, Asia dan Indonesia diterpa krisis moneter. Kelaparan dan tindakan kriminal terjadi di mana-mana, mahasiswa juga kesusahan juga karena apa-apa mahal. Maka terjadilah demo besar-besaran di gedung DPR dan istana negara.

Massa yang begitu banyak itu berhadapan langsung dengan tentara loyalis Suharto. Terjadilah gesekan mahadahsyat yang melahirkan kejadian-kejadian pilu dalam sejarah republik ini. Sebut saja tragedi Trisakti, tragedi Semanggi I dan II yang setidaknya menewaskan 7 mahasiswa. Akhirnya Suharto runtuh dan reformasi berkibar.

Lalu kran demokrasi dibuka, tak ada lagi pembatasan partai seperti era orde baru. Dan lagi-lagi mahasiswa menjadi elemen yang dimanfaatkan oleh politik. Itu terlihat dari Partai Nasdem yang memiliki Liga Mahasiswa Nasdem, PKS punya KAMMI, dulu HTI walaupun bukan partai punya GEMA Pembebasan yang ada hingga hari ini. PDI Perjuangan mungkin masih dekat dengan GMNI, PKB mungkin masih dekat juga dengan PMII, HMI sepertinya dengan senior-seniornya di partai.

Kalau hari ini ada mahasiswa atau eks aktivis mahasiswa nyalon DPR. Itu hal yang biasa, dan historis. Jadi tak perlu kita merasa bahwa mahasiswa itu adalah agen segalanya bagi perubahan republiknya. Begitu idealisme mereka tergadaikan, maka negeri ini juga tergadaikan, tidak begitu.

Posting Komentar

0 Komentar