Oleh: Herlianto. A
Sukarno sebagai ilustrasi. Foto/dok |
Mazhabkepanjen.com - Debat beberapa kontroversi seputar Pancasila masih menghangat sampai hari ini. Misalnya, perdebatan apakah Pancasila sebuah ideologi atau bukan. Ada juga yang menilai bahwa sila pertama (ketuhanan) dan sila kedua (kemanusiaan) dianggap bertentangan, dst.
Kali ini saya ingin menggali argumen Sukarno ketika menyampaikan soal Pancasila ini dalam sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, sebagaimana ada dalam buku Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI. BPUPKI atau dalam bahasa Jepangnya Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai diketuai oleh Dr Radjiman Wedyodiningrat dengan anggota 66 orang. Sukarno adalah salah satu anggota di dalamnya.
Dalam sidang ini, Bung Karno menjadi orang ketiga yang merumuskan dasar negara. Sebelumnya, Muhammad Yamin dan Soepomo telah memaparkan negara versi mereka. Tetapi memang sebagaimana diyakini sebagai sebuah fakta sejarah, bahwa Sukarnolah yang pertama kali menyampaikan sila-sila Pancasila itu.
Baca Juga: Emanasi Neoplatonisme Plotinus
Walaupun memang ada perubahan redaksi dan posisi, baik setelah disempurnakan oleh Panitia 9 pada 22 Juni 1945, maupun setelah ditetapkan melalui sidang PPKI pada 18 Agustus 1945.
Yang paling kita ingat dari peristiwa koreksi Pancasila ini adalah penggantian “Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang kemudian disebut piagam Jakarta (Jakarta Charter) menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kemudian posisi ketuhanan yang awalnya disebut nomor lima menjadi yang pertama. Lalu, bagaimana argumen Sukarno dalam rumusan lima dasar saat itu?
Pancasila Ideologi atau Bukan?
Sukarno memulai pidatonya dengan meletakkan posisi dasar negara yang dia sampaikan. Di situ dia tidak menggunakan kata "ideologi", melaikan istilah bahasa Belanda “philosofische gronslag.” Istilah ini oleh Bung Karno disepadankan dengan “Weltanschauung”, pandangan dunia atau worldview. Yang oleh Sukarno diartikan sebagai fundamen, filsafat atau pikiran sedalam-dalamnya di mana Indonesia Merdeka akan didirikan di atasnya.
Menariknya, walaupun Sukarno tidak menyebut 5 dasar negara itu sebagai ideologi, tetapi dia menempatkannya seperti Marxisme dan Materialisme Historis Lenin di Uni Soviet, sosialisme nasionalis Hitler di Jerman, Islamnya Ibn Saud di Arab Saudi, dan San Min Chu I Dr Sun Yat Sen di Tiongkok, yang isinya yaitu nasionalisme (mintsu), demokrasi (min chuan), dan sosialisme (min sheng).
Semua yang dijadikan analogi posisi Pancasila yang disebut Sukarno ini, hari ini kita menyebutnya sebagai ideologi. Apakah dengan demikian Pancasila sebuah ideologi, atau upaya mengideologikan Pancasila? Melihat cara Sukarno menyepadankannya, maka ia ideologi.
Baca Juga: HMI: Tantangan, Tuduhan dan Survivalitas
Tetapi bila dipahami bahwa ideologi harus memberikan penjelasan rasional pada konstruksi sejarah, arah masa depan bangsa dan mampu memberi menjelaskan kondisi sosial saat ini, maka saya kira perlu diskusi lebih panjang, untuk menilai Pancasila itu ideologi atau bukan.
Sukarno lalu bertanya? “Kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialismekah, marxismekah, San Min Chu I, atau Weltanschauung apa?”
Untuk menjawab ini, Sukarno berkaca pada beberapa negara yang telah merdeka saat itu, mulai Jerman, Arab Saudi, Iran, hingga Uni Soviet. Semua menunjukkan bahwa “Weltanschauung” mereka dibangun tidak semalam tetapi berpulu-puluh tahun sebelumnya. Begitu juga dengan dasar negara Indonesia merdeka, perlu disarikan dari ide-ide besar sebelumnya.
Lima Ide Dasar Sukarno
Lalu Sukarno merumuskan lima dasar negara. Pertama adalah kebangsaan. Dalam hal ini menurut Sukarno tidak mengangunkan satu golongan, tetapi Indonesia harus menjadi negara buat semua. Sukarno sempat minta maaf beberapa kali agar kaum Islamis di sidang tidak salah paham soal ide kebangsaan ini, kebangsaan bukan mengagungkan suatu bangsa tertentu tetapi kesatuan bangsa Indonesia, satu nation bagi semua, national staat.
Definisi bangsa versi Sukarno dipengaruhi oleh Ernest Renan, pemikir Prancis, yaitu kehendak untuk bersatu, orang-orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu. Yang oleh Sukarno diberi penguatan geografis, karena kebersatuan dalam bangsa versi Renan sebatas pada individu, sementara Indonesia terdiri dari ribuan pulau yang juga ingin disatukan. Dengan demikian, bangsa tidak hanya bersatunya berbagai etnis, Jawa, Bugis, Madura, Sunda dan Minang tetapi juga bersatunya pulau-pulau di Indonesia.
Kedua adalah peri kemanusiaan. Ide ini bagi Sukarno untuk mengantisipasi potensi lahirnya chauvinism dari nasionalisme, seperti yang dialami Jerman yang menempatkan bangsa Aria sebagai ras unggul. Sementara Indonesia adalah bagian dari dunia, maka perlu yang universal dari kebangsaan Indonesia itu sendiri, yaitu humanisme.
Menariknya, dalam hal ini Sukarno mengutip pernyataan Mahatma Gandhi: my nationalism is humanity. Mengapa ini menarik? Gandhi adalah seorang religius agamis. Bagaimana mungkin seorang agamis sekaligus berorientasi humanis. Sementara ada yang mengatakan bahwa antara ketuhanan dan kemanusiaan atau humanisme itu bertentangan. Karena dianggap orang bisa jadi baik tanpa perlu Tuhan.
Tapi justru pada Gandhi yang disebut Sukarno ini, kita menemukan sosok agamis sekaligus humanis. Artinya, di realitas ketuhanan dan humanis itu tidak bertentangan. Kalau bertentangan pasti Gandhi tidak bisa mengalami keduanya sekaligus, sebagaimana mustahilnya siang dan malam sekaligus pada saat yang sama.
Baca Juga: Lima Rekomendasi Buku Filsafat Islam
Dengan demikian poinnya adalah bahwa humanisme yang dimaksud Sukarno bukanlah humanisme transisi dari sistem teokrasi Eropa menuju pencerahan yang memberi otonomi manusia untuk terbebas dari doktrin teologi tertentu, yang kemudian juga membenarkan ateistik. Kemanusiaan yang dimaksud oleh Sukarno, kurang lebih seperti yang ada pada sosok Gandhi.
Ketiga adalah permusyawaratan dan perwakilan. Karena Indonesia Merdeka bukan untuk satu golongan, maka mufakat menjadi sangat perlu dalam merumuskan suatu konsensus atau hukum bersama.
Di sini Sukarno kembali minta maaf, dia sepertinya khawatir dituduh tidak Islamis karena tak mendasarkan syariat-syariat Islam dalam pengambilan hukum bersama. Tetapi kata Sukarno permusyawaratan melalui perwakilan sangat penting bagi keselamatan bersama, termasuk keselamatan beragama.
Bagi Sukarno, ruang mufakat ini sekaligus menjadi medan tempur ide dan gagasan bagi berbagai golongan, baik Islam, Kristen dan selainnya agar kepentingan-kepentingan, hukum-hukum yang keluar dari lembaga perwakilan itu mencerminkan ajaran mereka. Inilah arena pertarungan yang paling fair dalam melahirkan hukum bernegara.
Keempat adalah keadilan sosial. Dasar ke empat ini sepertinya Sukarno ingin membedakan Indonesia dengan negara-negara Barat yang menurut Sukarno kapitalisnya meraja lela. Dia ingin membedakannya dengan negara-negara sekuler. Contoh yang dia sebut adalah Amerika serikat. Jadi negara demokrasi Indonesia bukan hanya memiliki hak yang sama dalam memilih dan dipilih tetapi juga hak yang sama dalam kesejahteraan, hak yang sama terhadap akses ekonomi.
Dalam hal ini, sila ini dicurigai dipungut dari ide sosialisme yang memang dipahami dengan sangat baik oleh Sukarno. Tetapi pada saat yang sama, koheren dengan dasar permusyawaratan dan perwakilan sebelumnya. Artinya, sekalipun konsensus itu dibuat berdasarkan permufakatan tetapi tetap harus berbasis pada “kedaulatan rakyat” tak boleh sekuler, atau tak berbasis pada kedaulatan kapital.
Kata Sukarno, di negara-negara kapitalis Eropa memang telah memiliki wakil-wakil rakyatnya di parlemen, tetapi itu hanya representasi dari kapitalis. Mereka hanya memperjuangkan demokrasi politik bukan demokrasi ekonomi. Dalam hal keadilan sosial ini, kata Sukarno, masyarakat Indonesia telah lama membicarakannya yaitu dalam konsep Ratu Adil, suatu kepemempimpinan yang dibayangkan bisa mewujudkan keadilan sosial.
Kelima adalah ketuhanan. Penempatan ketuhanan di posisi ke lima membuat ada yang mengatakan ketuhanan bagi Sukarno ada di pantat. Memang Indonesia bukan negara kedaulatan tuhan, tetapi kedaulatan rakyat.
Namun demikian rakyat yang beragama. Sukarno ingin menempatkan ketuhanan ini sebagai yang tak terpisahkan dari cara hidup masyarakat Indonesia. Karena itu, “Indonesia merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa,” kata dia.
Dia juga ingin, dengan dasar ini, setiap orang di Indonesia bertuhan, walaupun bukan sebuah kewajiban. “Prinsip ketuhanan,” kata Sukarno “bukan saja bangsa Indonesia bertuhan tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.”
Jadi walaupun ada yang menafsir bahwa Indonesia tak melarang ateis. Tetapi Sukarno tidak menganjurkan ateis, justru sebaliknya, dia ingin orang Indonesia semuanya bertuhan.
Nah, lima ide besar inilah yang oleh Sukarno disebut Panca Sila (panca: lima, sila: dasar). Kemudian Sukarno menawarkan jika tidak cocok dengan lima dasar itu, maka bisa diperas menjadi tiga atau trisila yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi dan ketuhanan. Jika mau diperas lagi menjadi ekasila, maka jadi Gotong Royong.
Terlepas dari lima dasar ini, tak kalah pentingnya bagi Suakrno adalah bagaimana mewujudkan ke limanya dalam realitas bernegara. Karena itu butuh perjuangan yang panjang. Kemerdekaan Indonesia bukanlah akhir, kata dia, justru awal untuk bertahan dan mewujudkan Pancasila yang dicita-citakan.
Tentu saja narasi argumen Sukarno soal Pancasila ini sangat terbatas karena hanya berdasar pada pidato dia di sidang BPUPKI. Ide-ide Pancasila ini tentu saja sangat bisa diperdalam dan dipertajam melalui tulisan-tulisan Sukarno lainnya yang bisa kita baca di beberapa karyanya.
Cara Menerbitkan Artikel di Mazhabkepanjen.com
*) Naskah dikirim ke email: mazhabkepanjen21@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak menayangkan artikel yang tidak
sesuia dengan kaidah dan filosofi Mazhabkepanjen.com
0 Komentar