Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi Rocky Gerung. Foto/edited
Mazhabkepanjen.com - Saya ingin
membicarakan secara linguistik soal Bajingan
yang Tolol, ungkapan makian yang diujarkan Rocky Gerung pada Jokowi,
presiden Indonesia. Yang membuat dia dilaporkan dan diserang oleh banyak pihak,
terutama pendukung Jokowi. Ujaran itu dianggap menghina dan merendahka presiden
Jokowi.
Dalam hipotesa saya Bajingan yang Tolol itu adalah makian dan hinaan, walaupun Rocky
Gerung berdalih itu kritik dan pujian karena kata “bajingan” itu awalnya
berkonotasi positif, yaitu kusir gerobak sapi di zaman kerajaan Mataram. Bahkan
bajingan itu singkatan dari Bagusing jiwo
angen-angening pangeran artinya orang baik yang dicintai Tuhan. Itu semacam
klarifikasi Rocky Gerung ketika dicecar oleh banyak pihak.
Katakanlah kita maknainya demikian, saya
kira menjadi agak humorikal. Frasanya adalah Bajingan yang Tolol, kalau kita sambung, bajingan orang baik yang
dicintai Tuhan maka jadinya: orang baik
yang dicintai Tuhan tolol. Ini agak aneh.
Baiklah, pertanyaanya benarkah dalam konteks
Rocky Gerung mengatakan frasa itu untuk memuji presiden Jokowi. Menurut saya
tidak. Saya akan membahas ini dari sisi linguistiknya.
Baca Juga: Pancasila Itu Ideologi, Begini Penjelasan Bung Karno
Linguistik
Forensik
Dalam kajian makro linguistik ada satu
cabang, namanya Sosiolingusitik. Sosiolinguistik itu bukan sosiologi digabung
dengan linguistik. Tetapi suatu cara pandang dalam linguistik yang melihat
bahwa bahasa itu ditentukan oleh kondisi sosial, bahasa tidak independen, language is social, bahasa ditentukan
oleh konteksnya.
Dalam kajian ini, ada satu subnya
namanya linguistik forensik, setidaknya itu kategorisasi yang dibuat oleh Janet
Holmes, salah satu pakar Sosiolinguistik. Linguistik forensik inilah yang
secara khusus membahas bahasa kaitannya dengan hukum, suatu ujaran dianggap
berpotensi menyalahi hukum atau tidak.
Misalnya, kalau kita sedikit flashback,
apakah kata “idiot” yang pernah diucapkan Ahmad Dani pada Banser beberapa waktu
lalu termasuk penghinaan? Apakah pernyataan “tampang Boyolali” yang pernah diucapkan
Prabowo termasuk penghinaan juga? Atau perkataan Ahok, “dibohongi pakai Surat
Al Maidah,” itu juga penghinaan? Apakah pernyataan-pernyataan itu berdelik
hukum yang membuat pengujarnya bisa dipidanakan? Biasanya orang-orang yang
memberi kesaksian soal itu salah satunya adalah ahli linguistik forensik.
Baca Juga: Lima Paradoks dalam Fisafat
Tapi saya tidak ingin membahas semua
ujaran-ujaran tadi yang mana sebagian sudah divonis, inckrah, berkuatan hukum
tetap, terutama Ahok dan Ahmad Dani. Saya hanya akan membahas ujaran Rocky
Gerung.
“Begitu Jokowi kehilangan kekuasaannya, dia
jadi rakyat biasa, nggak ada yang peduli nanti. Tetapi, ambisi Jokowi adalah
mempertahankan legasinya. Dia mesti pergi ke China buat nawarin IKN. Dia mesti
mondar-mandir dari satu koalisi ke koalisi yang lain untuk mencari kejelasan
nasibnya. Dia memikirkan nasibnya sendiri. Dia nggak mikirin nasib kita.
Itu bajingan yang tolol. Kalau dia bajingan pintar, dia mau terima berdebat
dengan Jumhur Hidayat.”
Bajingan
itu Hinaan
Jadi jelas Bajingan yang Tolol itu diucapkan pada Jokowi. Secara linguistik
frasa itu terkategori makian bahkan penghinaan. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) diterangkan begitu. Walaupun makna awalnya, bajingan itu
menunjuk pada kusir gerobak sapi, tetapi lalu mengalami pergeseran makna,
menjadi makian.
Pergeseran makna dalam bahasa itu umum
terjadi dan banyak bentuknya. Misalnya, ameliorasi yaitu kata yang awalnya
cenderung negatif lalu berubah menjadi positif. Misalnya kata ceramah, awalnya
bermakna cerewet atau banyak mencela, lalu bergeser maknanya menjadi sesuatu
yang lebih terhormat yaitu menyampaikan ilmu-ilmu agama.
Lainnya, misalnya pergeseran peyoratif
yaitu perubahan makna bahasa ke arah yang lebih jelek, makna baru yang lahir
kurang menyenangkan. Dalam hal ini termasuk kata Bajingan ini.
Ada dua karya yang banyak dikutip oleh
media-media saat ini untuk menjelaskan pergeseran makna Bajingan secara
spesifik, yaitu Konstruksi Makna Kata
Bajingan, studi etnografi di komunitas kusir gerobak sapi di Bantul, Jogja.
Sama Perancangan Buku Nilai
Sejarah dan Filosofi Mataram Islam Pada Gerobak Sapi. Kedua karya ini menjelaskan
bahwa makna Bajingan bergeser dari kusir gerobak sapi menjadi makian.
Ada banyak faktor yang membuat terjadinya
pergeseran makna bahasa. Bisa karena relasinya dengan kata lain secara gramatikal,
misalnya ibu dan kota jadi Ibu Kota. Ibu bukan lagi sebagai ibu yang melahirkan
anak dalam hal ini, melainkan suatu tempat, pusat pemerintahan suatu negara.
Atau karena eufemisme atau penghalusan, kayak kata anjing jadi anjai.
Atau bisa juga karena penggunaannya di
masyarakat itu sendiri. Seperti hasil dua riset tadi, bahwa Bajingan itu saat
naik gerobak sapi sering telat. Bajingan juga acap kali diminta untuk mengawal
gerobak orang-orang kaya, dari situ kemudian jadi ucapan hingga maknanya
menjadi makian.
Sehingga secara konvensi, hari ini,
Bajingan itu bermakna memaki bukan memuji. Dalam KBBI dimaknai penjahat atau
pencopet bukan lagi kusir gerobak sapi. Begitu juga dengan tolol makna
leksikalnya bodoh, yang itu juga makian. Karena itu, dalam situasi komunikasi
yang normal tidak ada orang memuji atau mengkritik dengan menggunakan kata
Bajingan atau tolol.
Kecuali ada konteksnya. Misalnya konteks
keakraban. Dua orang yang sangat berteman akrab, situasinya juga situasi sedang
bercanda atau keakraban. Lalu bilang Bajingan
bojomu ayu tenan, misalnya. Maka Bajingan dalam situasi ini adalah pujian
dan keakraban, dan itu bisa direspons dengan gelak tawa.
Tapi kalau kita melihat situasi antara Rocky
Gerung dan Presiden Jokowi tidak ada
keakraban, bahkan mungkin juga tidak saling berteman. Situasi Rocky Gerung
melontarkan makian itu juga bukan suasana keakraban. Dia lagi serius mengkritik
langkah Presiden Jokowi terkait investor pembangunan IKN yang kemudian disertai
dengan ujaran Bajingan yang Tolol.
Jadi tidak ada suasana keakraban, apalagi pujian.
Berarti frasa Bajingan yang Tolol dilihat dari konteks dan teksnya memang untuk memaki
bahkan menghina. Tapi bukankah Rocky Gerung sedang mengkritik saat itu? Iya
mengkritik lalu memaki dan menghina, itu bisa saja terjadi. Apakah boleh
mengkritik lalu menghina, ini soal lain. Yang perlu ditegaskan bahwa menghina
dan mengkritik adalah dua hal yang berbeda.
Dalih
Rocky Gerung
Berikutnya, ini yang sering dipakai
sebagai sebuah alasan oleh Rocky Gerung. Dia tidak menghina pribadi pak Jokowi,
tetapi menghina presiden, sebuah jabatan, fungsi atau lembaga yang dianggap hal
biasa dalam negara demokrasi. Dia memisahkan secara konseptual Jokowi sebagai
presiden, pribadi, ayah, atau bahkan pengusaha.
Itu memang berbeda secara konseptual,
tapi semua itu melekat pada satu sosok, yaitu Jokowi. Tidak bisa, misalnya,
presiden Jokowi terjerat kasus korupsi, lalu yang dihukum hanya presidennya,
sementara pribadinya, sosok ayahnya dan pengusahanya ditinggal di rumah. Sepertinya
ini tak masuk akal.
Jadi menghina presiden Jokowi sekaligus
mengenai pada pribadinya. Karena itu, memaksa bahwa hanya menghina jabatan
presiden hanyalah cara untuk ngakali delik hukum saja. Apalagi sejauh ini Rocky
Gerung sudah biasa melontarkan makian dan selalu lolos dari delik.
Kali ini dosis makiannya ditingkatkan
oleh dia, dari biasanya kata dungu
menjadi frasa Bajingan yang Tolol.
Semoga tidak over dosis. Jadi saya menyimpulkan bahwa ujaran Rocky Gerung itu
adalah memaki dan menghina presiden Jokowi.
Apakah
Harus Dipenjara?
Selanjutnya, apakah dia harus dipenjara
gara-gara memaki Presiden Jokowi? Ini tentu persoalan lain lagi. Karena itu
delik aduan bergantung pada pihak yang merasa dihina. Tampaknya Jokowi tidak
mempermasalahkan ujaran itu.
Dalam sejarah demokrasi, memaki kekuasan
itu biasa dan sering terjadi. Walupun juga memakan korban. Dalam sejarah demokrasi
paling tua, di Athena, Yunani Klasik, kita mengenal Sokrates. Dia dihukum mati
gara-gara mengkritik dan memaki kekuasaan kala itu. Barangkali Rocky Gerung
hari ini ingin menjadi Sokrates, ya nggak
apa-apa juga.
Nyatanya, presiden Jokowi tidak atau
belum melaporkan makian Rocky Gerung itu. Dia malah bilang, itu hal-hal kecil
saja dan memilih fokus bekerja. Makian itu meskipun dosisnya sudah ditingkatkan
oleh Rocky Gerung nggak ngefek pada
Jokowi.
Memang sebagai pejabat publik di suatu
negara yang ingin menjadi demokratis harus kuat, kuat dengan kritik, dengan
makian dan bahkan hinaan. Begitulah konsekuensi bagi seorang pemimpin, memang
tidak mudah menjadi pemimpin. Makanya, Suharto di era Orde Baru banyak
menghabisi aktivis, karena tak siap dengan kritik. Untungnya, Rocky waktu itu belum
jadi presiden Akal Sehat.
Jadi poin pentingnya, apa yang dikatakan Rocky Gerung itu adalah sebuah makian dan bahkan hinaan. Tetapi, apakah perlu menghukum orang yang menghina pejabat publik karena kebijakannya di era demokrasi ini, menurut saya tidak perlu. Biarlah publik yang menilai dan menghukum secara moral seorang penghina itu.
0 Komentar