Oleh: Herlianto. A
Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Foto/edited
Mazhabkepanjen.com - Muhaimin Iskandar dan dan Anies Baswedan
resmi berpasangan sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu
2024 mendatang. Pasangan kejutan yang membuat sebagian kagum, sebagian lainnya
marah, merasa ditipu, dan ada yang hanya bilang “Memang Cak Imin Cerdik.”
Pasangan ini adalah pasangan paling
sensasional sejak pemilu 2014 kemaren. Pembacaan politik tentang mereka sudah
banyak, tapi ada satu hal yang dilupakan, yaitu keduanya berasal dari dua
organisasi mahasiswa esktra kampus yang memiliki dinamika tersendiri dalam
sejarah pergerakan Indonesia. Organisasi itu adalah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Anies adalah kader HMI, tepatnya HMI MPO(Majelis Penyelamat Organisasi). Walaupun dia tidak pernah menjabat sebagai
ketua PB HMI, tetapi dia pernah menuliskan posisi penting dalam sejarah HMI,
yaitu ketika dia menjadi majelis penyelamat organisasi HMI dari tuntutan orde
baru untuk memberlakukan asas tunggal yaitu Pancasila pada semua organisasi.
Ini terjadi sekitar tahun 1986an.
Sementara itu Cak Imin, yang belakangan
panggilannya diubah menjadi Gus Imin, punya posisi lebih mentereng di PMII. Dia
pernah menjabat sebagai ketua PB PMII pada periode 1994-1997. Artinya, keduanya
pernah sama-sama mencatat sejarah di organisasi mahasiswanya masing-masing.
Gerbong-Gerbong
PMII dan HMI
PMII dan HMI adalah organisasi mahasiswa
di Indonesia yang dinamika sejarahnya menarik. Kader-kader kedua organisasi ini
di akar rumput juga sering kali panas. PMII dan HMI sering cekcok, biasanya
menjelang rekrutmen anggota baru atau pemilihan presiden kampus. Ya begitulah
mereka belajar berpolitik.
Baca Juga: Segenggam Kekuasaan dan Sekeranjang Kebenaran
Sudah bukan rahasia lagi, misalnya,
mereka menjadi gerbong-gerbong tersendiri dalam jabatan politik tertentu.
Ketika kader HMI menjabat posisi penting dalam suatu jabatan, bisa dipastikan
turunan dari jabatan itu akan banyak diisi kader HMI, pun sebaliknya dengan
PMII. Kalau ingin bukti, lihatlah kementerian yang dipimpin oleh kader-kader
dua organisasi ini.
Saya pernah diceritakan seorang teman.
Kata dia, ketika terjadi bongkar pasang struktur di pusat. Maka begini
modelnya: “yang Jogja ngumpul di sini, Jakarta di sana, dan Bandung di sana.
Lalu yang dari Jogja ini ditanya lagi mana yang UGM, mana UII, UNY. Nanti
setelah ngumpul UGM, ditanya lagi, HMI mana dan PMII mana,” katanya. Jadi
begitulah proses seleksi itu.
Pecahnya
HMI
Sejatinya kalau mau diurut, PMII lahir
dari HMI, walaupun lahir dari sebuah ketidakpuasan. Pada mulanya hanya HMI yang
lahir pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta. Di masa orde lama, dengan sistem
multi partai menempatkan para mahasiswa beserta organisasinya ladang potensial
sebagai penerus ideologi, pendulang suara, dan tentu juga penerus kepemimpinan
partai.
Karena itu, menjadi hal wajar ketika
organisasi mahasiswa sekaligus menjadi underbow
partai politik. Misalnya, PNI punya GMNI, PKI punya CGMI, dan HMI sendiri ke
Masyumi. Saat itu, di HMI-lah berbagai latar belakang mahasiswa Islam
bergabung. Pada 25 Desember 1949 pada kongres Muslimin ke II di Gedung Seni
Sono Yogyakarta muncul sebuah ikrar bahwa satu-satunya organisasi mahasiswa
Islam adalah HMI. Perjanjian ini yang kemudian disebut Perjanjian Seni-Sono.
Ikrar yang sama pernah dilakukan oleh
Masyumi pada 7 November 1945, bahwa satu-satunya partai Islam adalah Masyumi.
Akan tetapi pada tahun 1952 gejolak di tubuh Masyumi terjadi, ada yang
mengatakan penyebabnya adalah persoalan modernis dan tradisionalis. Tetapi
Sejarawan MC Ricklefs mengatakan penyebabnya adalah karena menteri agama tidak
diberikan kepada Wachid Hasyim, ini yang membuat kaum tradisionalis (kalangan
NU) kecewa.
Baca Juga: Masa Depan Idealisme Mahasiswa: Sebuah Tabularasa
NU kemudian keluar dan membentuk partai
sendiri. Masyumi pecah. HMI pun pecah. Ada Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM)
ikut golongan modernis, Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia (SEMI) ikut PSII,
dan PMII sendiri ikut partai NU.
PMII resmi lahir pada 17 April 1960 di
Surabaya, yang mengakomodir beberapa organisasi mahasiswa Nahdliyin yang
sebelumnya bersifat lokal seperti Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) di
Jakarta, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di Surakarta dan Persatuan
Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU) di Bandung. Organisasi ini pertama kali
diketuai oleh Mahbub Junaidi, yang tak lain adalah mantan aktivis HMI.
PMII
dan HMI Kompak
Peristiwa historis inilah yang membuat
dua organisasi ini terus dinamis hingga hari ini, kadang berseberangan dan
kadang berangkulan. Pada era 1963an, HMI berkonfrontasi dengan PKI dan CGMI.
Tuntutan pembubaran HMI muncul di mana-mana. Organisasi ini dianggap kontra
revolusi. Maka, PMII ikut serta menyelamatkan saudara tuanya itu.
Baca Juga: HMI: Tantangan, Tuduhan dan Survivalitas
Saat itu, PMII bergabung bersama IMM dan
Ansor membentuk Gerakan Muda Islam (Gemuis). Kelompok inilah yang membuat
counter isu terhadap upaya pembubaran HMI. Muncullah spanduk-spanduk
bertuliskan “Langkahi Mayatku Sebelum Ganyang HMI.”
Pada era 1998 di akhir kekuasaan
otoriter Suharto, PMII dan HMI juga membentuk satu poros penting yaitu kelompok
Cipayung bersama GMNI, PMKRI dan GMKI. Kelompok ini sedikitnya turut berkontribusi
bagi lahirnya reformasi.
Sejarah panjang aktivisme HMI dan PMII
inilah yang membuat banyak kader-kader mereka kini menempati pos-pos penting
dalam struktur bernegara republik ini. Namun memang belum pernah ada presiden
yang berasal dari dua organisasi ini. Kali ini, mereka berdua mencoba peruntungan
dengan menduetkan Anies kader HMI dan Cak Imin kader PMII sebagai bakal calon
presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024.
Sejauh ini kiprah kader-kader dua
organisasi ini normal, ada yang bagus dan ada juga yang bosok. Ada yang
berprestasi, ada yang terjerat korupsi. Yang terjerat korupsi salah satunya
Anas Urbaningrum mantan ketua PB HMI periode 1997-1999 dan Surya Darma Ali
ketua PB PMII periode 1985-1988.
Anas Urbaningrum terjerat kasus korupsi
Hambalang sementara Surya Darma Ali terjerat kasus korupsi penyelenggaraan
haji. Ini hanya dua contoh saja, yang lain masih banyak.
Sementara yang terbilang berprestasi
misalnya Mahfud MD, Menkopolhukam, dari HMI dan Khofifah Indar Parawansa,
Gubernur Jatim, dari PMII. Ini juga hanya dua contoh saja, yang lain masih
banyak.
Nah, akankah pasangan Anis-Cak Imin membanggakan organisasi mahasiswa yang pernah membesarkannya, ataukah sebaliknya. Tentu saja, kita belum bisa menilai karena mereka masih sebatas bakal calon. Tetapi menduetkan kader PMII dan HMI di level pemilihan presiden dan wakil presiden republik ini adalah sesuatu.
0 Komentar