Oleh: Herlianto. A
Mahfud MD dan Sultan Agung sebagai ilustrasi. Foto/MK |
Mazhabkepanjen.com - Mahfud MD, Jawa dan Madura, saya kira menjadi topik perbincangan yang sangat menarik saat ini. Bukan hanya karena Mahfud MD menjadi satu-satunya orang Madura dalam sejarah Indonesia modern yang menjadi calon wakil presiden, yang itu pun juga belum tentu menang, tetapi lebih dari itu bagaimana peradaban antar dua pulau dan dua bangsa ini saling bertemu dan bersitegang dalam sejarah.
Orang Madura hingga hari ini, kalau mau pergi ke Jawa mengatakan ongghe (naik). Ketika dia mau pulang ke Madura dari Jawa, maka dia akan bilang toron (turun). Apa maknanya? Apakah letak geografis pulau Jawa jauh lebih tinggi dari Madura, sehingga kalau ke Jawa berarti naik. Tidak juga. Ini sebuah anggapan peradaban bahwa Jawa lebih beradab dari Madura. Ada yang bilang, kualitas manusia Jawa adalah grade A sementara Madura grade C.
Makanya, begitu jembatan Suramadu dibangun dan beroperasi pada 2009 lalu, salah satu budayawan Madura terkemuka, D Zawawi Imron, berharap tak ada lagi istilah ongghe dan toron antara Jawa dan Madura, karena berarti sudah setara dan tersambung. Saya membaca harapan sang penyair ini adalah kesetaraan dalam segala hal, kesetaraan akses pendidikan, akses ekonomi, pembangunan manusia, pertanian, industri dst.
Baca Juga: 5 Buku Logika Bikin Kami Berpikir Tertata
Indeks Pembangunan Manusia Madura
Tetapi sepertinya itu tidak betul-betul terjadi. Kalau kita lihat misalnya, satu saja, soal Human Development Index (HDI) atau indeks pembangunan manusia di Jawa Timur tahun 2022. HDI ternedah ada di kabupaten Sampang dengan skor 63,39 disusul kemudian Bangkalan 65,06. Adapun Pamekasan yaitu 66,99 dan Sumenep 67,87. Sumenep dan Pamekasan meskipun bukan paling rendah tetapi masuk papan bawah.
Ini artinya apa? Manusia Madura dibiarkan berada di grade C. Bahasa pendeknya, orang Madura dibiarkan kurang cerdas. Pendidikan tidak berkembang dengan baik, atau mungkin model-model pengajaran dan fasilitas pendidikan di sana tertinggal dari Jawa.
Coba bandingkan misalnya dengan daerah yang tidak terlalu jauh dari Madura, Sidoarjo yaitu 81,02, Gresik 77,16, Surabaya 82,74. Sangat tinggi sekali. Jadi daerah-daerah ini menempati puncak terbaik indeks pembangunan manusia di Jawa Timur, ini yang mungkin disebut grade A.
Persoalannya mengapa begitu timpang? Bukankah Madura sudah tersambung dengan Jawa melalui Jembatan Suramadu? Benarkah manusia Madura dibiarkan tidak berkembang? Ekonominya juga tidak berkembang. Hari ini lagi trend orang Madura membuka toko kelontong di kota-kota besar seperti, Jakarta, Tangerang, Jogja, Bali, Malang, hingga Surabaya.
Baca Juga: Bajingan Tolol Menghina Secara Linguistik
Yang itu kadang agak terasa miris, karena selain tidak mesti semua berhasil, mereka juga harus bekerja 24 jam nonstop setiap hari dengan penjaga 2 orang. Ini rata-rata. Bayangkan? Dan, itu kadang mereka bekerja bukan milik mereka sendiri, tetapi bekerja pada orang. Ini mestinya menjadi perhatian menteri tenaga kerja.
Inilah satu indikasi perekonomian di Madura tidak berputar dengan baik. Madura dikenal tanah garam, tetapi nyatanya buruh produksi garam tak kunjung sejahtera, malah negara masih impor dari India, otomatis harga garam kacau lagi.
Maka wajar bila sering ramai upaya untuk mendeklarasikan Madura sebagai provinsi yang mandiri yang terpisah dari Jawa Timur. Hal itu sebagai wujud ketakpuasan warga Madura terhadap pemerintah Jawa Timur.
Kembali ke Mahfud MD, apakah andaikan saja, dia terpilih sebagai wapres akan membuat manusia Madura membaik dengan lebih cepat? Sulit juga untuk bisa mengatakan iya. Bisa jadi hanya sebatas sebuah kebanggaan belaka bahwa pernah ada orang Madura yang menjadi orang nomor dua di republik ini. Tak lebih.
Sejarah panjang Madura memang selalu dikangkangi oleh peradaban Jawa, bahkan sejak Indonesia pra modern. Coba saja dicek posisi manusia Madura sejak Kerajaan Singosari, Majapahit, Demak, hingga Mataram. Semuanya, saya mengistilahkan berada di the second position (posisi kedua).
Raja Arya Wiraja atau Banyak Wide, yang menjadi kebanggaan warga Sumenep ternyata adalah kiriman dari Singosari. Dalam kisah kitab Pararaton ditulis bahwa Arya Wiraraja diturunkan jabatannya dari Nayapati (penasehat raja) menjadi Adipati di “tanah merah” oleh Kertanegara, Raja Singosari, pada tahun 1.300an. Tanah merah dalam hal ini adalah tanah Madura, jadi sebutan tanah merah ini adalah tanah yang gersang saat itu. Sepertinya ada benarnya, tanah Madura cenderung berkapur dan tidak sesubur di Jawa.
Lalu, setelah Singosari hancur. Berdirilah Majapahit, dan ternyata salah satu ahli siasat Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit hingga dia mampu mengalahkan Jaya Katwang, raja Gelang-Gelang, adalah Arya Wiraraja. Konon ketika Raden Wijaya membebaskan Hutan Tarik yang menjadi tempat pembuangannya, banyak orang-orang Madura yang digerakkan oleh Arya Wiraraja untuk membantunya.
Yang paling heroik mungkin kisah, Raden Trunojoyo, yang merupakan cucu dari Cakraningrat I atau bernama Praseno. Cakraningrat I adalah ipar Sultan Agung dari Mataram. Jadi begitu Mataram menyerang Madura pada tahun 1624, dinasti Ario Menger, yang masih keturunan Raja Majapahit yaitu Lembu Petteng, dihabisi oleh Mataram, sampai kukut.
Hingga menyisakan satu orang yang diselamatkan sebagai tawanan perang yaitu Raden Praseno. Dia dibesarkan di Mataram dijadikan abdi keraton. Dia berperilaku baik lalu dijadikan anak angkat Sultan Agung, diapun memperoleh pendidikan Keraton. Lalu dinobatkan sebagai pemimpin Madura dengan gelar Cakraningrat I pada 23 Desember 1624 bertepatan dengan Grebek Maulud. Tanggal ini kemudian menjadi hari jadi Kabupaten Sampang.
Tak hanya itu, Praseno juga dinikahkan dengan adik Sultan Agung yang dikenal sebagai Ibu Ratu Air Mata oleh orang Madura. Sepeninggal Cakraningrat I, kekuasaan diturunkan pada Cakraningrat II. Nah, anak dari seorang selir Cakraningrat II inilah yang akan memberontak dan bahkan meluluh lantakkan Mataram. Dia adalah Raden Trunojoyo.
Sejarawan Ricklef menceritakan bahwa Trunojoyo sempat berkomplot dengan Amangkurat II atau Adipati Anom, untuk menggulingkan Amangkurat I yang sudah tua. Amangkurat II khawatir tidak menjadi putra mahkota Mataram. Janjinya pada Trunojoyo adalah kekuasaan yang independen di Madura.
Misi dimulai oleh Trunojoyo, dengan menggeser Cakraningrat II ke Kediri. Lalu bergerak menaklukkan Surabaya, Lasem, Demak, Rembang, Semarang, Tegal hingga Cirebon. Dalam misi ini Trunojoyo dibantu pasukan Karaeng Galesong, pendukung Sultan Hasanuddin yang lari setelah penaklukan kerajaan Goa oleh VOC, dukungan juga datang dari Kasultanan Banten dan Panembahan Giri di Surabaya.
Hingga akhirnya Trunojoyo berhasil mengobrak-abrik keraton Mataram di Plered kawasan Bantul Yogyakarta pada 2 Juli 1677. Mataram dikuasai, konon sebagian pusaka Mataram juga sudah berhasil diraih oleh Turnojoyo. Amangkurat I lari menju Tegal dan tewas di perjalanan.
Tetapi, Amangkurat II malah khawatir dengan kekuatan Trunojoyo dan menyerang balik anak Madura itu. Sepeninggal Amangkurat I, Adipati Anom mendirikan kerajaan di Surakarta sekaligus minta bantuan VOC dengan syarat separuh kerajaan diserahkan pada VOC. Maka terjadilah pertempuran di Jawa Timur antara VOC yang dibantu pasukan Arung Palakka dengan pasukan Trunojoyo. Singkatnya, Trunojoyo berhasil ditangkap di sekitar Gunung Kelud dan dihukum.
Trunojoyo yang dulu kawannya dihukum mati pada 2 Januari 1680. Dia dieksekusi langsung oleh Amangkurat II. Sebelum menusukkan kerisnya dia berkata pada Trunojoyo “aku ampuni kamu dan mengangkatmu sebagai adipati Madura” lalu keris itu ditusukkan hingga Trunojoyo tewas. Memang Amangkurat II dikenal kejam, sejarah mencatat dia membunuh ratusan ulama pada masa kekuasaannya.
Dari cerita ini, ada anggapan bahwa kerajaan Madura selalu menjadi sub dari kekuasaan kerajaan Jawa. Dari situlah barangkali istilah ongghe dan toron itu diasalkan dan digunakan oleh warga Madura.
Kalau kita baca “Bumi Manusia” karya besar Pramoedya Ananta Toer, maka peran manusia Madura diwujudkan dalam bentuk Darsam. Lelaki berkumis tebal, bekerja sebagai kusir yang mengantar kemana pun Nyai Ontosoroh dan anaknya Annelies mau pergi.
Dia juga pelindung bagi Minke. Dia emosional, senjatanya celurit. Saya tidak tahu apakah Pram memasukkan Darsam dalam novel mashurnya itu dalam rangka sebatas pemeran sampingan. Atau itulah kognisi sosial yang ditangkap oleh semua orang termasuk Pram tentang manusia Madura. Semacam stereotyping tentang Madura.
Lalu bagaimana dengan Mahfud MD, apakah dia menjadi petanda bahwa manusia Madura sudah levelnya setaraf dengan Jawa. Akankah dia se-tragis Raden Trunojoyo dalam politik nasional nanti, atau se-strategis Arya Wiraraja bagi Majapahit, atau sebatas penerima hadiah seperti Caktaningrat I dari Sultan Agung. Atau bagaimana?
Apapun bisa terjadi, termasuk Mahfud dan Ganjar bisa menang atau kalah. Tetapi sepertinya, banyak orang Madura yang memberikan dukungan pada Mahfud MD. Baik orang Madura yang berada di tanah Madura maupun “Madura Pandalungan” atau Madura keturunan yang tersebar di wilayah Tapal Kuda Jawa Timur, seperti Probolinggo, Bondowoso, Lumajang hingga Situbondo. Selebihnya kita lihat saja nanti.
0 Comments