Oleh: Herlianto. A
Aristoteles. Foto/edited |
Materi itu kekal sekalipun atribut-atribut materi itu berubah. Misalnya, dari pohon beruba jadi papan, berubah jadi kursi, jadi arang, jadi unsur hara tumbuhan, dst. Atribut-atribut itu berubah, tetapi ia sebagai materi tidak berubah, tetap materi. Ini yang dikenal sebagai kekekalan materi, bahwa materi tidak bisa diadakan dan dihilangkan dengan cara apapun.
Misalnya lagi, manusia bernama Sokrates meninggal dunia, jadi tanah, lalu tumbuh pohon, buahnya dimakan jadi sperma dan jadi manusia lagi, itu semua tetap materi. Materi itu tidak bertambah dan tidak berkurang, begitulah adanya.
Ragam Materi bagi Filsuf Klasik
Perbedaan jawaban di antara para filsuf klasik terjadi ketika ditanya apa unsur materi yang paling kekal? Kata Thales air, kata Anaximenes udara, Herakleitos menjawab api, kata Demokritos atom, kata empedokles empat unsur: tanah air api dan udara, sementara Anaxagoras menyebut sepermata.
Cara pandang materialisme unsur-unsur inilah yang dikritik oleh Aristoteles. Walaupun dia tidak menolak materi sebagai salah satu sebab adanya sesuatu, hanya saja materi saja tidak cukup untuk menjelaskan ragam eksistensi dan perubahan yang terjadi di semesta.
Bagi Aristoteles, materi tidak bisa mengubah dirinya menjadi sesuatu yang lain, kayu tidak bisa mengubah dirinya menjadi kursi, emas tidak bisa mengubah dirinya menjadi cincin, dst. Materi membutuhkan sesuatu yang ada di luar dirinya yang bisa menggerakkan sehingga ada perubahan pada dirinya.
Beberapa filsuf Pra Sokrates sebetulnya ada yang memberi penjelasan soal gerak ini. Anaxagoras misalnya menyebut ada Nous (intellek/akal). Nous ini yang menyebabkan segala perubahan pada materi.
Empedokles menyebut cinta dan benci sebagai penggerak, cinta menyatukan dan benci mengurai. Seperti orang menggambar, anasir bagi Empedokles ini ada empat itu: tanah api air udara, cinta itu seperti kuwas yang mengaduk-aduk beberapa warna atau anasir sehingga jadi satu karya yang bagus, sementara benci itu seperti minyak yang bisa mengencerkan cat, sehingga pudar lagi.
Lalu Demokritos menyebut ada ruang kosong, jadi di antara atom-atom yang jumlahnya tidak terbatas ada ruang kosong yang memungkinkan mereka bergerak dan berkelompok dengan yang sama dan menjadi sesuatu.
Tetapi kata Aristoteles penjelasan mereka soal sumber gerak ini masih amatir, seperti tentara yang tidak terlatih, kata dia. Hanya karena bingung untuk menjelasakan beragam macam perubahan, lalu dibuatlah spekulasi yang masih mentah itu. Seperti cinta, cinta itu sebab tujuan bukan gerak, termasuk Nous bagaimana ia bisa menggerakkan kalau ia sendiri tidak bergerak. Tetapi setidaknya, dalam rangkuman Aristoteles, para filsuf Pra Sokrates itu sudah menemukan dua sebab, yaitu sebab material dan sebab gerak.
Kritik Pada Pythagoras
Lalu bagaimana dengan Pythagoras bahwa matematika (angka) adalah prinsip dari segala sesuatu. Segala sesuatu bisa diangkakan, bahkan musik yang tidak bisa kita pegang tetapi bisa dirasakan itu masih bisa diangkakan. Angka berada pada seluruh alam material. Unsur-unsur bilangan merupakan unsur-unsur dari segala sesuatu.
Kata Pythagoras, keseluruhan tatanan alam itu memiliki kesesuaian dengan bilangan. Misalnya, 10 itu adalah angka yang utuh, ini sesuai dengan 10 objek material jagat raya yang beredar di langit, pada waktu itu punya keyakinan astronomi seperti itu.
Lalu 10 ini juga sebagai prinsip dari segala sesuatu: 1) terbatas dan tak terbatas; 2) ganjil dan genap; 3) kesatuan dan pluralitas; 4) kanan dan kiri; 5) laki-laki dan perempuan; 6) diam dan gerak; 7) lurus dan lengkung; 8) terang dan gelap; 9) baik dan jahat; 10) bujur sangkar dan persegi panjang. Ini kayaknya sepekulasi, karena kalau kita cari pasangan-pasangan begitu masih banyak, misalnya besar-kecil, gemuk-kurus, ganteng-jelek, dst.
Namun, kata Aristoteles, kaum Pythagorean tidak menjelaskan bagaimana angka-angka itu menjadi sebab bagi sesuatu. Alih-alih Pythagorean menjelaskan sebab sesuatu, malah mereka asyik mendeskripsikan sesuatu. Tetapi ketika menyebutkan angka sebagai sumber sebab, sejatinya tidak berbeda dengan filsuf naturalis lainnya. Artinya tetap sama menganggap, ada usur utama namun tak ada gerak yang menyebabkan.
Pandangan angka Pythagoras ini diamini oleh Plato muda kata Aristoteles. Yang saat itu juga dipengaruhi oleh Herakleitian yang menganggap segala sesuatu berubah. Plato banyak mengubah cara pandangnya, kata Aristoteles, setelah berguru pada Sokrates, yang cenderung memcari hal-hal universal atau esensial.
Menyoal Plato Muda
Berkaitan dengan angka, semesta dan sebab utama, Plato muda kata Aristoteles, meletakkan tiga hal yaitu yang inderawi, matematika dan Forma. Forma ini nanti yang menjadi sebab utama.
Yang inderawi tidak bisa menentukan esensi dari sesuatu karena terus berubah. Yang inderawi itu memiliki ide atau bentuknya masing-masing yang tidak terhitung jumlahnya. Karenanya tidak bisa menjadi esensi dari segala sesuatu. Bentuk kursi rotan, bentuk kursi kayu, kursi busa, dst.
Tetapi dari yang inderawi ini bisa ditarik yang esensial bagi segala sesuatu. Bentuk masing-masing kursi itu akan memunculkan ide “kekursian”, yang disebut eidos atau Forma. Forma ini ada pada segala sesuatu, dialah yang menjadikan sesuatu itu sebagai sesuatu, atau yang membuat sesuatu memiliki esensi.
Kursi-kursi partikular itu eksis karena terhubung dengan Forma kekursian. Di sini kata Aristoteles, Plato hanya mengubah istilah Phytagoras, kalau kata Phytagoras segala sesuatu eksis sebagai imitasi dari angka, bagi Plato segala sesuatu eksis sebagai imitasi dari eidos atau Forma. Ini yang membuat Plato disebut memiliki ajaran dualisme dunia. Dunia ide dan dunia partikular, padahal bukan begitu maksudnya, termasuk menurut Aristoteles tidak begitu maksudnya.
Cuma persoalannya apa yang dimaksud imitasi, ini sepertinya belum ada elaborasi yang jelas, kata Aristoteles. Lalu bagaimana dari Eidos atau Forma bisa bertemu dengan realitas partikular, kok bisa ada imitasi? Bagaimana kekursian menyebabkan beragam kursi? Yang satu bisa menyebabkan yang banyak?
Kata Plato karena ada objek-objek matematika sebagai perantara kekursian dan kuris partikular. Objek matematikan itu tidak berubah, tidak seperti realitas inderawi atau realitas partikular. Tetapi objek-objek matematika ada banyak tidak tunggal, tidak seperti Forma atau eidos.
Angka-angka matematis inilah yang menjadi jembatan imitasi antara Forma dengan realitas partikular, atau antara ide kekursian dengan kursi-kuris partikular tadi. Cuma persoalannya kata Aristoteles tak ada pembuktian apakah Eidos atau Forma itu eksis? Kalau ia tidak eksis bagaimana mungkin dia bisa menjadi sebab bagi yang eksis? Dalam filsafat Ibnu Sina, Forma ala Plato ini disebut universal alami, kulliat thabi’i.
Kemudian kalau dibalik, secara espistemik, kaum Platonis mendapatkan banyak hal dari materi, tetapi untuk menghasilkan yang banyak itu hanya diperlukan satu Forma. Padahal yang material lebih kongkrit dari Forma, apakah ini berarti yang inderawi lebih dulu dari Forma, artinya yang relatif lebih dulu dari yang absolut. Di sini Aristoteles menyebut Plato merusak eksistensi sesuatu yang kongkrit demi Forma tadi itu.
Anehnya lagi, meskipun Plato menjelaskan Eidos sebagai sebab gerak, tetapi tidak bisa menjelaskan dari mana gerak itu. Karena Eidos menjadi sebab yang diam, tidak bergerak. Bagaimana sesuatu yang tidak bergerak bisa menggerakkan? Kritik terhadap Plato ini ada cukup panjang, kita akan membahasnya secara khusus di artikel berikutnya.
Kritik untuk Parmenides
Lalu kritik bagi Parmenides dan Xenopahanes yang menyebut semesta ini tunggal, utuh dan tak bergerak. Kata Aristoteles, mereka hanya mengakui realitas korporeal, padahal entitas inkorporeal juga ada. Mereka menjelaskan penyebab penciptaan dan kehancuran tetapi tidak mengakui adanya sebab gerak. Bagaimana mungkin ada perubahan tanpa ada sebab gerak.
Sampai di sini kita melihat bagaimana Aristoteles mengonstruksi kritiknya pada para pemikir pra Sokrates. Tapi yang perlu dicatat meskipun Aristoteles mengkritik beberapa pandangan filsuf materialis itu, bukan berarti dia anti materi, justru dia nanti memiliki penjelasan yan menarik tentang materialisme. Bahwa bentuk atau Forma itu tidak berada jauh, ia berada bersama dengan materinya, yang kemudian dikenal sebagai teori hylemorfisme. Jadi kursi dan kekursian tidak terpisah, melainkan menyatu.
Saya cukup dulu untuk kritik Aristoteles atas pemikir Pra Sokrates. Berikutnya kita akan membahas secara lebih detail bagaimana kiritk Aristoteles terhadap metafisika Plato.
Cara Menerbitkan Artikel di Mazhabkepanjen.com
*) Naskah dikirim ke email: mazhabkepanjen21@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak menayangkan artikel yang tidak
sesuia dengan kaidah dan filosofi Mazhabkepanjen.com
0 Komentar