Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi nongkrong. Foto/Pinterest |
Mazhabkepanjen.com - "Posisi?", Ini pesan yang hampir setiap hari saya baca di chat WhatsAps dari setiap teman yang berbeda. Pertanyaan itu tidak sedang bertanya kita berada di mana, tetapi secara tersirat menunjukkan ajakan untuk segera "Ngopi".
Bagaimana bisa? Pertanyaan itu pasti disusul dengan ajakan berikutnya "mari ngopi". Saya pasti menyerah dengan ajakan yang paling menyenangkan ini. Awalnya, saya kira, saya saja yang mengalami ajakan-ajakan seperti itu, ternyata juga dialami oleh hampir semua teman saya yang secara kelas ekonomi menengah ke bawah, kalau bukan keras kere.
Sampai suatu ketika, teman saya merefleksikan kebiasaan nongkrong ini: apakah orang kaya ngopi setiap hari? Pertanyaan yang sebetulnya mengkritisi kebiasaan sendiri. Jawabannya, orang kaya bekerja setiap hari, bukan nongkrong setiap hari.
Dia lalu membuat kesimpulan sewenang-wenang, bahwa apa yang kami lakukan setiap hari adalah kebiasaan orang kaya, sementara itu orang kaya menjalani hidup orang miskin.
Pikiran normal atau common sense akan mengatakan orang miskin mestinya bekerja setiap hari agar bisa kaya, sehingga tak punya waktu untuk nongkrong dan orang kaya mestinya punya banyak waktu, karenanya bisa nongkrong setiap hari. orang miskin harus bekerja setiap hari untuk makan. Berhenti bekerja berarti, berhenti tidak makan, dan karenanya behenti bernapas alias mati.
Dua kebiasaan yang dideskripsikan dengan baik oleh Robert T Kiyosaki dalam buku Rich Dad dan Poor Dad, yang menjelaskan bagaimana harusnya orang miskin bisa kaya. Orang miskin mestinya pandai secara finansial: menabung, berinvestasi, gemar berbisnis, semangat bekerja dan membaca peluang untuk meningkatkan pasif income, bukan nongkrong setiap hari.
Kiyosaki masuk akal, dan begitulah fakta sejarah sebagaimana ditulis dalam banyak buku yang menunjukkan tips cara menjadi kaya. Tak ada orang kaya yang berleha-leha, dia harus bekerja keras setidaknya mengamankan aset dan investasinya. Dia harus memberi banyak motivasi pada karyawan agar semakin produktif menghasilkan laba, atau dalam bahasa Marxis nilai lebih (surplus value).
Orang yang dalam ritme seperti itu tentu saja tak akan sempat ngopi dan nongkrong setiap hari. Hari-harinya akan diisi dengan hal-hal produktif secara finansial. Mafhum mugallatohnya (logika terbaliknya) orang sering nongkrong tak mapan secara ekonomi, sering kekurangan rokok, pulsa tak ada, meteran listrik berbunyi, tagihan air menggantung di pagar, hingga jarum gas dapur di warna kuning.
Lalu
mengapa mereka masih terlihat begitu santai, ngopa-ngopi? Ini pertanyaan yang
kemudian kami pikirkan dalam-dalam?
Kami mulai dari proposisi "Semua orang ingin kaya" dari kelas manapun dan dari profesi apapun. Tapi fakta dunia, ini catatan Yuval Noah Harari dalam buku 21 Pelajaran untuk Abad ke-21, bahwa kekayaan seratus orang terkaya di dunia masih lebih banyak dari harta empat miliar orang miskin di dunia.
Apa yang terjadi? Mengapa demikian? Bisakah 4 miliar orang miskin menjadi kaya seperti seratus orang terkaya itu? Jawaban optimistisnya bisa, toh banyak orang kaya berangkat dari nol, begitulah sejarah Jackma, Mark Zukerberg, Choirul Tanjung hingga almarhum Bob Sadino menunjukkan pada mata kita semua.
From Zero to Hero, demikian kata motivator. Tetapi, struktur masyarakat, di semua masyarakat dunia, akan selalu melahirkan orang terkaya dan termiskin. Baik di era revolusi pertanian, revolusi industri, hingga revolusi digital. Makanya, pada setiap zaman selalu ada kelas, yang salah satunya ditandai oleh tingkat kekayannya.
Mengapa? Jawabannya hak milik. Selama hak milik ada, maka tak akan pernah ada kesamaan kekayaan. Karena begitu Anda kaya, maka Anda akan mempekerjakan orang lain yang tentu secara kekayaan ada di bawah Anda. Berarti problem ini hak milik?
Tidak juga sebetulnya, masyarakat tidak akan pernah tertata tanpa hak milik. Memang benar, karena itu tidak akan pernah ada pemerataan kekayaan. Masyarakat pemburu pengumpul, mungkin masih mending, di mana tak ada hak milik, tetapi masyarakat itu ternyata juga luruh dan berevolusi, lalu menjadi sejarah yang tak akan terulang, kecuali menurut "keyakinan" pegiat komunisme yang belakangan juga sudah mulai kehilangan keyakinan.
Jadi poinnya adalah hidup seperti orang kaya merupakan orang miskin menikmati hidup. Pada prinsipnya orang kayak ingin hidup tenang dan agar bisa punya banyak waktu luang, sehingga mereka mengumpulkan materi.
Cuma persoalannya, untuk memburu materi yang berlebihan,
jika dengan materi secukupnya kita sudah bisa hidup tenang dan memiliki banyak
waktu. Nalar ini benar juga. Walaupun tetap saja tidak punya uang itu tidak
enak. Jadi, tetaplah bekerja karena makanan tidak akan datang sendiri ke rumah
Anda, dan jangan lupa mensyukuri hasil kerja dengan menyiapkan waktu luang
untuk sekedar nongkrong dan membiarakan banyak yang itu bukan pekerjaan.
Cara Menerbitkan Artikel di Mazhabkepanjen.com
*) Naskah dikirim ke email: mazhabkepanjen21@gmail.com
*) Redaksi berhak tidak menayangkan artikel yang tidak
sesuia dengan kaidah dan filosofi Mazhabkepanjen.com
0 Comments