Eksistensialisme dan Ateisme Sartre, Manusia Dikutuk Bebas

Oleh: Herlianto. A

 

Jean Paul Sartre, pemikir eksistensialis Prancis. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com - Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Sehingga manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri, bebas menentukan esensinya sendiri. Dengan demikian Tuhan tidak punya peran apapun dalam setiap usaha manusia.

Tapi kita perlu hati-hati, memaknai eksistensialisme karena variannya ada banyak dan bahkan bisa saling bertentangan. Saya akan membahasnya dalam artikel ini dan secara spesifik eksistensialisme dan ateisme Sartre.

Sejak abad ke-19 boleh disebut berkembangnya ateisme dengan setidaknya dua model. Ada yang model kritik sains dan model kritik atas moral. Yang pertama ini dilakukan oleh tokoh-tokoh pengagum sains, seperti Ricard Dawkins, Daniel Dennett, Sam Harris dan Christoper Hitchens, atau dikenal dengan istilah The Four Hourseman (empat penunggang kuda). Bagi mereka agama sudah bangkrut karena sains sudah dan akan menjelasakan segalanya, segala hal yang dianggap pelik di dunia ini dijabarlan oleh sains.

Sementara dari sisi kritik moral, sebetulnya sudah muncul di abad-abad lalu, sebut saja Epikuros di era Yunani Klasik, misalnya, yang menganggap kita justru mengalam paradoks jika percaya tuhan.

Baca JugaHidup Sperti Orang Kaya, Padahal Orang Kaya Menjalani Hidup Orang Miskin

Tetapi yang muncul dari kalangan eksistensialis ini khas, terutama Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre. Bagi dua tokoh ini, moralitas itu tidak datang dari doktrin agama, tidak datang dari  kitab suci dan Tuhan, melainkan dari manusia itu sendiri. Manusialah yang membentuk moralitas karena eksistensinya mendahuli esensinya. Ini nanti akan saya elaborasi.

Tiga Jenis Eksistensialisme

Pada artikel ini saya akan membahas bagaimana Sartre sampai pada kesimpulan bahwa moral berasal dari manusia, tidak perlu Tuhan dan kitab suci dan bahkan Tuhan dianggap tidak ada. Dasar universal moral itu adalah humanisme bukan agama. Kira-kira ini hipotesanya.

Pertama, saya perlu meletakkan pemahaman atau pengertian soal eksistensialisme. Eksistensi itu berkutar di pertanyaan “adakah” sesuatu itu? Sementara esensi pada pertanyannya “apakah” sesuatu itu? Adakah pisau itu, ini pertanyaan eksistensialis, sementara apa itu pisau adalah pertanyaan esensialis.

Sepanjang yang saya tangkap, eksistensialisme hari ini memiliki tiga arus pemahaman besar. Pertama, eksistensialisme teis Katolik yang masih percaya Tuhan, seperti yang dianut Søren Kierkegaard, Carl Jasper, Gabriel Marcel, dan kawan-kawan. Mereka mengatakan bahwa pilihan kita pada agama itu adalah pilihan bebas dengan penuh kesadaran bukan keterpaksaan. Agama jangan terlalu diabstrakkan, ia harus disentuhkan dengan misteri-misteri pengalaman keseharian manusia.

Baca JugaAsal Usul Metafisika Ala Aristoteles

Kedua, eksistensialisme dalam Islam, misalnya yang dianut Mulla Shadra, dan beberapa pemikir Persia atau Iran belakangan. Pandangan ini melihat kemendasaran wujud atau asholatul wujud, mana yang lebih mendasar antara eksistensi sesuatu atau esensinya. Penjelasan sederhananya begini: katakanlah ada orang membuat pisau.

Dia bisa membuat pisau, karena ada bahan-bahan terlebih dahulu atau karena dia punya gambaran tentang pisau atau konsep pisau terlebih dahulu. Esensialis mengatakan gambaran pisau ada lebih dulu, makanya dia bisa bikin pisau, karena membuat sesuatu harus punya gambaran dulu tentang apa yang mau dibuat.

Eksistensialis mengatakan bahan-bahan ada lebih dulu, baru kemudian pisau bisa diwujudkan pada bahan-bahan itu. Tanpa adanya bahan bagaimana mungkin bisa membuat pisau sekalipun punya konsep pisau.

Mulla Sadra menekankan eksistensi inilah yang mendasar, ada dulu segala sesuatu, baru kita bisa membicarakan konsep-konsep atau esensinya. Ada yang maha Ada itu adalah Tuhan. Jadi arus ini juga teis walaupun berangkat dari cara berargumen yang berbeda dengan eksistensialisme Katolik.


Ketiga, eksistensialisme ateis, ini yang versinya Sartre. Satu buku menarik dan sistematis serta bukan model fiksi yang tulis oleh Sartre soal topik ini adalah Existentialism is a Humanism (eksistensialisme adalah humanisme).

Dalam buku ini, Sartre sebenarnya menjawab beberapa tuduhan-tuduhan yang melecehkan eksistensialisme sebagai gerakan pasifisme (atau Quetism), gerakan anarkis, gerakan pilihan bebas, dst. Eksistensiaslisme Sartre tidak demikian adanya.

Dia mengatakan bahwa sebelum abad ke 18 para pemikir itu meletakkan esensi mendahului eksistensi. Seperti dijelaskan sebelumnya, berarti konsep pisau ada lebih dulu ketimbang bahan-bahan pisaunya.

Eksistensi dan Esensi Manusia

Maka dengan alur logis yang sama, konsep manusia atau hakikat manusia itu mendahului adanya manusia itu sendiri. Dari mana konsep manusia itu datangnya, tak lain, datang dari agama, kitab suci atau Tuhan. Saat kita belum lahir, belum menjadi manusia, hakikat manusia sudah ada sebagaimana dirumuskan kitab suci. Sialnya, kata Sartre orang-orang di abad ke 18 itu sudah tidak percaya Tuhan, berarti esensi manusia hilang.

Maka berarti eksistensi manusia atau keberadaan manusia itu ada lebih dulu, baru kemudian dia bergulat dengan kehidupannya, kecemasannya, pengabaiannya, keputusasaannya, dengan cintanya, dst. Maka terbentuklah esensi manusia itu sendiri.

Jadi esensi manusia itu invensi, ditemukan secara kreatif oleh manusia setelah dia menggeluti hidupnya yang panjang dan rumit. Persis seperti seorang pelukis yang menggambar misteri hidupnya pada selembar kanvas. Jadi kehidupan itu sebetulnya kosong sebelum ia benar-benar ditinggali oleh yang hidup.

Konsenkuensi dari kemendahuluan eksistensi manusia ketimbang esensinya adalah kebebasan bagi manusia. Ucapana Sartre yang terkenal adalah man comdemned to be free (manusia itu dikutuk untuk bebas). Tak ada lagi determinisme di situ.

Manusia bebas sebelum dibentuk esensinya atau didefinisikan oleh agama dan hal-hal lain di luar dirinya. Jadi perbedaan manusia dengan berbagai hal, berbeda dengan batu, dengan tumbuhan, adalah perbedaan yang didapat setelah manusia berhasil mendefinisikan dirinya sendiri bukan karena definisi agama. Manusia adalah sebagaimana dia membentuk dirinya sendiri, bukan yang dibentuk oleh kitab suci.

Pandangan ini yang membuat eksistensialisme kadang disebut subjektivis karena berpangkal pada subjek yang membuat definisi. Tetapi kata Sartre, subjektivisme itu bisa bermakna dua. Pertama, sebagai kebebasan invidual dan kedua sebagai kebebasan yang tidak bisa melampaui subjektivitasnya. Artinya tanggung jawab tidak hanya pada dirinya yang bebas tetapi pada manusia yang lain. Sartre memilih yang kedua ini.

Dengan semangat kebebasan ini, bagaimana manusia bisa lepas dari pasifisme? Bukankah manusia bisa menikmati kebebasan dengan tanpa perlu melakukan apapun? Kata Sartre, nilai bagi eksistensialis selalu terkait dengan tindakan. Misalnya, cinta pasti tidak bisa dipisahkan dari tindak mencintai, tidak ada potensialitas cinta melebihi dari manifestasi mencintai. Makanya tujuan-tujuan manusia selalu terkait dengan tindak mewujudkan tujuan tersebut.

Bagaimana dengan humanisme, kok bisa eksistensialisme adalah humanisme? Kata Sartre yang terpenting dalam kebebasan manusia itu adalah komitmen untuk tujuan kemanusiaan. Tujuan ini pasti dipahami oleh setiap manusia dari daerah manapun dan di zaman apapun.

Tetapi bukankah kebebasan itu akan melahirkan pertikaian karena setiap orang akan merasa bebas sehingga dia boleh melakukan apapun? Jawabannya, tidak ada kebebasan yang tidak berhubungan dengan kebebasan orang lain.

Kebebasan saya, kata Sartre, berhubungan dengan kebebasan orang lain, begitu juga kebebasan orang lain berhubungan dengan kebebasan saya. Dengan demikian, saya harus menghormati kebebasan orang lain dan pada saat yang sama menghormati kebebasan saya sendiri.

Karena itu jika ada orang menyembunyikan totalitas kebebasannya di balik alasan deteministik yang berkedok kehidmatan atau kesalehan, saya sebut pengecut, kata dia. Begitu juga dengan orang yang menunjukkan seolah eksistensinya adalah niscaya dan mengabaikan yang lain padahal ia hanya satu bagian dari kebebasan, maka saya sebut orang itu sampah, lanjutnya.

Jadi, manusia sepanjang hidupnya adalah proses memproyeksikan dirinya atau membentuk esensinya sendiri pada setiap waktu dan di setiap zaman. Ia selalu berusaha melampui dirinya sendiri. Karena itulah manusia menjadi pusat nilai-nilai transenden. Tak ada universalitas selain universalitas kemanusiaan. Transendensi kemanusiaan ini dicapai karena manusia mampu melalui dirinya sendiri, bukan transendensi yang datang dari Tuhan.

Ada satu cerita yang dikisahkan oleh Sartre dari seorang mahasiswanya. Mahasiswa ini bapak-ibunya bercerai, kakaknya di bunuh oleh tentara Jerman saat Prancis dijajah. Di situ ada dilema pada mahasiswa, apakah dia ikut berperang membalaskan dendam kakaknya, atau dia tinggal bersama ibunya yang membutuhkan bantuannya.

Mahasiswa ini tidak bisa menemukan nilai dari luar yang bisa memberikan jawaban padanya. Jika menggunakan nilai Katolik, kata dia, ajaran moralnya: jika kamu ditampar orang di pipi kiri maka berikanlah pipi kanan. Ini tentu moralitas yang dianggap konyol.

Tetapi jika dia ingin berperang mau membunuh penjajah, ajaran moral Kantian bilang jangan menjadikan manusia sebagai tujuan. Membunuh untuk balasa dendam, adalah menjadikan manusia sebagai tujuan. Ini tidak bermoral. Jadi secara moral dia bingung, maka tak ada lain kata Sartre, dia harus menemukan sendiri nilai moralnya.

Jadi kesimpulan ateisme Sartre adalah bahwa nilai moral tidak lagi bersumber dari Tuhan dan kitab suci, melainkan dari manusia itu sendiri setelah sekian lama mempelajari dan mengonsepsi tentang hidupnya sendiri. Karena itu, tidak lagi diperlukan Tuhan, bahkan sekalipun Tuhan itu ada, tidak akan mengubah sudut pandang eksistensialisme ini, bahwa secara ekeistensial manusia itu bebas dan membentuk sendiri semua nilai-nilai moral hidupnya.  

Post a Comment

0 Comments