Guru Gembul dan Ust Wafi, Siapa Lebih Ilmiah?

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi. Foto Edited

Mazhabkepanjen.com - Setelah nonton debat kemaren antara Guru Gembul dan Ustaz Wafi, saya lebih senang. Karena tampaknya perdebatan nasab ini bergeser sedikit lebih maju. Sebelumnya saling klaim metode nasabnya. Terus-terusan ngomong otoritas, tanpa mempersoalkan apakah bersandar pada otoritas itu valid untuk sebuah pengetahuan hari ini atau tidak.

 Kali ini, Guru Gembul “dikeroyok” memperdebatkan yang ilmiah dengan orang-orang Rabitoh alawiyah, salah satunya adalah Ustaz Wafi. Ustaz Wafi mengatakan ilmiah itu dicapai melalui pancaindera yang sehat, kabar yang pasti yang disampaikan banyak orang atau oleh nabi melalui bukti mukjizat, dan melalui akal. Bagi Guru Gembul ini tidak ilmiah, bahkan dianggap teologis dan berbau tradisi.

Bagi Guru Gembul, ilmiah harus memiliki seperangkat metodelogi dan inderawi, atau bahasa yang lebih presisiempiris dan verifiable atau dapat diverifikasi. Berangkat dari dua pemahaman ini perdebatan antara Ustaz Wafi dan Guru Gembul berlangsung panjang lebar.

Walaupun saya lihat, dari definisi keduanya soal apa yang disebut ilmiah itu tidak semuanya berbeda. Pebedaannya hanya pada soal pengetahuan jalur kabar mutawatir, atau kabar yang disampaikan oleh banyak orang. Bagi Guru Gembul cara ini subjektif, tidak objektif. Sementara ilmiah itu harus objektif, dalam arti peran subjek harus dibuang jauh.

Subjek itu punya perasaan, punya emosi dan kecenderungan tertentu, sehingga data yang dihasilkan tidak akan pernah akurat dan tepat, selalu ada bumbu-bumbunya dan kepentingan si subjek.

Sementara di soal penerimaan indera dan akal dalam menghasilkan produk ilmiah, saya kira Guru Gembul dan Ustaz Wafi tidak ada perdebatan. Cara kerja ilmiah tidak murni inderawi. Misalnya, ilmiah itu punya hipotesis, pertanyaanya apakah hipotesis bersifat inderawi? Jelas kebutuhan pada hipotesis dalam penelian ilmiah adalah kebutuhan yang didasarkan pada nalar rasional bukan indera.

Temuan inderawi bersifat partikular. Sederhananya begini: kalau Anda memasak air di dapur indera hanya melihat air, panci, kompor, dan api, gas. Apa yang bisa dijelaskan atau disimpulkan dari semua benda-benda itu. Indera tidak bisa menyimpulkan apa-apa. Bahwa gas menyebabkan adanya api, dan api menyebabkan air panas, dan air panas yang menyebabkan uap, dst. Itu kesimpulan yang dibuat oleh akal bukan indera.

Kenapa akal bisa mengatakan demikian, ini diakui oleh banyak filsuf, bahwa akal punya kategori sebab akibat. Karena itu yang inderawi dan rasio bersifat linear bukan saling menegasi. Dan, memang yang disebut ilmiah hari ini, atau setidaknya yang dimaksud oleh Guru Gembul, ilmiah itu empiris.

Kalau kita lebih sedikit mendalam lagi, indera sebagai satu-satunya yang sahih untuk pengetahuan ilmiah itu tidak bersifat inderawi. Indera sebagai alat yang sahih, sebagai alat pengetahuan itu dibuktikannya secara rasional. Inilah betapa bahwa konstruksi ilmu pengetahuan itu tidak bisa dipisah-pisah.

Ada level data, informasi, pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Data itu misalnya gelas, 5 gelas, 10 gelas, itu data. Informasi misalnya 5 gelas berada di kamar rumahku mulai kemaren. Sementara pengetahuan itu menyingkap struktur yang mendasari. Misalnya, gelas itu dibuat dari kaca untuk tujuan minum. Ini pengetahuan. Sementara ilmu pengetahuan, ada konstruksi sebab akibat yang membuat kita memahami bahwa gelas itu dibuat dari kaca setelah menyimpulkan dari pengamatan.

Lalu bagaimana dengan kabar mutawatir? Kalau dilihat dari konsensusnya apakah ini ilmiah? Jelas ini tidak ilmiah. Karena konsensus ilmiah hari ini tidak memasukkan kabar mutawatir sebagai alat dan sumber pengetahuan. Maka secara konsensus kabar matawatir tidak ilmiah. Konsekuensinya, kalau ilmu nasab itu mendasarkan pada kabar mutawatir berarti ilmu nasab tidak ilmiah. Atau ilmu apapun yang mendasarkan pada kabar mutawatir disebut tidak ilmiah.

Berdasar pada neraca Guru Gembul, ilmiah harus inderawi, metode apapun yang tidak mendasarkan pada indera dan verifikasi juga tidak ilmiah. Saya sepakat di sini. Karena memang batasan-batasan ilmiah seperti itu. Itu secara epistemologis, secara ontologis ada batasan juga. Yang diteliti secara ilmiah itu hal-hal yang konkrit. Anda tidak akan pernah menemukan penelitian ilmiah tentang jin.

Misalnya penelitian ilmiah, pangaruh jin ifrit bagi naik turunnya nilai tukar rupiah pada dolar. Tak akan pernah ada penelitian ilmiah demikian. Cuma, persoalannya metode ilmiah bukan satu-satunya metode untuk sampai pada pengetahuan yang benar. Memang ada upaya untuk menguniversalkan cara pandang ilmiah ke semua level pengetahuan. Termasuk pada ilmu pengetahuan sosial, makanya kita mengenal sosial science. Tetapi belakangan ini kritik pada metode ilmiah mulai bermunculan. Memang awalnya adalah untuk natural science, untuk ilmu alam, kemudian dipaksakan masuk ke ilmu sosial.

Kritik-kritik atas metode ilmiah ini biasa dipelajari di dalam filsafat ilmu. Persoalannya bagaimana metode ilmiah dilakukan sehingga penyimpulannya valid. Ini melalui tahapan yang panjang, misalnya ilmiah itu harus empiris murni. Ini seperti dikatakan oleh Ernest Mach, lalu dikembangkan menjadi bahwa ilmiah itu tidak hanya empiris tetapi juga harus sesuai dengan kaidah logika formal. Ini yang biasanya kita kenal dengan positivisme logis.

Pendekatan ini dikritik lagi oleh Karl Popper, terutama soal prinsip verifikasinya. Bahwa disebut ilmiah kalau bisa diverifikasi. Seperti yang dibilang Guru Gumbul tadi bahwa ilmiah harus inderawi dan bisa diverifikasi. Nah, kata Karl Popper, verifikasi itu tidak membuat teori apapun, verifikasi hanya mengonfirmasi sebuah teori.

Nah, kalau yang penting adalah konfirmasi maka perlu ada hipotesa yang bisa diterima atau ditolak. Dengan kata lain, ilmiah itu bukan hanya bisa konfirmasi tetapi juga bisa difalsifikasi. Kemudian, prinsip verifikasi itu lemah kata Popper. Kenapa? karena kita tidak mungkin memverifikasi semua hal di dunia ini. Besi kalau dipanaskan memuai. Ini ilmiah, tetapi apakah di semua tempat berlaku hukum yang sama. Belum tentu.

Berkembang lagi, bahwa ilmiah itu tidak dihasilkan oleh satu orang saja. Melainkan hasil dari konsensus para peneliti, kumpulan dari beberapa penelitian menjadi mata rantai yang kemudian disebut ilmiah. Misalnya, konsep heliosentrisme. Ini tidak dilakukan oleh hanya Nicolaus Copernicus saja, ada banyak ilmuan yan kemudian juga memberikan penguatan.

Karena berbagai kritik-kritik demikian itu atas apa yang disebut ilmiah tersebut, variasi metode untuk sampai pada pengetahuan yang dianggap benar tidak hanya pada yang diebut ilmiah. Mungkin saja mentode ilmu nasab tidak sesuai dengan kaidah ilmiah, tetapi belum itu tidak bisa membawa pada kebenaran pengetahuan, termasuk ilmu penelitian hadis, dst.

Jadi metode untuk sampai pada pengetahuan yang benar itu beragam. Dan bahka memungkinkan ada sintesa metode. Misalnya, dalam metode tarsif ayat-ayat, sekarang metode tafsir linguistik mulai ada menggunakan. Salah satunya kalau dalam dunia islam itu ada Nasr Hamid Abu Zaid.

Misalnya, kemudian para ahli nasab mengembangkan metodenya dengan mengadopsi metode ilmiah ya sah-sah saja. Toh sebagaimana diperdebatkan kemaren, bahwa ilmu nasab adalah buatan manusia di masa lampau yang disampaikan dari generasi ke generasi. Artinya tidak haram mengkritik metodenya untuk semakin memperkuat.

Sehingga Guru Gembul menyarankan para peneliti nasab itu perlu mengikuti perkembangan zaman, perkembangan ilmiah. Di situ, Ustaz Wafi sepertinya kurang bersiap. Yang bisa dia lakukan menganggap metode dia dan metode Guru Gembul berbeda.

Terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah dalam perdebatan itu. Saya kira sudah satu langkah lebih maju dari pada sekedar tebar kebencian di media sosial baik kubu muhibbin maupun kubu kiai imad. Menurut saya kebencian di media sosial itu hentikanlah ya. Karena itu hanya semakin membuat Anda terlihat bodoh.

Dan satu lagi, saya sangat mengapresiasi Guru Gembul, datang sendirian ke kandang Robitoh Alawiyah, memperdebatkan persoalan nasab mereka, di tengah banyak orang yang harus pilih-pilih tempat untuk bertarung. Walaupun mungkin kesimpulan Guru Gembul, orang-orang di Robitoh Alawiyah tidak terlalu mengerti apa yang disebut ilmiah. Hehehhee..

Saya kira perdebatan nasab ini tidak akan selesai. Teruskan saja, sampai rambut di kepala Anda ubanan semua.

Post a Comment

0 Comments