Srikandi Pilgub Jatim, Korban Politik Elektoral?

Oleh: Herlianto. A

Ilustrasi Khofifah, Risma dan Luluk. Foto/edited

Mazhabkepanjen.com - Kontentasi Pemilihan Gubernur Jawa Timur tahun 2024 ini menjadi sejarah tersendirir bagi warga Jawa Timur dan Indonesia. Ketiga calon Gubernurnya adalah perempuan semua, yaitu Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini, dan Luluk Nur Hamidah. Sementara bapak-bapaknya memilih jadi wakil saja.

Ini hal yang istimewa dalam konteks partisipasi perempuan di ruang publik. Belum lama ini saya membaca kebijakan baru pemerintahan Taliban di Afganistan yang justru mengembalian peran publik perempuan ke ratusan abad yang lalu. Kehidupan perempuan dan interaksinya di masyarakat dikendalikan semakin ketat.

Kali ini perempuan di sana tidak hanya harus menyembunyikan wajah dan tubuhnya dalam balutan kain tetapi juga suaranya harus disembunyikan. Di ruang publik perempuan tidak boleh ngomong sampai suaranya terdengar. Itu amoral. Suara mereka harus disembunyikan ketika di luar rumah. Lenyap sudah peran perempuan di ruang publik Afganistan.

Sebenarnya laki-laki juga kena di aturan baru ini di sana, yang menggelikan laki-laki harus punya jenggot. Tidak berjenggot sebagai pejabat sipil maka akan dipecat, celana juga harus cingkrang.

Berkaca dari ini berarti kerangka pemahaman publik Indonesia atau secara khusus Jawa Timur sudah sangat terbuka tentang peran-peran perempuan di ruang publik. Lebih-lebih di Jawa Timur penduduknya mayoritas muslim dan juga jumlah pesantren sangat banyak.

Data kementerian agama tahun 2021, pesantren di Jawa Timur mencapai 5.121. Ini terbanyak ketiga se-nasional. Posisi pertama ditempati Jawa Barat di angka 9.310 pesantren dan ketiga Banten dengan 5.344 pondok pesantren. Kita tahu, pesantren adalah tempat bagaimana Agama Islam itu dipelajari secara mendalam.

Mungkin tidak semua pesantren punya pemahaman yang terbuka soal peran perempuan di ruang publik. Tetapi, mayoritas dari mereka tidak mempersoalkan itu. Bahkan Presiden Indonesia dari kalangan pesantren, Gus Dur, punya pemahaman menarik soal perempuan di ruang publik.

Konsep Perempuan Gus Dur

Ada dalil kitab suci Alquran yang biasa digunakan untuk menghentikan perempuan di ruang publik. Arrijalu qawwamuna alan nisa’. Bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.

Gus Dur punya tasir berbeda terhadap ayat ini dalam konteks perempuan di ruang publik. Dia menafsir kata rijalun dalam konteks sosial bukan laki-laki tetapi potensi. Maka siapapun yang punya potensi layak jadi pemimpin tak peduli dia laki-laki atau perempuan. Ini bisa ditemukan di dalam buku Gus Dur, Islamku Islam Anda Islam Kita.

Suatu pembacaan yang progresif yang sesuai zaman. Kita lihat Arab Saudi sekarang melakukan revisi banyak dan membuka ruang bagi perempuan untuk terlibat di ruang-ruang publik. Walaupun memang dalam arti keterlibatan perempuan, Indonesia punya sejarah yang lebih menterang bahkan ketimbang negara-negara barat yang mengklaim demokratis.

Kita tentu mengenal nama-nama, Tribhuwana Tunggadewi, salah satu pemimpin di kerajaan Majapahit, Ratu Kalinyamat, Mala Hayati, Cut Nyak Dien, dst. Mereka adalah para pejuang. Indonesia pernah dipimpin oleh presiden seorang perempuan, yaitu Megawati Sukarnoputri. Ini yang tidak pernah kita temukan di sepanjang ratusan tahun sejarah Amerika. Negara yang seenaknya nyerbu negara lain yang dia anggap tidak demokratis.

Dalam konteks historis, Indonesia punya sejarah tentang kepemimpinan oleh perempuan. Maka ketika Khofifah, Risma dan Luluk maju di Jawa Timur relatif tidak ada penolakan yang berbasis pada doktrin agama tertentu.

Tiga tokoh perempuan ini punya potensi besar untuk memimpin Jawa Timur ke depan. Khofifah adalah seorang petahana yang berhasil melewati 5 tahun periode pertama kepemimpinannya, terlepas apakah berhasil atau tidak. Khofifah juga sebelumnya pernah menjabat menteri sosial, sebagai ketua Muslimat, yang konon ini akan menjadi mesin suara bagi dia.

Begitu juga dengan Risma, ada satu gambaran yang masih melekat di pikiran saya tentang sosok Risma ini, dia berhasil menutup lokalisasi gang Dolly di Surabaya sebagai salah satu tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Tentu saja ada juga prestasi selama memimpin Kota Surabaya selama dua periode mulai dari tata kota hingga akses-akses infrastruktur. Dia juga sebagai menteri sosial di era kepemimpinan Jokowi jilid dua.

Adapun Luluk, adalah DPR RI dari fraksi PKB dengan beberapa prestasinya. Dia boleh kita bilang sebagai politisi perempuan yang juga syarat pengalaman. Mungkin pengalaman eksekutif tak sebanyak Khofifah dan Risma, tetapi saya kira dia punya keberanian dan kecerdikan.

Tetapi di tengah euforia dan optimisme ini menyisakan pertanyaan benarkah majunya tiga perempuan tersebut di kontestasi Politik Jatim sebuah penanda kemajuan bagi peran perempuan di ruang publik? Ini pertanyaan yang rumit karena fakta demokrasi kita sangat elektoral.

Artinya penunjukan para Srikandi itu oleh partai politik karena basis elektoral mereka besar. Makanya dipasangkan dengan wakil yang punya basis berbeda. Tetapi setidaknya, tiga perempuan ini menjadi semacam protipe bagaimana perempuan berkiprah di ruang publik, di tengah kondisi sosial kita tidak sepenuhnya ramah pada perempuan.

Misalnya, sepanjang tahun 2024 saja, di surabaya ada sebanyak 30 kasus kekerasan pada perempuan. Di Jawa Timur sendiri, laporan Kementerian PPA sepanjang tahun 2024, korban kekeran perempuan mencapai 748, ini angka ketiga terbesar setelah Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Artinya ada api dalam sekam bagi penderitaan perempuan di tengah hiruk-pikuk dan glamournya pencalonan tiga perempuan di Pilkada Provinsi Jawa Jimur. Jadi tidak lantas majunya tiga merempuan di Pilgub Jatim menandakan bahwa persoalan kekerasan, pengabaian dan intimidasi pada perempuan selesai di Jawa Timur.

Secara substansial kedudukan perempuan belum sepenuhnya berubah di Jawa Timur. Mereka masih menjadi warga kelas dua, the Second Sex, kata Simon de Bouvoir, salah satu tokoh feminis kawakan dari Prancis.

Tiga Asumsi Perempuan

Bagaimana perempuan dilihat masih berkutat di tiga asumsi ini. Pertama, perempuan masih dilihat lemah secara biologis. Secara anatomis perempuan lemah di banding laki-laki, karena perempuan harus menstruasi, hamil dan menyusui.

Ini kemudian dianggap kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan perempuan untuk melakukan pekerjaan atau peran-peran di sektor publik. Ini yang membuat citra buruk pada perempuan, bahwa mereka tempatnya hanya pada pekerjaan-pekerjaan kerumahtanggaan: masak, cuci pakaian dan melayani suami di kasur.

Perbedaan bilogis mendorong pada pemahaman soal perempuan yang kedua, yaitu kaitannya secara psikologis. Secara psikologis, perempuan lebih emosional, pasif, dan minus rasionalitas. Sebaliknya laki-laki lebih rasional. Sigmund Freud, tokoh psikoanalisis, mengatakan perempuan itu mengalami gejala psikologis yang disebut Penis Envy.

Yaitu perasaan rendah diri karena melihat kelaminnya yang berbeda dengan kelami laki-laki. Jadi, kata Frued, ketika anak perempuan melihat kelamin anak laki-laki lalu minder dan menyadari bahwa pada dirinya ada yang kurang. Secara anatomi merasa tidak lengkap seperti laki-laki.

Gejala penis envy ini pada perempuan dewasa berubah menjadi keinginan untuk punya anak. Kepemilikan atas bayi seolah menjadi penyempurna bagi perempuan atas kekurangannya yang ditemukan tidak seperti laki-laki. Lebih lanjut, fakta-fakta biologis itu mendorong pada gejala psikologi berikutnya, yaitu kecemasan saat mereka melakukan hubungan seksual.

Laki-laki cemas dengan dirinya bahwa apakah dirinya mampu dalam hubungan seksual tidak disepelakan oleh perempuan. Inilah yang mendorong laki-laki, menurut Erich Fromm, memiliki keinginan kuat untuk menguasai perempuan. Sementara perempuan cemas, apakah dia mampu menjadi perempuan yang menarik yang diinginkan oleh laki-laki.

Namun demikian, kritik-kritik terhadap pandangan demikian sudah sangat banyak. Tidak perlu jauh-jauh ke para pemikir feminis yang ada di barat. Sukarno sendiri menjadi salah satu pelopor bagaimana perempuan perlu terlibat aktif dalam gerakan-gerakan publik.

Itu bisa kita lihat di dalam buku Sukarno yang berjudul Sarinah, yang merupakan kumpulan beberapa modul saat dia mengisi gerakan perempuan di Yogyakarta. Salah satu poin pentingnya dari buku ini adalah bahwa perjuangan perempuan untuk masuk ke ruang publik mengalami tiga tahapan.

Pertama, tahap memikat hati laki-laki, ini di era feodal. Kedua, tahap membantah kelebihan laki-laki, ini yang dilakukan oleh gerakan-gerakan feminis. Ketiga, melakukan aksi-aksi sosial yang didasari oleh kesadaran kelas.

Memang dalam hal ini Sukarno menggunakan perspektif Marxis. Tetapi setidaknya ini upaya juga, walaupun kita tahu Sukarno banyak juga ngabisin perempuan. Dia nikah sembilan kali, dan dua kali poligami. Kalau kita baca buku-buku Soe Hok Gie, kritik atas Syahwat Sukarno ini cukup keras.

Mengapa Sukarno begitu terobsesi dengan perempuan, ini bisa dibaca di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis oleh Cindy Adam. Poin yang ingin saya katakan dari semua pembicaraan ini adalah benar kaum perempuan mulai menemukan jalan untuk masuk ke ruang publik walaupun jalan itu tidak mulus.

Tetapi setidaknya, dengan majunya tiga perempuan dai Pilgub Jatim, yaitu Khofifah-Risma-Luluk, menjadi cerita atau di wilayah yang tingkat relijiusitas Islamnya cukup tinggi ini, ternyata memiliki keterbukaan yang besar untuk memberi kesempatan pada perempuan untuk duduk di depan, walaupun dalam konteks demokrasi masih perlu diperbincangan lebih lanjut. 

Post a Comment

0 Comments