Oleh: Herlianto. A
Dua lawan berat Timnas Indonesia, Rocky Gerung dan Bung Towel. Foto/Edited |
Misalnya,
lolos piala Asia, kemudian lolos round 3 Piala dunia, di tengah tim-tim Asia Tenggara
gagal semua. Bahkan dalam dua kali pertandingan terakhir menghadapi tim
langganan piala dunia yaitu Arab Saudi dan Australia, Timnas Indonesia belum
kalah sama sekali.
Pada piala
Asia U23, timnas masuk 4 besar, dan nyaris lolos ke Olimpiade Paris. Secara
peringkat FIFA mengalami kenaikan sangat signifikan, dari peringkat 174 di awal Shin Tae Yong menjadi pelatih Timnas
sekitar 3 tahun lalu. Kini berada di posisi 129 peringkat FIFA. Pencapaian
inilah yang menurut para Supoter Timnas sangat luar biasa, meskipun belum
pernah juara sekalipun.
Euforia
terjadi di mana-mana, pujian yang luar biasa. Kita bisa lihat kemaren di GBK
ketika Timnas melawan Australia, suporter timnas betul-betul luar biasa. Tetapi
itu semua bagi pengamat politik Rocky Gerung tak punya arti. Di tengah
kegembiraan luar biasa ini Rocky Gerung mengkritik bahwa ada penipuan pada
sensasi kegembiraan para suporter melalui naturalisasi pemain. Karena
kemenangan timnas itu bukan oleh pemain lokal tetapi sebagian besar pemain
keturunan.
Bagi Rocky Gerung naturalisasi tidak fit dan proper dengan prinsip patriotisme. Naturalisasi tidak menggambarkan sikap patriotisme terhadap bangsa ini. Sekalipun pemain yang dinaturalisasi merupakan keturunan orang Indonesia. Yang benar bagi Rocky Gerung, pemain timnas itu harus datang dari bibit-bibit pemain muda Indonesia bukan orang luar. Maka berarti naturalisasi sebatas pembenaran untuk tidak mengembangkan bibit lokal Indonesia.
Bahkan kata
Rocky Gerung, lebih baik Timnas Indonesia kalah terus tetapi dengan menggunakan
pemain lokal semua, ketimbang menang tetapi dengan pemain naturalisasi. Menang
dengan pemain naturalisasi dianggap menang yang sifatnya pinjaman, bukan
kemenangan sejati. Pemain naturalisasi adalah pinjaman luar negeri, seperti
presiden Jokowi yang suka ngutang ke luar negeri, kata dia begitu.
Sebetulnya
konteks kritik Rocky Gerung ini adalah pada presiden Jokowi yang saat timnas melawan
Australia turun ke lapangan dan menyalami beberapa pemain dan tim official.
Lalu dikritik oleh Rocky Gerung sekaligus timnasnya juga dikritik. Ini
tampaknya apapun yang bersentuhan dengan Jokowi salah semua di mata Rocky. Jokowi
duduk di kursi tribun maka kursipun akan dikirik oleh Rocky Gerung. Karena
tidak seharusnya kursi ada situ, dan kenapa pula kursi itu mau diduduki oleh
Jokowi.
Rocky Diburu Warganet
Maka sontak
Rocky Gerung jadi bulan-bulanan suporter di media sosial. Masyarakat Indonesia saat
ini satu-satunya kebahagiannya adalah timnas itu punya penampilan lebih baik.
Selebihnya tidak ada. Politik kacau, pekerjaan tak ada, mau kuliah mahal, gaji
kerja tak naik-naik, mau jadi ojol potongan pendapatannya tidak karu-karuan
dari perusahaan. Hukum juga hancur, koruptor hidup terhormat. Apalagi yang bisa
membuat rakyat ini senang, selain nonton bola dan timnas menang.
Tentu saja
kritik Rocky Gerung ini perlu ada yang didengarkan, soal adanya pembibitan dan
melahirkan pemain-pemain muda lokal yang berbakat. Pernyataan ini bukan hanya
benar sekarang, sejak zaman kuno memang begitu seharusnya. Persoalannya
bagaimana melakukannya. Jepang menciptakan kartun Captain Tsubasa, untuk
menstimulasi anak-anak agar suka main bola sedari usia dini. Beberapa negara
juga melakukan pendekatan-pendekatan yang khas.
Terus tidak
fit dan proper dengan patriotisme. Apa sih patriotisme itu? Kalau patriotisme
ini sebagai keberanian dan ketekadan diri untuk membela bangsa dalam kondisi
apapun bahkan rela mengorbankan banyak hal demi bangsa. Kita malah dijari oleh
para pemain naturalisasi itu tentang patriotisme.
Bayangkan,
mereka itu belajar sepakbola bukan di Indonesia, bersusah payah sendiri sejak
kecil untuk berlatih. Biaya sekolah mereka keluarkan sendiri untuk belajar.
Tetapi kemudian mereka mau membela timnas Indonesia hanya gara-gara mereka
punya darah Indonesia. Saya kira ini sikap patriotisme. Kemudian, mereka ini
bukan pemain-pemain yang tak punya masa depan, mereka usianya masih muda-muda
ada 21 ada 24 tahun. Tetapi mereka mau milih Indonesia, ini sesuatu yang istimewa
di tengah kondisi timnas yang begini-begini saja.
Orang kita, meskipun
sudah makan di Indonesia, digaji oleh negara, digaji oleh rakyat. Masih saja
uang rakyat dikorupsi. Apakah ini patriotisme? Jadi kelokalan bukan ukuran
patritisme. Banyak yang menganggap Rocky Gerung terlalu menyeret sepak bola ke
dalam politik.
Jangankan
Rocky Gerung, sekelas pengamat bola Tomi Welly atau Bung Towel dihajar oleh
netizen. Gara-gara sering kritik Timnas dan Shin Tae Yong. Suporter sepak bola
itu garis keras. Antar suporter rela mati untuk tawuran demi tim yang mereka
banggakan. Tentu kita tahu Jackmania, Bobotoh, Bonek, Aremanis dst. Sudah tidak
terhitung korban di antara mereka. Jadi kalau suporter ini menyerang, Bung
Rocky siap-siap saja karena sudah membakar daun yang meranggas.
Tetapi terus
terang, walaupun saya bukan pengamat bola tetapi pecinta bola. Saya kira
beberapa tahun terakhir ini ada perbaikan persepakbolaan Indonesia. Saya
melihat di kampung-kampung sudah banyak orang tua yang ngantarkan anaknya
sekolah sepak bola. Ini yang sayang jarang temukan 10 tahun yang lalu.
Kondisi Liga Membaik
Dari sisi liga
juga sepertinya sudah mulai membaik, sudah diusahakan penggunaan teknologi VAR
untuk membantu wasit. Selama ini, kualitas wasit selalu dikeluhkan. Bahkan yang
terakhir di Laga Sulteng versus Aceh di PON tahun 2024. Wasit jadi korban
dihajar seperti laga MMA, lalu tumbang di lapangan. Sekilas pemain yang salah
total.
Namun
demikian, kita juga perlu mempertimbangkan kritik Rocky ini, dari sisi bahwa
Naturalisasi itu solusi sementara. Saya agak setuju pada poin itu. Kan tidak
mungkin juga, PSSI setiap periode melakukan naturalisasi besar-besaran untuk
pemain timnas Indonesia. Bisa terjajah juga itu nanti Belanda. Walaupun dari
dulu sudah ada naturalisasi. Misalnya, ada Irfan Bachdim, Cristian Gonzales,
Rafael Maetimo, Greg Nokolo, Stefano Lilipaly, dst.
Tetapi memang
kali ini dalam memulangkan pemain keturunan itu jumlahnya agak besar-besaran.
Ya ini ada sisi baik dan sisi buruknya. Harapan baiknya itu kan sebetulnya,
pemain-pemain keturunan ini bisa menjadi inspirasi bagi pemain-pemain lokal,
yang kadang mainnya kampungan itu. Ya untuk belajar bermain yang benar, mentalitas,
teknik, dst.
Kemudian,
naturalisasi ini bisa diharapkan melahirkan euforia sepakbola. Sehingga banyak
anak-anak dan orang tua yang termotivasi untuk berlatih sepak bola dengan lebih
giat lagi. Karena ingin memberian yang terbaik bagi pespakbolaan Indonesia. Ya
mungkin saja dari sini kaderisasi sepak bola itu terus lahir. Harapannya PSSI
juga terus memperbaiki. Kita butuh lebih banyak lapangan sepak bola di
daerah-daerah, tetapi kan selama ini yang banyak di daerah-daerah koruptor dan
proyek mangkrak.
Jadi menyikapi kritik Rocky Gerung, mungkin tidak semua salah, tidak semuanya juga benar. Tetapi momentumnya yang kurang pas. Di tengah panasnya kontestasi Pilkada, sementara para suporter sedang larut dalam keriaan karena timnas dianggap berprestasi. Ya semoga kita semua bisa belajar dari keriuhan, baik sebagai netzen, sebagai suporter maupun sebagai pemain sepak bola itu sendiri.
0 Komentar