Mengapa Ilmu Nasab Tidak Ilmiah?

Oleh: Herlianto. A

 

Ilustrasi mengapa ilmu nasab tidak ilmiah. Foto/dok

Mazhabkepanjen.com - Saya penasaran mengapa ilmu nasab disebut tidak ilmiah. Saya lalu mencari buku yang membahas metodologi ilmu nasab ketemulah buku Ilmu Nasab Istilah dan Metodologi yang ditulis oleh Kiai Imaduddin Al Bantanie. Sosok yang belakang “berkonflik” dengan para habib dan muhibbinnya. Bukunya baru saja dibedah habis-habisan. Di situ saya juga menemukan dua buku Kiai Imad lainnya yang disebut-sebut membatalkan nasab Mba Alawi.

Dua buku itu, pertama Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia, sebuah penelitian ilmiah. Ada kata ilmiahnya. Tidak terlalu tebal 21 halaman. Buku yang barangkali disebut sebagai tesisnya itu. Buku kedua berjudul Terputusnya Nasab Habib kepada Nabi Muhammad SAW (Penyempurnaan dari Buku Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia).

Di buku ini berisi tanggapan-tanggapan atas beberapa kritik terhadap tesis Kiai Imad di buku sebelumnya. Nah, sebelum membuat caci maki saran saya, Anda membaca dulu ketiga buku ini, lalu kemudian dengarkan video bantahannya yang sebelumnya diselenggarakan Robitoh Alawiyah.

Saya kira, kita akan punya pandangan yang lebih luas soal debat nasab habib ini. Saya sendiri merasa bahwa peradaban Islam itu punya kekayaan pengetahuan. Ini hanya bab nasab saja sudah sedemikian ramainya. Belum lagi soal politik, ekonomi, sosial, sains, dst. Ada satu kekayaan yang luar biasa di situ ya.

Sebelum menguji bagaimana keilmiahan ilmu nasab. Saya berhipotesa ilmu nasab ini masih ilmiah. Mungkin kita perlu ketengahkan dulu posisi ilmu nasab dalam rumpun keilmuan yang saat ini berkembang. Kemudian bagaimana metode yang digunakan di situ. Menurut Kiai Imad ilmu dasab itu cabang ilmu sejarah (tarikh) terutama tentang siroh atau biografi. Karena biasanya pembahasan sirah itu menerangkan nasab dari sosok yang diangkat.

Jenisnya ada nasab jauh ada nasab dekat. Dekat itu misalnya, kita dengan orang tua dan kakek kita ya. Kalau jauh dalam rentang ratusan tahun. Soal yang kasus Mba Alawi masuk yang nasab jauh ini. Nasab ini penting, terutama ilmu fikih misalnya untuk pembagian warisan. Walaupun ilmu nasab itu dibangun untuk memperkuat silaturahmi. Tapi katanya ada hadis yang mengatakan, nasab itu tidak penting dan tidak mempelajarinya tidak ada mudharatnya.

Buku ini memiliki tiga pembahasan besar, istilah-istilah dalam ilmu nasab. Metode penetapan nasab dan metode menegasikan nasab. Di bab metode menegasikan nasab ini, ada beberapa contoh yang diangkat oleh Kiai Imad kafilah yang nasabnya dibatalkan, termasuk di situ nasabnya Mba Alawi ini.

Baik bagaimana sebenarnya metodenya? Saya perlu disklaimer lagi dulu. Bahasan ini bukan untuk menguji nasab orang tertentu, melainkan bagaimana metode nasab itu kita kategorikan sebagai yang ilmiah (saintific) atau bukan ada pada kadar apa ilmiahnya.

Metode Ilmu Nasab

Nah metode yang digunakan ada beberapa? Metode yang saya maksud adalah langkah atau preskrispi untuk sampai pada penyimpulan tertentu. Di situ ada enam model yang dijelaskan Kia Imad dikutip dari Kitab Qawaid Dirasat Ilmil Ansab. Di antaranya: Pertama, perkawinan, jadi kalau Anda nikah dan punya anak ya itu anak Anda, kecuali ada hal lain ya.

Kedua, Ikrar. Jadi ada orang yang mengatakan ini anak saya. Atau ada yang mengatakan ini bapak saya. Ketiga, Bayyinah yaitu kesaksian dua orang. Jika ada dua orang yang menyaksikan bahwa Anda adalah anak si B, maka diisbatkan nasabnya ke situ.

Keempat, Syuhroh Walistifadoh, yaitu disampaikan dari mulut ke mulut artinya banyak orang yang tahu, bahwa si A anak si B. Maka pengisbatan nasabnya begitu. Kelima, dijelaskan di dalam kitab-kitab nasab terdahulu. Jadi ada catatan kitab nasabnya. Keenam, rekomendasi dari ahli nasab. Nah, pertanyaannya untuk mengisbat nasab apa harus ada keenam-enamnya, menurut Ustad Wafi itu, tidak perlu. Salah satu saja sudah cukup.

Lalu, untuk menjadi ahli nasab juga tidak sembarangan, ada syaratnya. Di situ juga dijelaskan oleh Kiai Imad yang dikutip dari Kitab As Shili. Di antaranya, takwa pada tuhan, jujur, menghindari perbuatan rendah agar berwibawa, punya kekuatan jiwa agar tidak mudah ditakut-takuti, dan punya kemampuan menulis. Ini syarat untuk menjadi seorang ansaab.

Kemudian ada disiplin keilmuan yang juga dia harus kuasai, mulai dari tafsir, sejarah, ijma’, memahami kaidah-kaidah Arab, dan dia harus menguasai kitab-kitab yang mashur dalam hal nasab. Jadi itu perangkat untuk menentukan sebuah nasab.

Jadi kalau dibilang ilmu nasab tidak punya metode, keliru. Perangkat-perangkat barusan adalah metode yang ditetapkan di kalangan ahli nasab. Termasuk dalam membatalkan nasab itu ada caranya juga. Misalnya, nasab Kabilah Tobariyyah di Mekkah yang dibatalkan nasabnya. Padahal kabilah masyhur hampir lima abad, dari abad ke-9 hingga 14 hijriyah. Tetapi kemudian ke bawah dari abad ke 9 itu, abad ke 8,7,6 hijriyah tidak ditemukan sambungan nasabnya dalam kitab-kitab nasab. Akhirnta dibatalkan.

Keilmiahan Ilmu Nasab

Jika demikian, mana sisi keilmiahan ilmu nasab ini? Ini yang ditekankan berkali-kali oleh Guru Gembul, bahkan yang dia kritik dalam penggunaan metode ilmu nasab ini tidak hanya Ba Alawi termasuk Kiai Imad dia kritik. Karena menggunakan metode yang sudah usang, teologis, tidak ilmiah, dan hari ini banyak metode yang lebih presisi.

Persoalannya apa yang kita sebut ilmiah atau saintifik hari ini? Ini sebetulnya kalau mau didalami sejarah yang sangat panjang. Yang merentang dari abad Yunani klasik sekitar abad ke 6 sebelum Masehi sampai era kontemporere ini. Ilmu pengetahuan di era Yunani adalah pencarian untuk menjelaskan alam terlepas dari mitos dan teologi.

Makanya, ketika pemikir Pra Sokrates membicarakan asal-usul alam semesta, ya mereka tidak menyebut Tuhan penciptanya. Alam semesta berasal dari air kata Theles, dari Api kata Herakleitos, dari atom kata Demokritos, dst. Banyak sekali pendapat di sana ya. Pengujian-pengujian untuk menemukan hukum alam juga dilakukan, misalnya ada Archimides, Hypatia, dst. Yang itu semua tidak mendasarkan pada Tuhan.

Sejarah Sains

Lalu di abad pertengahan. Ketika ilmu-ilmu Yunani itu diserap ke dalam Islam. Di situlah ada perkawinan, yang saintifik itu disentesiskan dengan ilmua agam. Ada satu penelitian berjudul Paradigma Sains Integratif Al Farabi oleh Dr. Humaidi, bagaimana Al Farabi bicara ilmu pengetahuan tetapi nyambung dengan yang metafisika, di buku Ara Ahlul Madinatul Fadilah, bicara politik tapi hubungannya dengan Kosmos dan yang Ilahi.

Pemikir-pemikir Islam yang lain juga, Ibnu Sina itu selalu bikin satu set tulisan dari Logika, Fisika, Matematika dan Metafisika (atau ilahiyah). Bisa dilihat di kitab Asyifa, Uyun Al Hikmah atau Al Isyarat wal Tanbihat. Saya membaca membaca beberapa, yang versi bahasa Inggrisnya yang versi Arabnya masih belajar. Begitu juga Ibnu Rusyd yang justru terkenal di barat ya.

Jadi pada saat itu, ilmiah itu tidak murni inderawi tetapi juga rasional bahkan terhubung dengan yang ilahi. Baru ketika perkembangan ilmu di abad ke 15, yang kita kenal sebagai Renaisan atau aufklarung ini mulai berbeda. Hal-hal yang berbau ilahi itu dihilangkan. Lalu ada semacam cemoohon pada filsafat, saat itu filsafat dan sains belum terpisah. Filsafat itu disebut Ancilla Teologia, filsafat itu budaknya agama, kira-kira begitu.

Agama itu mulai ditinggalkan, sehingga teologi itu tidak masuk dalam sains, tidak ilmiah. Semangat ini sepertinya ditangkap oleh Guru Gembul. Semangat saintisme yang membuang jauh metafisika termasuk filsafat terus berkembang di abad pencerahan (enlightenment) abad ke-17. Bacaan lebih lengkap soal sejarah sains ini buku George Sarton menarik judulnya: Introduction to The History of Science. Jadi ilmiah ini sebetulnya ilmu kuno juga berasal dari ratusan yang lalu, seperti ilmu nasab.

Sampai awal abad ke dua sains semakin dahsyat perkembangannya, bahkan filsafat itu sendiri tidak dianggap sains, tetapi pseudo sains, ilmu yang semua. Apa kriteria dasarnya dianggap ilmiah di abad ini: yaitu empiris dan verifiable atau dapat diverifikasi. Saya sudah jelaskan di video sebelumnya agak panjang.

Di sinilah kejayaan sains itu, melahirkan beragam teknologi yang kita gunakan hari ini. Yang itu tidak bisa kita tolak sebagai produk dari perkembangan ilmu pengetahuan orang-orang barat. Ya carilah teknologi apa hari ini, mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut kayaknya.

Sementara di dunia Islam memang agak terjebak di era Ibnu-Ibnu, jadi kalau ada perkembangan teknologi, lalu bilang itu dulu yang menemukan anunya, ibnu ini-ibnu itu. Kalau tidak ada ibnu ini dan ibnu itu maka itu tidak akan ada. Ya itu aja.

Di sinilah berbagai cabang ilmu pengetahuan itu memisahkan diri, Biologi, Fisika, Kimia, bahkan hingga ke ilmu-ilmu sosial humaniora, seperti sosiologi, antropologi, dst. Jadi dampak kuat perkembangan sains itu kajian-kajian sosialpun mau disaintifikkan menjadi social science. Dengan anggapan kebenaran itu satu-satunya jalan menuju kebenaran.

Klaim yang terakhir inilah yang belakangan banyak ditentang. Bahwa metode ilmiah: dalam hal ini empiris dan verifiable hanya cocok bagi ilmu-ilmu alam. Tetapi masih persoalan bagi ilmu-ilmu sosial. Sehingga muncul kritik-kritik bahwa saintisme itu menjadikan manusia sebagai instrumen sisi etisnya menjadi hilang dst.

Belum lagi pengujian terhadap hasil ilmiah pada ilmu alam itu sendiri ternyata tidak terlalu universal yang dibayangkan. Misalnya, kalau kita masak air mendidik pada suhu 100 derajat di bumi. Apakah akan terjadi hal yang sama di Mars dan di Bulan. Atau apakah 100 tahun akan datang masih terjadi hal yang sama. Belum tentu, sehingga berlaku ceteris paribus, yaitu syarat dan kondisinya harus sama baru air bisa mendidih di suhu 100 derajat celsius. Nah inilah sulitnya sains alam itu ketika dibawa ke penelitian-penelitian ilmu sosial.

Makanya sekarang penelitian-penelitian antropologis lebih banyak menggunakan penelitian partisipatif, yaitu dengan menyatukan diri dengan objeknya, bukan mengambil jarak memisahkan diri seperti dalam ilmu alam. Misalnya, hasil penelitian Clifford Geert tentang Religion of Java, dia harus tinggal dulu bertahun-tahun di Mojokuto, atau Pare Kediri hari ini, baru dia menulis.

Nah, kalau kembali pada ilmu nasab sebagai ilmu sejarah. Maka jelas tidak bisa dihakini dari ilmu alam. Kaidah empiris dan verifikasionis tidak terlalu berlaku. Toh dalam ilmu sejarah juga ada istilah kajian pustaka, jadi ketika dia membahas sejarah dia tidak datang ke dalam sejarah itu, tetapi mengkaji literatur yang membahas soal sejarah itu. Literatur dalam hal ini, bisa relief, candi, artefak, prasasti, dst.

Ini tidak empiris, tetapi bisa diverifikasi ke pustaka-pustaka yang lain. Makanya tadi, penentuan nasab itu bisa melalui kitab-kitab yang membahas nasab. Antara satu kitab dengan yang lain itu bisa saling memverifikasi. Kalau verifikasi saja sudah dianggap ilmiah, berarti ilmu nasab ilmiah.

Kabar Mutawatir

Bagaimana dengan kabar mutawatir, syuhroh walistifadoh. Bukankah metode ini juga berpotensi salah. Buktinya yang dijelaskan oleh Kiai Imad itu ada nasab Tobariyyah di Mekkah yang dibatalkan padahal sudah mencapai level syuhroh walistifadoh. Ya biasa saja.

Hasil ilmu sains ya juga banyak yang dibatalkan oleh hasil penelitian sains berikutnya. Itu kan hal yang lumrah saja itu kan. Toh juga dikatakan itu ilmu nasab itu bukan sesuatu yang qod’i kok, ya artinya punya potensi salah. Ini persis sama dengan metode ilmiah dalam ilmu alam, makanya terus ada penelitian.

Jadi saya masih berkesimpulan dalam konteks dimungkinkannya verifikasi, ilmu nasab ini masih ilmiah. Sekalipun tidak dianggap empiris, tidak ilmiah dan subjektif, saya kira juga tidak ada soal. Karena sejatinya untuk sampai pada pengetahuan itu tidak harus melalui jalur ilmiah. Ilmiah hanyalah salah satu jalur menuju pada kebenaran.

Bahwa sekarang ada tes DNA yang bisa dipakai untuk memverifikasi nasab. Menurut saya tidak ada soal. Toh sudah banyak yang melakukannya. Jangan terlalu buru-buru juga mengharamkan hasil tes DNA, jangan karena tidak menguntungkan pada dirinya lalu diharamkan. 

Kalau tes DNA diharamkan karena produk ilmiah, wah kita akan mengharamkan banyak hal. Dan itu menjadi sebuah kebodohan. Apalagi menuduh orang yang menggunakan prinsip ilmiah ini sebagai sekuler. Ini framing-framing yang tidak perlu.

Demikian dulu ya, untuk mempertanyakan apakah ilmu nasab itu ilmiah atau tidak. Jika ada hal-hal lain monggo kita diskusi di kolom komentar ya.    

Post a Comment

0 Comments