Benarkah Tuhan Tidak Ilmiah?

Oleh: Herlianto. A

Ilsutrasi. Foto/edited

Mazhabkepanjen.com - Artikel ini akan membicarakan benarkah tuhan itu tidak ilmiah? Persoalan ini muncul setelah debat Guru Gembul di Robitoh Alawiyah, yang menyebut bahwa Tuhan itu tidak ilmiah.

Perdebatan sering terjadi tanpa ujung karena berpangkal pada konsep dan istilah yang tidak disepakati. Artinya tak ada definisi atau batasan yang disepakati, titik tengkarnya tidak jelas. Sehingga debat yang terjadi adalah debat kusir yang hanya menguras energi dan membuang waktu.

Pertama kita dudukkan dulu apa itu ilmiah. Ilmiah kata yang dipadankan  dengan kata saintifik. Ilmiah atau saintifik berarti memenuhi syarat ilmu pengetahuan. Tetapi sebetulnya punya akar kata berbeda, ilmiah diambil dari kata ilmu, bahasa Arab. Sementara saintifik diambil dari kata science dalam bahasa Inggris. Bahasa Inggris sendiri mengambil dari bahasa latin yaitu scientia yang berarti pengetahuan, keahlian atau pemahaman yang benar.

Di dalam tradisi Islam ilmu tidak tunggal dalam pengertian hari ini sebagaimana dipakai di kampus-kampus. Menurut Abed Al Jabiri, dalam Kritik Nalar Arab, Islam mimiliki setidaknya tiga: ilmu bayani, burhani dan irfani. Bayani adalah ilmu yang berbasis pada teks, dalam hal ini kitab suci, hadis atau teks lainnya yang dianggap kredibel.

Sementara burhani berbasis pada akal yang hasilnya bersifat apodeiktik, pasti secara akal. Misalnya setiap akibat pasti memiliki sebab, keseluruhan pasti lebih besar dari sebagian, dst. Itu beberapa proposisi yang sifatnya burhani. Adapun irfani berbasis pada intuisi spiritual atau pengalaman batin. 

Sedangkan saintifik yang kemudian dikenal dengan sains dalam perkembangan sejarahnya cenderung tunggal bersifat positifistik, yaitu empiris, dapat diverifikasi, objektif, dapat diujicobakan di berbagai kasus. Misalnya, besi bila dipanaskan akan memuai. Ini tidak berpengaruh pada siapapun orangnya yang memanaskan besi itu. Jika dipanaskan akan tetap memuai baik yang memanaskan anak kecil, dukun, atau siapalah, besi akan tetap memuai bila dipanaskan.

Pernyataan besi akan memuai bila dipanaskan itu bisa diverifikasi. Anda kalau mau memverifikasi tinggal ambil besi lalu panaskan, maka akan memuai. Sementara empiris dapat kita amati. Persoalannya, bisakah tuhan itu diketahui secara saintifik atau ilmiah dalam pemaknaan yang kedua ini?

Di sini kadang tidak ketemu perdebatan itu, karena bisa jadi yang satu menggunakan standar ilmiah dalam arti ilmu yang berasal dari bahasa Arab, sementara satunya menggunakan standar ilmiah sebagaimana istilah saintifik.

Jika kita menggunakan standar pertama, maka Tuhan bisa diketahui secara ilmiah bahkan harus ilmiah. Karena penjelasan Tuhan itu terdapat dalam teks suci yang sudah diuji kesuciannya, atau dinalar secara akal, atau penemuan secara intuisi spiritual. Kita mengenal istilah tajalli, takhalli dst. Biasa disebut religious experience oleh orang barat. Jika kita bersepakat makna ilmiah dalam pemahaman ini, ya berarti Tuhan itu ilmiah.

Pada makna ilmiah yang kedua yang saintifik, agak susah pembuktian ilmiahnya. Karena harus empiris, dapat diverifikasi, diujicobakan di berbagai tempat. Bisakah kita menguji Tuhan sebagaimana kita menguji bahwa besi jika dipanaskan akan memuai. Atau kita melakukan verifikasi terhadap pernyataan itu. Ini sepertinya mustahil bisa dilakukan.

Bahkan yang kita sebut sebagai mukjizat tidak mungkin dibuktikan dengan model saintifik yang kedua ini. Misalnya ilmiah itu bisa diujicobakan diberbagai tempat. Misalnya mukjizat tongkat Nabi Musa, yang dipukulkan ke laut, lalu laut membelah. Kita tidak bias memperlakukannya sebagaimana besi dipanaskan memuai.

Kita bawa tongkat, kita pukulkan ke laut sampek teler, tidak mungkin membelah laut. Atau dibakarnya nabi Ibrahim, itu tidak bisa diperlakukan sebagaimana kajian sains pada besi tadi. Lalu kita mencoba membakar diri, ya kobong.

Loh, tapi kan ada tongkat dipukulkan lalu laut membelah dan nabi Ibrahim dibakar tidak terbakar. Iya benar, cuma dari beberapa kasus pemukulan tongkat ke laut itu berapa orang yang berhasil melakukan seperti nabi Musa. Atau dari beberapa percobaan pembakaran orang, berapa orang yang berhasil tidak terbakar.

Sementara sains akan berpijak pada hasil uji coba yang probabilitasnya paling tinggi. Misalnya, kita melakukan uji klinis vaksin kanker serviks. Katakanlah namanya vaksin A dibandingkan dengan vaksin B. Vaksin A diujicobakan pada 100 perempuan dan Vaksin B diujicobakan pada 100 perempuan juga.

Tetapi setelah beberapa tahun misalnya, ternyata dari sampel vaksin A, ada 98 orang bebas kanker serviks, sementara sampel vaksin B hanya 60 orang bebas kanker serviks. Maka sains akan memilih vaksin A bukan vaksin B, karena probalilitas tidak terkena kanker serviks lebih tinggi dari Vaksin B. Cara kerja saintifik begini kalau dibawa ke mukjizat akan sulit.

Cuma bukan berarti mukjizat itu tidak ada, sains pun masih memberi ruang atas hal-hal yang di luar batas kemampuan metodenya yang dikenal dengan margin of error (tingkat kemungkinan salah). Itu kejadian kesalahan di luar kemampuan keketatan metode yang digunakan. Begitulah saintifik itu bekerja.

Atau contoh lain, gerak paling cepat menurut ilmu sains itu adalah cahaya. Kecepatan cahaya bisa mencapa 300.000 Km/detik. Persoalannya, jika Tuhan itu ada jelas dia bisa melakukan apa saja, maka seharusnya Tuhan bisa bergerak melampui kecepatan cahaya. Tetapi, dalam riset sains tidak ada penemuan entitas yang mampu berbergerak melebihi kecepatan cahaya.

Tetapi dari sisi ilmiah yang berasal dari kata ilmu, masih memungkinkan. Sains membuka ruang kemungkinan, nalarnya tidak hanya empiris, bisa melalui akal atau pengalaman intuitif spiritual. Yang terjadi bisanya adalah saling klaim, seperti yang dilakukan oleh Guru Gembul dan Ustad Wafi. Bagi Guru Gembul ilmiah itu empiris, bagi Ustad Wafi ilmiah itu tidak hanya empiris.

Keduanya saling klaim dan saling menyebut sebagai kesepakatan. Kata Guru Gembul ini kesepakatan ilmiah akademis di kampus. Masalahnya, standar keilmiahan tidak harus ikut kampus. Lalu bagaimana menyikapi polemik dua konsep ilmiah ini. Menurut saya ada dua opsi.

Pertama, melonggarkan makna ilmiah. Jadi, ilmiah adalah apapun yang bisa dibuktikan baik bukti empiris, bukti rasional, maupun bukti spritual. Maka Tuhan dalam hal ini juga ilmiah, karena bisa dibuktikan secara rasional dan spiritual.

Atau yang kedua, kita melokalisir makna ilmiah sebagai sebatas yang empiris dan dapat diverifikasi. Di luar itu tidak ilmiah. Ilmiah model ini bukan satu-satu untuk sampai kepada kepastian atau kebenaran. Ilmiah ini hanya satu dari banyak cara untuk melakukan pembuktian tentang suatu kebenaran. Dalam hal ini jelas Tuhan tidak ilmiah. Tetapi bukan berarti tidak bisa dibuktikan, karena ada cara lain selain ilmiah untuk membuktikannya.

Saya kira dua opsi ini bisa kita pilih salah satu untuk mengakhiri beragam jenis tantangan soal debat apakah Tuhan itu ilmiah atau tidak. Tanpa batasan yang jelas soal apa itu ilmiah dalam memperdebatkan Tuhan, dan tanpa opsi-opsi yang bisa kita pilih sebagai jalan lain dari perdebatan tentang tuhan yang sudah berlangsung berabad-abad itu, maka Anda hanya akan beronani tanpa menghasilkan apapun bagi ilmu pengetahuan itu sendiri.

Post a Comment

0 Comments