Oleh: Herlianto. A
Ilustrasi bertuhan tanpa agama. Foto/Pixabay |
Mazhabkepanjen.com - Memperdebatkan Tuhan menjadi kegiatan yang sama tuanya dengan peradaban manusia itu sendiri. Berbagai keterbatasan pada manusia, membuat mereka mencari sesuatu yang nirbatas sebagai pelindung dan penata semesta. Pada tahap inilah ide-ide ilahi mulai dibicarakan dan diperdebatkan. Siapa tuhan manusia dan bagaimana Dia sebenarnya dapat dipahami? Manusia di tengah kesibukannya memenuhi kebutuhan hidupnya untuk bisa bertahan di alam sembari terus merenung yang ilahi ini.
Dari situlah konsep-konsep ketuhanan diangkat, terlebih setelah agama-agama turun pada manusia untuk memberikan petunjuk melalui kitab sucinya, manusia mulai mengekslornya menggunakan akal dan segala perangkat pembandingnya di alam. Hingga kemudian lahir satu kajian ilmu yang membahas secara khusus perdebatan tentang tuhan yaitu teologi atau ilmu kalam.
Hampir setiap agama memiliki konsep Tuhannya sendiri, bahkan aliran dalam sebuah agama memiliki konsep berbeda dengan aliran lain dalam suatu agama tersebut. Betapa beragamnya kajian ketuhanan ini. Pada titik ini, kritik Xenophanes, salah satu filsuf Yunani klasik, menemukan konteksnya bahwa andaikan kuda itu bisa menggambar maka dia akan menggambar tuhannya mirip dengan bentuk tubuh mereka. Ini menunjukkan bahwa betapa konsep ketuhanan itu sangat bergantung pada pikiran kelompok yang mengidealkan Tuhan tertentu.
Tetapi manusia tidak kehilangan rasionya untuk terus merumuskan secara argumentatif ide-ide ketuhanan itu. Setidaknya para filsuf menjadi salah satu golongan yang membicarakan banyak tentang Tuhan. Ada yang menempatkan Tuhan sebagai sosok personal yang mirip-mirip dengan manusia dengan tambahan “maha”. Manusia itu melihat dan Tuhan itu melihat, hanya saja Tuhan itu “maha melihat” jadi tidak sama dengan manusia cara melihatnya walaupun sama-sama melihat. Bentuk penyifatan ini ada banyak yang diatributkan pada Tuhan untuk membedakan sifat-sifat kemanusiaan dan sifat ketuhanan.
Kajian teologi Asy’ariah yang dibahas dalam buku ini memberikan penjabaran yang sangat bagus tentang sifat-sifat Tuhan. Misalnya membedakan sifat nafsiyah (sifat diri) yang menunjukkan Zat itu sendiri, sifat salbiyyah (sifat negasi) sebagai ketiadaan sesuatu pada suatu Zat, sifat ma’ani (sifat konseptual) sebagai sesuatu yang melekat pada suatu zat, dan sifat ma’nawiyah (sifat faktual) sebagai aktualisasi dari sifat konseptual. Misalnya, karena Tuhan berilmu maka dia maha mengetahui, karena Tuhan berkehendak maka Dia maha berkehendak, dst.
Selain, pandangan personal soal Tuhan ada juga yang impersonal yang biasanya dikaitkan dengan para filsuf. Para pemikir Yunani dan filsuf Peripatetik barangkali yang banyak berada dalam posisi ini. Sehingga mereka tidak memberikan sifat-sifat tertentu pada Tuhan yang kemudian bisa membuatnya mirip manusia. Bagi mereka Tuhan itu begitu transenden yang tidak bisa diserupakan dengan apapun. Segala bentuk penyerupaan merupakan profanisasi pada Tuhan dan ini tidak argumentatif dan tidak logis.
Bentuk radikal dari impersonalisasi ini menurut saya adalah agnostik teis yaitu percaya adanya Tuhan tetapi tidak bisa dijangkau oleh pengetahuan manusia apapun. Tuhan adalah misteri yang hanya cukup diimani dan tidak perlu dibicarakan apalagi diperdebatkan. Keyakinan ini, turut menyentuh beberapa filsuf di Barat, itu misalnya kalau kita cek pemikiran Immanuel Kant, pemikir Jerman, yang menempatkan yang ilahiyah pada wilayah yang tidak diketahui oleh siapapun yang disebut the things in itself.
Rene Descartes, pemikir Prancis, menyebut ide Tuhan itu sabatas ide bawaan (innate idea) yang diberikan begitu saja oleh Tuhan ke dalam pikiran manusia. George Berkeley begitu saja mengasumsikan Tuhan sebagai Great Perceiver (maha mempersepsi) yang memungkin segalanya ada, karena bagi dia yang ada itu sejauh dipersepsi (being is being perceived).
Namun demikian, perkembangan sains dan teknologi sejak abad modern hingga kontemporer sepertinya membuat para teolog perlu berpikir lebih keras lagi untuk mengontekstualisasikan ide-ide ilahiyah. Pasalnya, teknologi seolah menggeser banyak peran yang dulunya diberikan pada Tuhan. Petir dulu disebut batuk Tuhan, tetapi kemudian sains menemukan bahwa itu hanya peristiwa alamiah yang terjadi karena pertemuan kekuatan positif dan negatif pada awan. Maka peran Tuhan seolah tak berlaku di situ.
Temuan-temuan sains dengan kecanggihan teknologinya terus berkembang dan menyasar banyak sekali sisi-sisi pengetahuan dan peristiwa-peristiwa yang dulunya diotoritaskan pada Tuhan. Kini menjadi sebatas kebetulan atau alamiah belaka. Mulai dari peristiwa munculnya semesta yang dikenal big bang, fenomena kelahiran mahluk hidup yang dikenal teori evolusi, perubahan pusat semesta dari bumi ke matahari yang disebut heliosentrisme, dst.
Bahkan banyak keyakinan, 100 hingga 200 tahun yang akan datang agama beserta kampanye ilahiyahnya tidak akan laku lagi bagi manusia untuk menjalani hidupnya karena teknologi sudah menjawab segalanya. Termasuk yang paling eksistensial dari manusia itu sendiri yaitu kematian disebut bisa diatasi oleh manusia melalui sains dan teknologi di masa yang akan datang. Maka lahirlah tokoh-tokoh pejuang ateisme seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Daniel Dennett dan Sam Harris yang kemudian dikenal sebagai the four horsemen of new atheism.
Di tengah kondisi yang penuh tantangan ini maka kajian ketuhanan sangat diperlukan tentu dengan model dan kontekstualisasi yang lebih friendly dengan pembacanya. Wacana teologi tak boleh lagi sebatas menyampaikan atau mengulang ide-ide masa lalu yang itu-itu saja. Perlu disinggungkan dengan sains dan teknologi sehingga teologi tidak kehilangan daya magisnya. Pendeknya, bertuhan secara rasional menjadi satu kebutuhan mendesak di abad ini.
Nah, buku yang ada di tangan Anda ini merupakan satu kajian teologi dengan khas Asy’ariyah yang penyajiannya sudah dikreasi sedemikian rupa sehingga cocok dengan perkembangan pengetahuan kontemporer dan kebutuhan manusia-manusia kekinian dalam memahami dan meyakini Tuhan. Semoga memberikan inspirasi.
0 Comments