Oleh: Herlianto. A
Ilstrasi ilmiah bukan teori segalanya. Foto/Edited
Mazhabkepanjen.com - Hari-hari ini ada kecenderungan, kalau sudah dibilang berdasar kajian ilmiah sudah dianggap selesai (final). Sebaliknya yang tidak ilmiah juga sudah dianggap selesai dan tidak berlaku. Kata kunci ilmiah sangat kuat, dianggap sebagai teori segala sesuatu untuk menerima maupun menolak suatu pengetahuan.
Guru Gembul menjadi salah satu sosok yang punya kekaguman besar pada apa yang disebut ilmiah. Ilmiah dalam arti akademis bukan dalam arti yang lebih luas. Ilmiah yang empiris dan verifikasionis.
Rezim ilmiah ini berambisi untuk melahirkan teori segala sesuatu (a theory of everything) yang dapat diterapkan secara tak terbatas, pada apapun, di manapun dan kapanpun. Ini sebuah ambisi yang luar biasa, untuk tidak mengatakan terlalu berlebihan. Tetapi benarkah rezim ilmiah ini bisa mencapai itu? Atau selalu ada kelemahan-kelemahan yang selalu tidak disadari?
Untuk menjawab ini, sekaligus saya mau sharing dengan Guru Gembul hasil bacaan saya buku Object-Oriented Ontology: A New Theory of Everything karya Graham Harman. Buku yang menurut saya punya kritik sangat mendasar pada pada rezim ilmiah. Saya tidak tahu apakah Guru Gembul pernah membacanya. Tetapi dugaan saya sudah membaca, dia kan wawasannya luas.
Misalnya, dimulai dari Galileo yang membantah pandangan fisika kuno tentang adanya sejenis tubuh di angkasa yang mengatur dunia semesta. Jadi orang-orang kuno itu punya keyakinan ada sosok lain di angkasa yang mengatur dunia ini, dalam Tradisi Yunani kuno itu mengenal Demiurgos yang mengatur semesta.
Sosok ini biasanya dianggap kekal, tidak lapuk dan tidak hancur ini. Ini yang dikritik oleh Galileo. Menurut dia, ya tidak ada itu sosok demiurgus itu. Semua pengaturan semesta itu kembali pada alam itu sendiri.
Penemuan Teori Segala Sesuatu
Jadi gerak semesta ini tertata dan harmonis karena pada diri semesta ada hukum-hukum yang mengatur dirinya. Kayakinan Galileo ini diwujudkan oleh Newton menjadi teori gravitasi: gravitasilah yang mengatur pergerakan materi di semesta ini.
Pada 1860an, James Maxwell berupaya lain dengan menyatukan elektrisitas dan magnetisme menjadi elekromagnetik yang bergerak setara kecepatan cahaya. Temuan ini diyakini akan menjadi teori segala sesuatu yang dapat menjelaskan segalanya.
Namun, awal abad 20 lahir teori kuantum yang juga berupaya memadukan berbagai fenomena di antaranya: panas, cahaya, dan gerak atomik. Menurut teori ini, berbagai fenomena di semesta bergerak dalam lompatan yang berlainan dan dalam ketidakpastian.
Tahun 1979 Abdus Salam, fisikawan teoritis muslim yang beraliran Ahamdiyah dari Pakistan, bersama Steven Weinberg menemukan daya elektro lemah (electroweak force).
Sementara daya elektro kuat ditemukan pada 1975 dengan sebutan kuatum kromo-dinamis. Di sini ada yang menarik, konon Abdus Salam dan Wenberg ini sampai pada temuan yang sama tetapi bersumber dari hal yang berbeda.
Abdus Salam ceritanya dapat ilham. Tapi memang sains itu mengenal context of invention (konteks penemuan) dan context of justification (konteks justifikasi) yaitu bagaimana temuan itu dibuktikan melalui argumentasi maupun penelitian.
Contoh lain, saat Newton kejatuhan apel dia merasa ada yang menarik apel itu. Ini konteks penemuan. Tetapi ketika Newton membuktikan gravitasi yang menarik apel itu. Maka ini konteks justifikasi.
Okay, kita lanjut bagaiman sains berusaha menemukan teori segala sesuatu. Pada 2012 ditemukan kuantum gravitasi, yaitu menjelaskan gravitasi dengan prinsip-prinsip mekanika kuantum.
Pada awal abad 21 ini sedang diperdengungkan bahwa ada teori segala sesuatu yang baru yaitu “string theory” (teori senar). Teori ini sedang digadang-gadang menjadi kandidat bagi lahirnya teori segala sesuatu yang lebih otentik.
Teori yang sejatinya sudah dikembangkan sejak 1984 ini mengatakan bahwa materi merupakan getaran senar satu dimensi yang berdistorsi melalui sepuluh dimensi. Ini temuan yang luar biasa dibandingkan inovasi Einstein yang hanya empat dimensi (tinggi-lebar-ruang-waktu).
Entah apalagi pasca teori senar ini. Yang pasti pencarian sains akan terus berlangsung hingga ditemukan teori yang aplikasinya tidak terbatas, atau teori segala sesuatu itu.
Kritik Atas Rezim Ilmiah
Namun menurut Graham Harman, upaya pencarian teori segala sesuatu yang dilaukan rezim ilmiah ini adalah sesuatu yang hampir mustahil. Karena teori segala sesuatu yang aplikasinya tidak terbatas hanya ditemukan di dalam filsafat, bukan sains.
Ada beberapa kritik menurut Harman pada rezim ilmiah ini. Setidaknya empat kritik pada sains yang membuatnya tidak mungkin menemukan teori segala sesuatu. Kelemahan-kelemahan ini berasal dari asumsi-asumsi sains yang keliru.
Aktor agamis yang masih percaya pada Tuhan, jiwa, dan bahkan setan, pasti juga menyagkal postulat sains ini. Pandangan demikian dianggap sangat membatasi manusia yang enigmatis, yang msiterius. Postulat ini membuat sains jadi bahan olok-olok mereka.
Namun, katakanlah para agamawan itu tidak rasional karenanya tidak bisa diikuti argumennya. Mereka sesat tentang materi sebagai yang riil dan non riil. Tetai, bagi Harman bantahan ini masih tidak kuat, karena ada hal yang tidak material tetapi riil atau nyata.
Contoh, persekutuan dagang VOC, kita semua dengar nama itu. VOC ini tidak material, tetapi ini riil, nyata. Bagaimana penjelasannya, begini: kita hanya melihat peninggalan VOC baik di Asia maupun di Eropa. Misalnya, bendera, pelabuhan-pelabuhan, atau benda peninggalan lain.
Tetapi peninggalan itu bukanlah VOC itu sendiri, benda-benda yang sama sekali tidak mengacu pada VOC. Jelas VOC bukan bendera, bukan pelabuhan, dst. Artinya VOC adalah non material tetapi riil. Maka asumsi pertama sains tidak berlaku di sini.
Kedua, asumsi bahwa: segala sesuatu yang eksis pastilah mendasar dan sederhana. Sains bisa membantah lagi soal VOC di atas. Bahwa memang VOC itu non material, tetapi lihatlah komponen-komponen VOC, mulai dari gedung, kapal-kapal, bendera, dan benda-benda material lainnya.
Artinya VOC itu eksis melalui perangkat-perangkat material itu semua. Dengan ini, komponen material tetap menjadi penentu bagi eksistensi VOC. Alhasil VOC adalah material.
Untuk membantah ini, Harman meletakkan sains sebagai paham “smallisme” yaitu pandangan yang berkeyakinan bahwa sesuatu yang nyata itu dapat dipecah hingga ke komponen terkecilnya.
Pandangan ini mengatakan bahwa entitas atau apapun yang muncul saat ini terjadi apabila komponen penyusunnya bersatu. Misalnya, yang kita sebut motor vespa. Disebut motor vespa karena rodanya, sadelnya, mesinnya, lampunya, dan semua bagian-bagiannya bersatu atau dirakit. Kalau tidak dirakit tidak mungkin disebut motor vespa.
Tetapi keyakinan ini menyisakan problem. Pasalnya, ada hal yang komponennya tidak jadi bersatu, tetapi entitas itu tetap riil. Misalnya, motor vespa tadi, bannya diganti ban motor lain, spionnya juga diganti, lampunya diganti juga, dst. Meskipun bagian motor itu diganti, tetapi akan tetap disebut motor vespa.
Berarti komponen itu tidak menentukan eksistensi suatu entitas. Karena itu objek tidak hanya berkaitan dengan komponen penyusunnya tetapi juga berkaitan dengan imaji yang itu ternyata immaterial.
Ketiga, asumsi: segala sesuatu yang eksis pastilah riil. Asumsi ini tidak bisa diterapkan pada sastra dan kisah-kisah fiksi lainnya, baik berupa novel, cerpen, maupun films. Asumsi ini tidak akan dapat menganalisis fiksi heroik macam Sherlock Holmes, StarWars, dll.
Karena semua yang ada di fiksi itu, baik lokasi mapun karakter yang ada di dalamnya tidak riil. Sementara itu, fiksi telah menjadi suatu pengalaman sehari-hari yang dihayati oleh manusia. Artinya, jika asumsi sains ketiga ini dipaksakn, maka akan menghilangkan separuh kehidupan manusia itu sendiri.
Keempat, asumsi: segala sesuatu yang eksis pasti dapat dinyatakan dalam Bahasa yang akurat atau ketat. Asumsi ini mungkin tidak akan mengalami persoalan pada kasus-kasus yang menyatakan informasi secara langsung. Misalnya, “Presiden Indonesia adalah Jokowi”.
Tetapi, tidak semua hal riil dapat menyatakan diri secara langsung. Misalnya, tentang rasa makanan, minuman, kopi, atau rasa bercinta. Bahasa literal tidak akan pernah mampu secara sempurna menkodekan atau membahasan semua aneka rasa itu dengan ketat.
Upaya meliteralkan segala sesuatu adalah tindak oversimplifikasi, karena hakikinya objek tidak pernah sebagai seikat makna literal. Karena itu, alternatif lain yang mungkin dilakukan adalah melalui metafora.
Di mana melalui metafor sesuatu dapat dinyatakan secara tidak langsung, bahkan sekalipun sesuatu itu sangat subtil dan tersembunyi. Bahkan kita hidup dengan metafor-metafor dalam keseharian kita.
Saya kira demikian, sharing saya soal ilusi rezim ilmiah untuk menemukan teori segala sesuatu. Jadi saya masih berada pada pandangan saya, bahwa ilmiah itu adalah salah satu cara saja untuk sampai pada pengetahun. Bukan satu cara yang bisa diterapkan untuk segala sesuatu.
0 Komentar